Terkadang di tempat ini Ndari merasa tak betah. Tata cara hidup yang terlalu disiplin membuatnya tak bisa bergerak bebas dan menjadi diri sendiri.
Tepat di hari Senin, di mana sebelumnya pembelajaran dimulai. Para peserta berkenalan, mengikuti game dan kegiatan ini cukup seru, berlangsung dalam 3 hari. Ndari Sampai lupa dengan rumah dan Ayah.
Tetapi saat kegiatan game berakhir dan berganti kegiatan baris-berbaris yang dipimpin TNI. Di sini benar-benar diuji. Harus disiplin lagi! Sungguh sangat melelahkan.
"Seru juga ya belajar baris-berbaris," ujar salah satu teman yang tampak antusias.
"Ya elah dari SD juga diajarkan, ngapa coba harus diulang lagi. Mana panas, capek lagi." Nah, mendengar keluhan itu Ndari setuju. Itulah yang saat ini dia rasakan.
Hari ini jadwal dirinya mengambil nasi, di mana dia harus memuju dapur untuk membawa teremos nasi, lauk, dan minuman. Biasanya berupa teh manis. Untuk mengambil ini bisajya dibantu tiga orang, atau biasanya satu kamar.
"Di sini enggak enak ya, apa-apa harus disiplin. Enggak kayak di rumah," keluh Anita.
"Iya," sahut Ndari lemah.
"Ya malah bagus dong. Hidup yang kita jalani semakin tertata." Risma benar-benar menyukai kegiatan yang ada di sini.
Anita dan Ndari memandang aneh. Risma malah memandang balik satu per satu.
"Kalo kalian ikhlas mensyukuri insyallah aman aja kok. O ya, lagian bukannya sudah dijelaskan dari awal kalo di sini memang harus disiplin. Kalo petugas yang menyeleksi dulu sih, bilang gitu sama aku." Risma tampak ceria menjelaskan.
"Iya ada sih, penjelasan itu. Bahkan juga dikatakan kalo selama enam bulan nanti bakalan disita HP kita. Cuman ya merasa kayak melelehkan aja semua kegiatan ini."
"Iya aku merasa juga gitu, kapan kita itu efektif belajar ketrampilan yang sudah dipilih masing-masing."
"Iya deh iya," Akhirnya Risma mengalah.
"Aku itu cuman enggak sabar untuk cepet-cepet menjahit!"
"Sama aku juga," sambung Ndari.
Sedangkan Risma memilih untuk mengambil jurusan tata rias yang mana nantikan bakal sekelas dengan Vivi.
Selewai mengambil makan mereka langsung bersiap menuju mushola untuk melaksanakan sholat berajamah. Kegiatan pun berlanjut sampai sore.
Beberapa di antaranya tampak teman-teman Ndari yang wajahnya belakang, ada juga kemerah-merahan karena terlalu lama berada dj bawah matahari.
"Ndari, apa kabar?" teriak Vivi melambaikan tangan terlihat dari kaca, tempat tidurnya.
Meskipun ada di satu tempat tetapi berbeda wisma, membuat keduanya jarang ketemu. Mungkin ini karena Ndari yang jarang keluar. Tak seperti Vivi setiap sore hobi jalan-jalan, keliling melepas penat. Sedangkan Ndari tipe orang yang memilih capek langsung tidur, dan kamar adalah tempat ternyaman. Bahkan, Risma dan Anita juga tipekal pra yang sama.
Tak seperti teman wisma yang lain. Memilih jalan-jalan sekaligus mencari perhatian dengan teman cwok hehe.
"Kabar baik, kamu bagaimana? Ciee... banyak teman baru nih, hehe."
"Kamu juga banyak teman barukan hehe kita sama," jawabnya semangat sekali.
"Hehe iya, mau ke mana kamu?"
"Jalan-jalan, yuk sini ikutan."
Ndari mengelengkan kepala sebab dia tahu, temannya itu hanya modus untuk dekat dan kenal dengan para peserta cowok. Vivi tak sendiri, dia juga ditemani oleh teman satu Wisma dengannya.
"Ya udah kalo gitu, aku duluan," ucapnya pamit.
"Oke," Ndari mengangguk.
Risma mendekat, "Siapa tadi? Temenku satu kabupaten?"
"Iya."
"Kamu akrab sama dia?"
"Iya lumayan sih dibandingkan teman-teman lain. Dia juga satu sekolahan sama aku. Dari dia juga aku diajak ke sini."
Anita yang baru saja masuk dalam kamar langsung ikut nimbrung.
"Kamu karena diri sendiri ke pantai ini, apa karena orang tua, atau bahkan orang lain?"
"Kalo aku sih sejujurnya kabur dari rumah."
"What! Serius?"
"Iya, serius." Ndari mengangguk, matanya masih mengamati jalan yang terlihat dari balik kaca tembus pandang.
Anita menyisir rambut sembari mendekatkan diri, "Kamu beneran Ndari? Enggak bercandakan? Kok bisa?"
"Iya, Ndari kamu jangan bercanda," cetus Risma yang langsung berubah ekspresi.
"Buat apa bercanda?"
"E, maaf ni ... kalo emang yang kau katakan itu bener, alasannya apa coba. Tolong cerita ke kami suapa jelas dan gamblang diterima informasinya." Anita sembari mendekatkan diri.
Ndari beranjak bangkit, menutup pintu kamar. Kali ini dirinya mulai menceritakan semua asal mulai sampai tiba di sini. Tentang Tanthe Mitha juga dia cerita. Andaikan ayah tidak menikah lagi dan menurut dengan yang dikatakan. Tentu Ndari tidak akan melakukan hal demikian.
"Ya Allah Ndari ... jadi, kamu beneran kamu?" Anita mengangga tak percaya.
"Iya," ucap Ndari singkat.
"Tapi kalo menurut aku sih, menurutku kamu rugi kalo sampai keluar dari rumahmu sendiri."
"Iya, menurutku juga gitu. Ibarat kamu ini Tuan Putri yang malah kabur dari istana. Parahnya lagi, istana itu dikuasi oleh ibu tiri. Lantas, harta dan semuanya pasti berada di bawah kendalinya!"
Ndari menarik napas panjang, apa yang diucapkan temannya itu memang benar. Namun, begininya begini akan lebih baik ketimbang kita harus berada terus dalam lingkungan yang membuatnya tertekan.
"Hai, Ndari kamu enggak papakan?" Risam langsung menyenggol dan memeluk.
Begitu pun dengan Anita yang mencoba mengelus tangan, menggenggam, memberikan kekuatan. Mereka katakan jika semua akan baik-baik saja. Namun, tak bisa dibohongi tangis Ndari pecah. Air mata terus menetes.
"Sabar ... sabar, kalo ini memang pilihan kamu. Kamu harus bisa ambil kendali. Jangan pernah ada penyesalan. Oke," ucap Risma menyakinkan dengan mentap matanya lekat-lekat.
"Iya Ndari. Aku yakin kamu anak yang kuat kok, percayalah."
Hanya anggukan kepala yang ditunjukkan. Bergegas tangannya menyaka air mata yang tak henti jatuh.
"Nanti kalo kamu sudah punya cukup keberanian, kamu ambil lagi. Kamu harus rebut lagi aja," cetus Risma yang ikut merasakan penderitaan Ndrai.
"Entahlah, intinya di sana aku merasa tertekan dan tak disayang Ayah."
Anita langsung menghiburnya, "Bicara tentang Ayah, aku pun merasa tak disayang. Sebab, Ayahku sakit-sakit dari aku SD smpai sekarang. Beliau lumpuh, beliau ada tetapi seolah tak ada."
Risma dan Ndari malah gantian menatap temannya yang lebih kecil itu. Penderitaan yang dirasa pasti sangat berat.
"Iya, kadang aku sering katakan. Rumah tangga yang lengkap belum tentu seorang anak mendapatkan kasih sayang utuh."
"Iya, lagian aku melihat ibuku sendiri saja sudah kewalahan mengurus rumah tangga.wajar dong kalo kita tidak boleh bergantung pada seseorang untuk kebahagiaan kita!"
Ketiganya saling menguatkan satu sama lain. Hidup memang rumit dan sulit, itulah yang mereka rasakan saat menginjak dewasa.
"Yuk, meraih impian kita di sini. Kita pasti bisa kok," ucap Risma yang masih merangkul kedua teman.
"Tetap optimis hehe jangan pesimis," suara Anita yang cempreng itu membuat keduanya tertawa dan akhirnya tertawa bersama.