Aisha menghela napas panjang, memandang langit senja yang memerah di balik jendela kamarnya. Cahaya matahari sore menerpa wajahnya, menyinari kerudung yang menutupi rambutnya yang hitam legam. Di tangannya, sebuah foto usang tergenggam erat. Foto itu menampilkan dirinya bersama Daniel, teman kuliahnya yang tampan. Senyum Daniel merekah cerah di foto tersebut, senyum yang selalu mampu membuat hati Aisha berdebar-debar.
Kenangan indah bersama Daniel berputar-putar di kepalanya. Tawa mereka yang menggema di perpustakaan kampus, canda mereka saat mengerjakan tugas kelompok, dan tatapan mata Daniel yang selalu membuatnya merasa spesial. Cinta tumbuh perlahan, tanpa disadari, di antara mereka. Namun, cinta itu terhalang oleh perbedaan agama. Daniel seorang Nasrani, sedangkan Aisha seorang muslim yang taat.
"Aisha," suara ibunya memanggil dari luar kamar. Aisha tersentak, kembali ke kenyataan. Foto Daniel ia simpan kembali ke dalam laci meja riasnya. Ia tahu, ibunya tidak akan pernah menyetujui hubungannya dengan Daniel.
Dengan hati berat, Aisha membuka pintu kamarnya. Ibunya berdiri di ambang pintu, raut wajahnya tampak serius. Di samping ibunya, berdirilah Adrian, seorang pemuda muslim yang soleh, pilihan orang tua Aisha untuk menjadi suaminya. Adrian tersenyum ramah, namun senyum itu tak mampu mengobati sesak di dada Aisha.
"Aisha, Nak," kata ibunya lembut, namun suaranya terdengar tegas. "Kita sudah membicarakan ini berkali-kali. Hubunganmu dengan Daniel harus berakhir. Adrian adalah pilihan yang tepat untukmu."
Air mata mengancam tumpah dari pelupuk mata Aisha. Ia menunduk, tak mampu menatap mata ibunya. Hatinya hancur. Ia harus memilih antara cinta dan restu orang tua. Persimpangan dua hati telah tiba.
Aisha terdiam, air mata mulai membasahi pipinya. Ia tak mampu berkata-kata. Kata-kata ibunya menusuk hatinya seperti sebilah pisau. Meskipun ibunya berkata lembut, namun nada tegas dalam suaranya tak bisa disembunyikan. Ia tahu, ibunya sangat keras kepala dan tak akan pernah mengalah.
Adrian maju selangkah, mendekat ke arah Aisha. Ia mengulurkan tangannya, namun Aisha hanya menatapnya tanpa bereaksi. Adrian adalah pemuda yang baik, soleh, dan tampan. Ia memiliki segalanya yang diinginkan seorang wanita. Namun, di hati Aisha, tak ada rasa cinta untuk Adrian. Hati Aisha hanya untuk Daniel.
"Aisha," suara Adrian lembut, "aku mengerti ini sulit. Tapi aku berharap kau bisa memberiku kesempatan. Aku akan berusaha menjadi suami yang baik untukmu."
Aisha mengangkat wajahnya, menatap Adrian dengan tatapan kosong. Ia tak mampu membalas kata-kata Adrian. Bagaimana mungkin ia bisa mencintai Adrian, sementara hatinya telah sepenuhnya untuk Daniel? Perasaan bersalah dan tertekan mencengkeram hatinya. Ia merasa terjebak di antara dua cinta yang tak mungkin disatukan.
Ibunya meletakkan tangannya di pundak Aisha, memberikan isyarat dukungan. "Aisha, Nak. Ini demi kebaikanmu. Adrian adalah pilihan yang terbaik. Dia akan membahagiakanmu."
Namun, bisakah Adrian benar-benar membahagiakan Aisha? Aisha sendiri meragukannya. Bagaimana mungkin ia bisa bahagia dengan seseorang yang tidak ia cintai? Pikiran tentang Daniel terus menghantuinya. Kenangan indah bersama Daniel berputar-putar di kepalanya, semakin memperkuat rasa sakit dan dilema yang sedang ia rasakan.
Matahari semakin tenggelam, meninggalkan langit yang semakin gelap. Aisha merasa hatinya juga ikut gelap gulita. Ia terjebak dalam persimpangan dua hati, di antara cinta dan restu orang tua.
Keheningan menyelimuti ruangan. Hanya terdengar suara detak jam dinding yang berdetak teratur, seakan ikut menghitung mundur waktu sebelum Aisha harus membuat keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Ia terduduk di kursi, tangannya mengepal erat, kuku-kukunya menancap ke telapak tangannya hingga terasa sakit. Namun, rasa sakit fisik itu tak sebanding dengan sakit yang menggerogoti hatinya.
Air mata kembali mengalir di pipinya, membasahi kerudungnya. Ia ingin sekali berteriak, melampiaskan semua perasaan yang terpendam. Ia ingin memberontak, melawan kehendak orang tuanya. Namun, ia tahu, itu tak akan pernah berhasil. Ibunya seorang wanita yang sangat keras kepala dan memegang teguh prinsipnya.
Adrian mendekat lagi, kali ini memegang tangan Aisha dengan lembut. Sentuhan Adrian terasa dingin, tak mampu menghangatkan hati Aisha yang beku. Aisha menarik tangannya, menghindari kontak fisik dengan Adrian. Ia tak bisa berpura-pura. Ia tak bisa berpura-pura menerima Adrian.
"Aisha," suara Adrian terdengar sedikit bergetar, "aku tahu kau belum mencintaiku. Tapi aku berjanji akan selalu ada untukmu. Aku akan berusaha untuk mendapatkan cintamu."
Aisha menatap Adrian dalam diam. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia tak bisa memberikan janji yang tak bisa ia tepati. Ia tak bisa berbohong kepada Adrian, dan juga kepada dirinya sendiri. Ia terjebak dalam sebuah dilema yang begitu menyakitkan.
Tiba-tiba, ponsel Aisha berdering. Ia meraih ponselnya, melihat nama Daniel terpampang di layar. Jantungnya berdebar kencang. Ia ragu untuk mengangkatnya, takut ibunya akan marah. Namun, ia juga tak mampu mengabaikan panggilan dari orang yang dicintainya.
Dengan hati yang bergetar, Aisha mengangkat telepon. Suara Daniel terdengar di seberang sana, menanyakan kabarnya. Aisha tak mampu menjawab, hanya air mata yang mengalir deras di pipinya. Ia menceritakan semuanya kepada Daniel, tentang tekanan dari orang tuanya, tentang Adrian, dan tentang betapa sulitnya pilihan yang harus ia buat.
Daniel mendengarkan dengan sabar, memberikan dukungan dan semangat. Namun, di ujung telepon, Aisha mendengar isak tangis Daniel. Ia tahu, Daniel juga merasakan sakit yang sama. Mereka berdua terjebak dalam sebuah situasi yang tak adil. Percakapan mereka berakhir dengan kesedihan dan keputusasaan.
Malam itu, Aisha bergulat dengan pikirannya. Ia harus membuat keputusan. Keputusan yang akan menentukan masa depannya. Keputusan yang akan menentukan kebahagiaannya. Keputusan yang begitu sulit untuk diambil.
Aisha menatap bayangannya di cermin. Matanya sembab, wajahnya pucat, dan rambutnya kusut. Ia terlihat sangat lelah, seperti seorang prajurit yang baru saja melewati medan perang. Perang batin yang sedang ia jalani memang tak kalah beratnya dengan perang sesungguhnya.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya. Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan Daniel dan Adrian. Di satu sisi, ia mencintai Daniel dengan sepenuh hati. Daniel adalah cinta pertamanya, orang yang telah mengisi hari-harinya dengan tawa dan kebahagiaan. Namun, di sisi lain, ia juga tak ingin mengecewakan orang tuanya. Adrian adalah pilihan mereka, dan ia tak mampu menolak keinginan mereka begitu saja.
Aisha teringat pesan ibunya yang terngiang-ngiang di telinganya, "Aisha, Nak. Ini demi kebaikanmu. Adrian adalah pilihan yang terbaik. Dia akan membahagiakanmu." Namun, bisakah Adrian benar-benar membahagiakan Aisha? Aisha sendiri meragukannya. Bagaimana mungkin ia bisa bahagia dengan seseorang yang tidak ia cintai?
Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk pelan. Aisha tersentak, mendongak, dan melihat ibunya berdiri di ambang pintu. Ibunya tersenyum lembut, mencoba untuk menenangkan Aisha.
"Aisha, Nak. Ibu tahu ini sulit. Tapi ibu mohon, pertimbangkanlah keputusan ibu. Adrian adalah pemuda yang baik. Dia akan menyayangimu dengan tulus."
Aisha terdiam, tak mampu membalas ucapan ibunya. Ia merasa tertekan. Ia tak ingin mengecewakan ibunya, namun ia juga tak mampu mengkhianati hatinya sendiri. Ia terjebak dalam sebuah dilema yang tak kunjung terpecahkan.
"Aisha, Nak," ibunya kembali berkata, "ibu tahu kau mencintai Daniel. Tapi kau harus mengerti, cinta tidak selalu cukup. Kita harus mempertimbangkan banyak hal, termasuk agama dan restu orang tua."
Aisha menunduk, air matanya kembali mengalir. Ia tahu ibunya benar. Cinta tidak selalu cukup. Namun, bagaimana mungkin ia bisa melupakan Daniel begitu saja? Bagaimana mungkin ia bisa menerima Adrian, sementara hatinya masih tertambat pada Daniel?
Malam semakin larut. Aisha masih terduduk di kursinya, pikirannya masih kacau. Ia harus membuat keputusan. Keputusan yang akan menentukan masa depannya. Keputusan yang akan menentukan kebahagiaannya. Keputusan yang begitu berat untuk diambil.
Aisha mengusap air matanya, mencoba untuk menenangkan diri. Ia menatap foto Daniel yang tergeletak di atas meja riasnya. Senyum Daniel yang terekam dalam foto itu seakan menyapa, memberikan kekuatan padanya. Ia tahu, ia tak akan pernah bisa melupakan Daniel. Namun, ia juga tak ingin mengecewakan orang tuanya.
Aisha menarik napas dalam-dalam, kemudian berdiri dan berjalan ke arah jendela. Ia menatap langit malam yang gelap, dihiasi oleh bintang-bintang yang berkelap-kelip. Ia merasakan angin malam membelai wajahnya, membawa kesejukan yang menenangkan.
"Aisha," suara ibunya memanggil dari luar kamar. Aisha menoleh, melihat ibunya berdiri di ambang pintu, raut wajahnya tampak khawatir.
"Nak, sudah larut. Tidurlah. Besok kita bicarakan lagi soal ini."
Aisha hanya mengangguk, tak mampu berkata-kata. Ia kembali menatap langit malam, mencoba untuk mencari jawaban atas dilema yang sedang ia hadapi. Ia ingin sekali meminta bantuan pada Tuhan, memohon petunjuk untuk menentukan pilihannya.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Aisha tersentak, melihat nama Daniel terpampang di layar. Ia ragu untuk mengangkatnya, takut ibunya akan marah. Namun, ia juga tak mampu mengabaikan panggilan dari orang yang dicintainya.
Dengan hati yang bergetar, Aisha mengangkat telepon. Suara Daniel terdengar di seberang sana, menanyakan kabarnya. Aisha terdiam, tak mampu menjawab. Ia hanya bisa terisak, melepaskan semua kesedihan yang terpendam di hatinya.
"Aisha," suara Daniel terdengar khawatir, "kamu kenapa? Ada apa?"
Aisha menceritakan semuanya kepada Daniel, tentang tekanan dari orang tuanya, tentang Adrian, dan tentang betapa sulitnya pilihan yang harus ia buat. Daniel mendengarkan dengan sabar, memberikan dukungan dan semangat. Namun, di ujung telepon, Aisha mendengar isak tangis Daniel. Ia tahu, Daniel juga merasakan sakit yang sama. Mereka berdua terjebak dalam sebuah situasi yang tak adil.
"Aisha," Daniel berkata dengan suara yang sedikit bergetar, "aku tahu ini sulit. Tapi aku akan selalu ada untukmu. Aku akan selalu mencintaimu."
Aisha terdiam, air matanya kembali mengalir. Ia tahu, Daniel akan selalu mencintainya. Namun, apakah cinta itu cukup untuk menghadapi kenyataan pahit yang harus dihadapinya?
Aisha memutuskan untuk mengakhiri panggilan. Ia tak ingin memperlama penderitaan mereka berdua. Ia pun berbalik, berjalan menuju tempat tidurnya. Ia mencoba untuk memejamkan mata, namun pikirannya tak berhenti berputar. Ia terjebak dalam sebuah persimpangan yang tak kunjung terpecahkan.
"Aku harus membuat keputusan," batin Aisha. "Keputusan yang akan menentukan masa depanku, kebahagiaanku, dan cintaku."