Kamu menyelamatkanku dalam gelap. Namun, mengurungku dalam tatap.
💫💫💫
Malam semakin larut, jalanan semakin sepi. Lily masih melangkahkan kakinya menuju rumah. Gadis itu habis dari supermarket, membeli beberapa kebutuhan untuk dirinya.
Dengan menggunakan celana pendek selutut, serta kaos oblong tanpa jaket. Lily mengusap tangan nya merasakan hawa dingin yang menerpa.
Rambut ia ikat asal, sedikit berantakan karena gadis itu malas sekali menyisir rambut. Mengayun-ayunkan belanjaan yang ia pegang. Sebenarnya, Lily merasa sedikit takut dan was-was. Jalanan yang ia lewati sekarang benar-benar sepi, padahal waktu baru saja menunjukkan pukul 9 malam.
Belum lagi hanya ada beberapa lampu jalan sebagai penerangan. Jadi, sedikit gelap. Memang kompleks perumahan tempat Lily tinggal itu akan selalu sepi jika sudah memasuki malam.
Jika di tanya mengapa, Lily juga tidak tau jawabannya. Suara gerungan motor terdengar sangat berisik di belakang nya.
Tanpa menoleh Lily tetap melanjutkan langkah. Jarak rumahnya masih ada 500 meter lagi. Sebuah motor besar melintas, diikuti beberapa motor besar lain di belakang nya. Berhenti tepat di hadapan Lily.
Lily refleks berhenti, menatap segerombol orang yang berdandan seperti preman.
"Halo cantik," sapa seseorang diantara mereka, mendekat pada Lily.
Lily tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Lalu, mempercepat langkahnya. Tapi, seseorang tiba-tiba menghalangi jalan. Lily sedikit mundur, memberi jarak.
Pria tinggi, menggunakan anting di sebelah telinga nya, jaket dan celana yang robek-robek, rambut acak-acakan, serta rokok yang terselip di kedua sela jari nya.
Pria itu menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya ke udara. Pandangannya menelisik Lily dari atas hingga bawah. Kemudian menyeringai.
Lily bergidik, ia menggeser langkahnya tapi pria itu ikut bergeser. Lagi, Lily kembali menggeser langkah, namun tetap pria itu mengikuti.
Pria tinggi itu mendekatkan wajahnya, refleks Lily memundurkan tubuh. Aroma khas rokok menguar, dan Lily benci itu.
"Lo cantik.. Mau ikut gue malam ini? Main sama gue, cuman buat malam ini?" tanya pria itu setengah berbisik tepat di hadapan wajah Lily.
Lily meneguk ludah susah payah, hendak berbalik lari, tapi tangannya sudah ditarik. Sadar akan bahaya Lily mencoba berontak, menghentak tangan besar itu sekuat tenaga hingga terlepas.
Ia melempar belanjaan miliknya, lalu menendang tulang kering pria itu dan lari sekuat tenaga.
"Uhh..." pria itu meringis sebentar, merasakan tulang keringnya yang berdenyut nyeri.
Sebelum melangkah mengejar Lily, pria itu meminta teman-temannya untuk mengejarnya lebih dulu.
Lily berlari secepat yang ia bisa. Gadis itu menyesal karena tak pernah mau berolahraga. Langkah nya semakin memberat seiring napas nya yang semakin menderu. Peluh sudah membasahi dahi dan lehernya. Sesekali menoleh ke belakang.
Mereka, gerombolan orang bermotor itu mengejar dari belakang kian mendekat. Panik, gadis itu mempercepat laju lari, meskipun kakinya sudah merasa pegal dan terasa berat tapi ia tidak boleh berhenti. Kakinya sudah terasa seperti jeli, serta pijakannya yang menurut Lily seperti berlari di atas busa.
Tidak memperhatikan langkah, Lily terantuk sesuatu hingga membuatnya jatuh terjengkang. Rasanya Lily ingin menangis saja, sebelum sebuah tangan menarik dan membawanya berlari.
Sesaat Lily terpaku, mengikuti langkah si pria yang entah siapa dan akan membawanya ke mana. Pertanyaannya, apakah pria ini akan menolong? Ataukah malah sebaliknya? Haruskah Lily memberontak dan lari juga dari pria ini?
Larut dalam pikiran, Lily tidak sadar bahwa pria di hadapannya ini berbelok menuju sebuah gang sempit yang sangat gelap. Seperti jalan tikus dan ada sebuah celah kecil disana. Yang cukup menampung tubuh mereka.
Si pria membawa Lily bersembunyi pada cepah kecil itu, menghimpit tubuh Lily, menyembunyikannya di balik tubuh kekar pria itu.
Pria itu semakin merapatkan tubuh nya ketika sayup-sayup terdengar suara orang-orang yang mengejar. Lily Membekap mulutnya sendiri agar tak menimbulkan suara yang akan memancing mereka datang. Tanpa sadar gadis itu juga menahan napasnya. Hingga suara-suara itu menghilang, Lily masih menahan napasnya.
"Bernapas.." titah pria itu rendah, yang di turuti Lily tanpa sadar.
Tidak sadar jika sedari tadi jarak mereka terlampau dekat hingga Lily bisa merasakan napas hangat pria itu. Jika seseorang mendorong kepala pria itu sedikit saja, maka dahi mereka akan saling menempel. Ya, sedekat itu.
Lily mendongak, pandangan mereka bertemu, karena sejak tadi pria itu menunduk menatap Lily.
Sepasang mata tajam itu membuat Lily terpaku. Meski dalam keadaan gelap, netra biru saphire dari sepasang mata pria dihadapannya ini sungguh indah. Lily tidak pernah menatap mata seindah ini. Seolah menjeratnya untuk terus menatap lebih dalam.
Beberapa detik berlalu, mereka saling menatap dalam diam. Hingga pria itu sadar dengan posisi mereka yang terlalu dekat, mengalihkan pandang, lalu menjauhkan dirinya. Lily mengerjap, suasana nya terlalu awkward.
"Eum.. itu.." Lily mencoba merangkai kata, tapi sulit sekali rasanya.
"Kau tak apa?" hingga suara si pria terdengar. Lily mengangguk sebagai jawaban.
Hening kemudian, mereka kembali larut dalam keterdiaman. Terlalu canggung untuk kembali memulai pembicaraan.
"Makasih," lirih Lily.
Pria itu hanya menaikkan sebelah alisnya, "Mari, kuantar kau pulang," kata nya kemudian
"Ng-nggak usah, gue bisa sendiri," tolak Lily, bukan tidak mau hanya saja, errr sedikit... yah, begitulah.
"Ini sudah malam, tidak baik bagi seorang perempuan berjalan sendirian, lagipula jalanan ini terlalu sepi untuk dilewati perempuan sepertimu. Bagaimana jika mereka kembali dan menemukan mu?" jelasnya panjang lebar, meskipun nada bicaranya terdengar datar.
Jika begini mana mungkin Lily menolak bukan? Lagipula pria ini benar. Jalanan yang akan ia lewati itu sungguh berbahaya untuknya, belum lagi bagaimana jika orang-orang tadi yang mengejarnya menunggu di sana?
Akhirnya, Lily mengangguk mengiyakan. Lily berjalan mendahului, ketika tubuhnya sudah di depan si pria, pria itu menyampirkan jaket yang ia kenakan di bahu Lily. Lily menoleh, bertanya lewat mata.
"Dingin, udara malam tidak baik," ujar nya
Mereka berjalan, dengan posisi Lily di depan. Sedangkan, pria itu mengikuti dari belakang. Lebih tepat nya, mengawasi. Tidak ada pembicaraan lagi diantara mereka.
Hingga mereka sampai di rumah Lily. Pria itu hanya menatap punggung Lily yang hendak membuka gerbang rumahnya.
Lily berbalik, cahaya lampu jalan di samping rumah sedikit memberikan penerangan bagi mereka. Lily menatap pria itu, pun juga pria itu yang menatap Lily.
Mereka sama-sama terpaku, mengagumi diam-diam.
"Makasih.. eum..."
"Julian," seolah mengerti, Julian menjawab pertanyaan yang Lily pikirkan.
"Eum, iya, Julian. Makasih."
Julian mengangguk. "Masuklah!" perintah nya, masih mempertahankan kedatarannya.
"Gue.. Lo.. mau mampir?" tanya Lily hati-hati.
Julian menggelengkan kepala, mengangkat tangan, mengayunkan tangan itu ke depan, memberi tanda untuk Lily agar segera masuk.
Lily masih diam, seperti ingin mengatakan sesuatu. Lalu tangan nya menarik jaket yang tersampir di bahu. Melihat itu Julian mendekat, menahan tangan Lily yang akan melepaskan jaketnya.
"Simpanlah dulu," kata nya pelan
Lalu tangan nya menepuk pelan pucuk kepala Lily.
Julian tersenyum kecil, senyum yang membuat Lily berdebar, senyum kecil itu sangat menawan. Dan, hangatnya menyebar, membuat rona di pipi.
"Aku akan bertamu untuk mengambil nya nanti," ujar Julian menyadarkan Lily.
Pria itu membuka gerbang rumah Lily, mendorong tubuh gadis itu pelan. Lalu melambai sebelum kembali menutupnya.
Lily masih diam membeku di tempatnya. Rasanya ada ratusan kupu-kupu terbang di perutnya. Tersenyum tanpa sadar. Lalu memutuskan untuk masuk kedalam.