Chapter 3 Obsessed

Dae-hyun membawa Hee-ra menuju salah satu Rumah Sakit. Mereka bertemu seorang dokter yang rupanya sangat dikenal baik oleh Dae-hyun. Paul Roberto—seorang pria keturunan Prancis-Amerika, rambut coklatnya dimodel curtains, bermata abu-abu terang, serta garis senyum sempurna yang membuat pria itu terlihat sopan dan menawan.

"Sebagai penari, tidak heran kalau kau mengalami hal ini." Paul duduk di kursi, ia membiarkan Hee-ra tetap di atas ranjang. "Untung kau cepat mengompresnya dengan es kemarin. Aku akan menulis resep untukmu." lanjutnya, kemudian mulai menulis.

Hee-ra bangkit, ia meraih kruk dan berusaha menggapai kursi di depan Paul.

"Apa aku bisa sembuh dalam seminggu?"

Paul memicingkan mata, berpikir sebentar, lalu mengangguk. "Sebenarnya kondisimu cukup parah. Tapi, kurasa kau bisa sembuh dalam seminggu. Hanya saja, kau tidak boleh menari, paling tidak dua minggu."

Dua minggu? Yang benar saja!

Paul menyodorkan secarik kertas berisi resep. "Sebenarnya aku sangat terkejut saat Dae-hyun berkata akan datang dengan kekasihnya." Ia menaikkan kedua pundak bersamaan. "Well, aku tak pernah melihatnya bersama seorang gadis selama ini, kukira dia tidak tertarik pada wanita." Paul tertawa.

Sementara Hee-ra hanya mengerutkan kening mendengar cerita Paul. Apa maksud Dae-hyun mengatakan kalau Hee-ra adalah kekasihnya? Apa dia mulai sinting?

"Dia adalah pria yang baik Shin Hee-ra, aku berkata seperti ini karena telah mengenalnya selama tiga tahun belakangan. Aku yakin kau sangat istimewa baginya."

Oh ya ampun, rupanya Paul telah dibodohi oleh Dae-hyun. Jelas saja Dae-hyun bersikap baik di depannya, sangat berbeda dengan apa yang dirasakan Hee-ra selama ini. Andai saja Paul tahu bahwa Dae-hyun adalah pria gila berdarah dingin, arogan, dan selalu bersikap semaunya sendiri. Bisakah ia berkata seperti itu?

Tak lama setelah Paul menyelesaikan kalimatnya, pintu terbuka. Sosok Dae-hyun muncul dari sana. Tanpa permisi, pria itu langsung duduk di samping Hee-ra.

"Tenanglah, aku tak akan menggoda kekasihmu." Paul melirik Hee-ra sebentar, berusaha menggoda Dae-hyun yang nampaknya begitu mencintai gadis di sampingnya.

Mendengar ucapan Paul, Dae-hyun tertawa pelan. "Aku tidak pernah khawatir, dia terlalu sulit untuk digoda."

"Sepertinya kau benar." Paul mengangguk-anggukkan kepala. "Ia bahkan tidak tertarik sedikitpun padaku. Aku sakit hati melihatnya." lanjut Paul sambil memasang wajah terluka.

Astaga, pembicaraan macam apa ini? Hee-ra benar-benar tidak tahu harus merespon bagaimana kecuali tersenyum kecut.

Menyadari rasa canggung tengah menyelimuti perasaan Hee-ra, Daehyun segera mengubah topik pembicaraan. "Apa kalian sudah selesai?"

"Aku baru saja memberikan resep. Sepertinya kau sudah merindukan Hee-ra, padahal kalian baru berpisah sepuluh menit."

"Tidak juga. Sebenarnya, aku selalu merindukannya." dan aku tak ingin gadis ini berkata yang tidak-tidak, "kalau begitu kami akan langsung pamit dan menebus resepnya."

"Oh?" Paul berhenti sebentar, ia menunjukkan senyuman paling manis kepada Hee-ra. "Baiklah kalau begitu. Cepat sembuh Shin Hee-ra,?nice to meet you."

Hee-ra hanya membalas dengan senyuman, keberadaan Dae-hyun di sampingnya membuat gadis itu tak bisa bebas berekspresi. Ia tak boleh sampai salah bicara.

Begitu keduanya pergi, Dae-hyun tak melepaskan Hee-ra begitu saja. Mereka mampir sebentar ke taman, duduk di bangku tepat di samping air mancur sambil berlindung pada sebuah pohon dari teriknya matahari.

"Apa maksudmu mengatakan bahwa kita adalah pasangan kekasih pada dokter Paul?"

Dae-hyun tidak langsung menjawab, ia merenggangkan otot lengan, menarik napas sedalam mungkin, dan berusaha menikmati suasana ini. "Kau tidak suka?"

Tenu saja! Hee-ra benar-benar tidak menyukainya!

"Ahn Dae-hyun, aku tidak peduli dengan otakmu yang entah bisa berfungsi atau tidak itu, tapi kita adalah saudara. Kita lahir dari ibu yang sama!"

Dae-hyun melengus. ia tak suka dibilang lahir dari ibu yang sama oleh Hee-ra."Lalu?"

Lalu? Apa pria ini sudah benar-benar gila? Apa dia tidak bisa berpikir?

Berusaha menahan amarah, Hee-ra menarik napas sedalam mungkin dan menghebuskan perlahan. "Kita tidak mungkin memiliki hubungan lebih dari itu, Ahn Dae-hyun."

"Tidak!" elakan keras terlontar dari mulut Dae-hyun. Ia menengok dan mencengkeram kedua pundak Hee-ra. "Kau adalah milikku, Shin Hee-ra. Selamanya akan tetap seperti itu!"

Berakhirnya ucapan Dae-hyun dilanjutkan dengan mendekatnya kepala pria itu ke arah Hee-ra. Tanpa sempat bergerak atau meronta, Dae-hyun sudah lebih dulu menempelkan bibirnya di bibir Hee-ra, lalu melumatnya kasar.

Selama beberapa detik Hee-ra hanya terdiam, ia terlalu terkejut untuk melakukan apapun. Sampai akhirnya, kesadaran itu kembali. Sekuat mungkin Hee-ra berusaha mendorong Dae-hyun dan melayangkan tamparan di pipi kanan pria itu.

Wajahnya memerah akibat bekas tamparan yang dilayangkan Hee-ra. Bukannya meringis kesakitan, Dae-hyun malah tertawa. Ia mengusap pipi kanannya pelan. "Aku akan pergi selama beberapa hari. Jaga dirimu dari semua pria yang berusaha mendekatimu, bibirmu sudah menjadi hak milikku, sister."

Setelah diantar Dae-hyun sampai ke rumah, Hee-ra langsung masuk ke kamar. Bersandar di?headboard, dan memikirkan kejadian yang baru saja ia lalui.

Dae-hyun menciumnya. Sungguh, Hee-ra tak habis pikir kalau Dae-hyun akan senekat itu. Jujur saja ia merasa dilecehkan. Terlebih lagi, berkali-kali Dae-hyun mengatakan bahwa Hee-ra adalah miliknya.

Ia benar-benar membenci kalimat itu. Hee-ra adalah manusia! Ia bukan barang yang bisa dimiliki ataupun diatur oleh seseorang.

"Moon-bear?"

Ah, Hee-ra mengenali suara serta panggilan itu. Hanya sang ibu yang memanggil Hee-ra dengan Moon-bear. Tak lama kemudian, wanita itu sudah duduk di pinggir kasur, membelai rambut panjang Hee-ra penuh kasih sayang.

"Mama tahu kau pasti sangat terpukul dengan kejadian ini, tapi itu bukan berarti semuanya telah berakhir, Moon-bear."

Ibunya memang begitu. Seorang figus yang selalu berusaha menguatkan orang terdekatnya. Kang So-hee mengerti seberapa besar keinginan Hee-ra untuk berdiri di atas panggung impian yang selalu ia bicarakan empat tahun belakangan.

"Aku tidak apa-apa, mungkin sekarang memang belum saatnya." Hee-ra terdiam sebentar, mendongakkan kepala, dan menggigit bibir bawahnya, cara paling ampuh untuk menahan tangisannya.

Lantas, So-hee menarik Hee-ra dalam pelukannya. "Mama dan papa bangga padamu Moon-bear, begitu pula kakakmu." Ia melonggarkan lengan dan menangkup kedua pipi Hee-ra. "Dae-hyun sangat bangga padamu, dia sangat mencintaimu, Moon-bear."

Kakaknya?

Pasti hanya sandiwara belaka.

"Mama tahu kau terganggu dengan kenyataan bahwa Dae-hyun adalah anak mama bersama mantan kekasih mama. Tapi mama mohon sayangilah dia, karena bagaimanapun juga... Dae-hyun adalah keluarga kita." Tangisnya pecah, walau hanya sekadar isakan kecil, namun rasa bersalah begitu terlihat di wajah Kang So-hee. "Mungkin mama adalah ibu paling tidak bertanggung jawab di dunia. Bagaimana mungkin mama bisa melupakan darah daging mama sendiri?"

Hee-ra tak suka ibunya menangis. Selama bertahun-tahun, ibunya hidup dalam rasa bersalah. Bahkan Hee-ra sering melihat sang ibu mendatangi kamar Dae-hyun saat malam. Diam-diam, Hee-ra mengintip sang ibu yang tengah menangis dalam kegelapan sembari mengucapkan maaf berkali-kali.

Hee-ra menggelengkan kepala, menolak opini Kang So-hee. "Tidak ma, yang penting sekarang dia sudah bersama kita..."

Kang So-hee mengangguk, ucapan Hee-ra memang benar. Setidaknya, ia bisa memperbaiki dan mencurahkan kasih sayang pada Dae-hyun. Ditatapnya mata Hee-ra dalam-dalam, berusaha menunjukkan betapa seriusnya So-hee mengenai kalimat ini. "Mama harap kau benar-benar bisa menerima Dae-hyun sebagai saudaramu... karena bagaimanapun..." Kang So-hee terhenti, ia menundukkan kepala, menahan air mata yang tak mau berhenti mengalir. "Bagaimanapun juga... dia adalah darah daging mama."

Kenyataan memang terkadang tak seindah harapan. Dua sisi saling bertolak belakang yang ada dalam diri Hee-ra menguat. Sisi pertama mengatakan bahwa ia sangat membenci Dae-hyun, namun sisi lainnya mengingatkan bahwa mereka adalah saudara.

Saudara yang harus ia hormati, saudara yang harus ia sayangi, saudara yang kemungkinan telah kehilangan kewarasannya karena kurang kasih sayang dari seorang ibu hingga menjadi sekejam itu.

Hee-ra terdiam sesaat, ingin sekali rasanya menguak kebenaran pada Kang So-hee, tapi ia tak sampai hati untuk menghancurkan perasaan ibunya.

"Iya ma... aku... aku menyayanginya..."

Tiga hari yang berlalu tanpa kehadiran Dae-hyun rupanya sangat menyenangkan. Untuk sementara, hidupnya tak lagi tertekan. Hee-ra bisa bernapas panjang dan pergi dengan Seo-jun tanpa takut Dae-hyun melakukan sesuatu berbahaya.

Charlie Sullivans—seorang?chief ?kepolisian yang juga merupakan paman Seo-jun tengah sibuk memandang berkas di atas meja. Hee-ra yang kala itu baru sampai bersama Seo-jun langsung duduk di sampingnya.

"Bagaimana keadaanmu,?little girl?" tanya pria itu begitu menyadari kehadiran Hee-ra.

Meringis sebentar. "Sudah lebih baik daripada sebelumnya." Hee-ra melirik tumpukan berkas. "Kasus baru lagi, paman?"

Charlie mengangguk mantap. "Orang hilang, ada kemungkinan diculik atau pergi atas keinginannya sendiri."

Jawaban Charlie membuat Hee-ra makin penasaran, ia mendekatkan kepala dan memandang foto wanita cantik berambut pirang, netranya hijau menyala, cantik bak putri di negeri dongeng.

"Janetha Loussandro, salah satu calon pewaris grup LS." Seo-jun yang tiba-tiba datang sambil membawa segelas sirup langsung menyahut begitu saja. "Tim paman sudah mencari sejak beberapa hari lalu, namun belum ada petunjuk. Kemungkinan dia pergi keluar negeri, tapi tidak ada informasi mengenai kepergiannya. Jadi, bisa saja ia pergi secara ilegal... atau diculik."

Tercengang akan kelihaian Seo-jun, Hee-ra membulatkan mulut. Ia selalu berpikir kalau kekasihnya memang lebih cocok berkarir di bidang ini. Well, hampir semua anggota keluarga Seo-jun adalah polisi dan tentara. Hanya Seo-jun yang memilih menari sebagai tujuan hidupnya.

"Minumlah." Seo-jun menyodorkan segelas sirup dingin pada Hee-ra yang langsung diterima dengan senang hati oleh gadis itu.

"Mrs. Sanders bilang tiket untuk pertunjukan kita?sold out."

"Benarkah?" Hee-ra membulatkan mata penuh antusias, senyumnya merekah. Namun, detik berikutnya, gadis itu mendengus. "Aku belum memesan untuk keluargaku."

"Tenang." Seo-jun mengedipkan sebelah mata. "Aku sudah membeli empat tiket untukmu."

"Dan kau melupakan pamanmu yang tampan ini?" celetuk Charlie tiba-tiba.

Seo-jun tertawa. "Mana mungkin hal itu terjadi." Diangkatnya dua lembar tiket di depan wajah. "Aku juga sudah membeli untuk paman dan bibi. Ekslusif di baris paling strategis." jawabnya senang.

Sementara itu Hee-ra sibuk pada pikirannya. Seo-jun bilang ia membeli empat tiket, itu artinya Dae-hyun juga dihitung?

Seolah bisa membaca pikiran Hee-ra, Seo-jun mendekatkan kepala dan berbisik, "Aku ingin memperbaiki hubungan dengan kakakmu. Bagaimanapun juga, kalau aku ingin menikah denganmu, aku harus mendapatkan restu dari saudaramu."

Menikmati dan ketagihan, mungkinkah Dae-hyun seperti itu?

Ia meneguk?whiskey?dari gelas bewarna emas yang dipesan khusus beberapa tahun lalu. Jubah tidur satin nan lembut membalut tubuh gagah indahnya. Dae-hyun tersenyum tipis melihat seorang gadis tengah terbaring di ranjang. Gadis itu meronta dan terus meronta, meminta Dae-hyun untuk segera melepaskannya.

Dengan percaya diri, Dae-hyun bangkit dan berdiri di depan gadis itu. "Kau ingin pergi?"

Gadis itu meracau, tubuhnya sudah dipenuhi keringat dingin, menyesali keputusannya untuk mendatangi suatu bar beberapa hari lalu dan berkenalan dengan Dae-hyun—atau lebih tepatnya, Dae-hyun mengaku bernama Nicholas—dan berakhir di sekap selama tiga hari dalam mansion ini.

"Lepaskan aku, brengsek!"

Dae-hyun menempatkan diri di atas Janetha. Ia menyeringai sembari menelan tegukan terakhir dari whiskey dalam cangkir emasnya. Tangan kiri lelaki itu sibuk mencengkeram dagu Janetha dengan keras. "Melepaskanmu? Bukankah kau sendiri yang meminta untuk dibawa ke rumahku, Miss. Loussandro?"

"Brengsek! Kau benar-benar brengsek!" racau Janetha.

Dae-hyun mendesis, seolah mengisyaratkan agar Janetha berhenti meracau, kemudian mendekatkan tubuh mereka dan mulai berbisik. "Ya, aku memang brengsek. Lalu apa yang akan kau lakukan?"

Janetha terdiam, namun bibirnya bergetar penuh emosi. Jawaban tenang Dae-hyun hanya semakin membuat mentalnya tertekan. Ia tidak bisa melakukan apapun, benar ucapan Dae-hyun. Yang bisa dilakukan Janetha hanya mengucapkan sumpah-serapah tanpa tahu bagaimana caranya untuk melepaskan diri.

"Brengsek! Kau lelaki t—"

Membiarkan Janetha larut dalam emosi, Dae-hyun meraih pisau lipat dari dalam laci tanpa gadis itu sadari. Dalam satu hentakkan keras, pisau tersebut telah tertancap di perut kiri Janetha.

Tawanya mulai menggelegar. Seolah tak cukup sekali, Dae-hyun melepas dan kembali menusukkan pisau tersebut di tempat berbeda hingga Janetha benar-benar kehilangan kesadarannya.

Tubuh yang semula terjaga itupun ambruk. Matanya melotot sebelum perlahan menutup, rasa sakit akibat tusukan Dae-hyun rupanya membuat Janetha terkejut dan tak sempat melakukan perlawanan hingga berakhir kehilangan nyawa.

"Tidur yang nyenyak, beautiful." Dae-hyun mengecup sekilas kening Janetha, kemudian mencabut pisaunya.

Sesaat, pria itu terdiam. Bukan, ia tidak sedih, ia hanya sedang memuji diri sendiri dalam hati. Kemudian Dae-hyun membersihkan tangan dan pisaunya dari cipratan darah Janetha menggunakan tisu. Tugasnya sudah selesai, ia hanya perlu menghubungi Park Young-lee untuk membereskan mayat di hadapannya ini

"Park, bereskan gadis ini. Bakar lalu buang abunya." perintah Dae-hyun melalui telepon.

Ia melirik sebentar mayat Janetha, kemudian berkacak pinggang. "Sayang sekali mereka membayarku mahal untuk mengambil nyawamu. Persaingan untuk mendapat warisan memang sangat melelahkan, bukan?"

Sepersekian detik kemudian terdengar ketukan pintu, Dae-hyun langsung membuka dan mempersilakan Park Young-lee melakukan tugasnya. Sementara itu, ia duduk santai di sofa, menekan beberapa angka di layar ponsel.

Sambil menunggu panggilannya diterima, Dae-hyun meraih topeng di atas meja dan mengenakannya. Ia tidak suka wajahnya diketahui klien. Ketika wajah seorang pria berusia awal tiga puluhan nampak di layar, tanpa basa-basi Dae-hyun langsung mengatakan maksudnya. "Aku sudah menghabisi gadis itu." gumamnya datar.

Selama beberapa saat pria di layar ponsel itu membulatkan mulut, seolah tak percaya akan ucapan Dae-hyun barusan. Namun, dengan cepat ia mengubah ekspresi, terlihat senyum kepuasan di wajahnya. Tak aneh kalau bayaran Dae-hyun sangat mahal.

"Aku akan segera men-transfer?kekurangannya." Ia berhenti sebentar, mendekatkan bibirn ke layar. "Senang bekerja sama denganmu,?Mr. D."

Tak ada respon berlebihan dari Dae-hyun, ia hanya menganggukkan kepala beberapa kali sebelum akhirnya mengakhiri panggilan.?Well, pekerjaannya sudah beres, kan? Kalau begitu Dae-hyun ingin segera pulang dan kembali pada Hee-ra. Ia merindukan Hee-ra. Ia rindu menekan Hee-ra, ia rindu melihat raut ketakutan Hee-ra, ia rindu berkata dengan tegas bahwa Hee-ra adalah miliknya.

Ia sangat-sangat merindukan semua itu.