Chapter 5 Someone From The Past

Makan malam mereka terasa dingin. Hee-ra berkali-kali berusaha mencuri pandang keluar ruangan, matanya menelusuri sosok Seo-jun yang kelihatan senang bersama Emma di luar sana. Sementara Dae-hyun hanya tersenyum kecut mendapati Hee-ra tak fokus padanya.

"Pergi dengan orang jatuh cinta memang makan hati." Dae-hyun meringis.

"Apa maksudmu?"

"Mengacalah." Ia mengikuti arah pandang Hee-ra. "Bukankah tidak sopan bila kau terus mengacuhkan orang yang bersamamu dan fokus pada orang lain?" Dae-hyun berhenti sebentar, ia menyandar ke kursi dan menyilangkan kedua tangan. "Apa aku harus menyeretmu ke sana dan berkata pada pria itu agar tidak bersenang-senang dengan wanita lain karena kekasihnya terbakar cemburu?"

Oh?shit!

Hee-ra tak akan ragu memukul Dae-hyun kalau berani melakukannya. Ya, Hee-ra mengaku jika ia tengah cemburu karena Seo-jun kelihatan bahagia di sana, sementara Hee-ra malah terperangkap bersama pria jahat ini. Dunia kadang memang tidak adil, dan Hee-ra tidak bisa melakukan apapun selain menerima.

Berusaha mengatur emosi, Hee-ra menarik napas dalam-dalam, ia meletakkan sendok dan garpu, kemudian menyandarkan punggung ke kursi. "Kau tidak perlu melakukan itu. Aku sudah cukup dewasa untuk menerima bahwa mereka hanya berteman."

Dae-hyun tertawa. "Hanya berteman? Benarkah?" Wajahnya berubah serius, ia mendekatkan bibir ke wajah Hee-ra. "Aku yakin kau bisa melihat gadis itu sangat tertarik untuk merebut kekasih yang selalu kau banggakan."

Demi apapun, kenapa mulut pria ini sangat tidak beretika? Maksudku, haruskah dia memanasi Hee-ra yang sudah panas? Bagaimana kalau saat ini posisi mereka terbalik?

"Shin Hee-ra, sudah kukatakan dari awal, bukan? Kau seharusnya tak menjalin hubungan dengan Seo-jun atau siapalah itu, karena pada akhirnya dia akan melukaimu."

Hee-ra menyeringai, geli mendengar ucapan yang barusan keluar dari mulut Dae-hyun. "Lalu? Aku harus bersamamu? Orang yang jelas-jelas lebih jahat dari dia?"

"Aku jahat? Tunggu dulu, aku bahkan tak pernah melukaimu. Bagaimana mungkin kau bisa menganggapku jahat?"

Hee-ra tergelak, sadar pada kenyataan bahwa Dae-hyun memang tak pernah melukainya, bahkan tergolong melindungi Hee-ra.

"Kau memang tak pernah melukai fisikku, tapi apakah kau sadar berapa kali telah melukai perasaanku, Ahn Dae-hyun?"

Senyum liciknya pudar, tak menyangka bila Hee-ra akan menjawab seperti ini. Ia seolah menyalahkan Dae-hyun atas semua penderitaan hati yang dialami.

"Jadi kau berpikir seperti itu?" Dae-hyun memutar bola mata, ia menautkan kedua tangan satu sama lain dan berbisik. "Lalu, apakah kau pernah menghitung berapa kali telah menyakiti perasaanku yang jelas tulus padamu?"

Hee-ra terkesiap, wajahnya memerah. Apa telinganya tidak salah dengar? Hee-ra melukai Dae-hyun? Apa pria itu sudah mabuk?

"Sanggupkah kau berada di posisiku? Sebagai pihak yang selalu ditolak dan tak diinginkan, Shin Hee-ra?"

Semilir angin membuat Seo-jun memejamkan mata, membiarkan rambutnya terbang berhela kelembutan. Wajahnya memang nampak tenang, berbanding terbalik dengan hati serta perasaannya. Tadi siang, Hee-ra menolak untuk diantar ke toko buku. Ia lebih memilih pergi bersama Jessica.

Seo-jun merasa kalau perubahan sikap Hee-ra merupakan akibat dari perbuatannya kemarin malam. Mengingat Seo-jun telah melanggar janjinya sendiri untuk langsung mengantar Emma dan malah berhenti makan malam bersama gadis itu.

Hei, apakah ada pria yang tega membiarkan seorang gadis kelaparan ketika bersamanya? Seo-jun juga begitu. Ia tak sampai hati membiarkan Emma kelaparan dan terus merengek sakit perut.

Seo-jun mengambil ponsel dan mencari nama Hee-ra di kontak, kemudian mulai menulis pesan.

'To: Shin Hee-ra

Aku merindukanmu. Nanti malam aku akan mampir sebentar.'

Setelah menekan tombol kirim, Seo-jun tidak menyimpan ponselnya ke saku, melainkan menggenggam sambil berharap Hee-ra akan segera membalasnya. Namun nihil, tiga puluh menit berlalu dan Hee-ra belum juga memberikan balasan. Apa dia benar-benar marah karena Emma? Sejak kapan Hee-ra jadi cemburuan seperti itu?

Berniat pulang, tiba-tiba ponselnya bergetar. Seo-jun segera memasang mata dan tersenyum senang ketika melihat nama Hee-ra tertera di layar. Tanpa butuh waktu lama, ia segera menekan tombol jawab.

"Shin Hee-ra?" Ia memulai percakapan.

Seolah tak ingin membalas rasa rindu Seo-jun atau sekadar berbasa-basi, Hee-ra segera mengatakan maksudnya. "Jangan datang malam ini. Aku ada kerja kelompok."

"Tidak masalah. Aku akan ikut denganmu."

Hee-ra mendecak. "Kenapa kau tidak beristirahat dan mempersiapkan diri agar penampilanmu dengan Emma berjalan lancar?"

"Aku sudah cukup istirahat." Seo-jun mendesah berat. "Apa kau marah padaku karena mengajak Emma makan malam kemarin? Aku benar-benar tidak memiliki maksud apapun selain tidak tega membiarkannya kelaparan, sungguh."

Hee-ra tak langsung menjawab. Ia hanya mendesah berat beberapa kali, malas membalas ucapan Seo-jun. "Aku tahu. Kau tidak perlu khawatir."

Hee-ra memang berkata seperti itu, tapi Seo-jun yakin seratus persen bahwa hatinya tak mengatakan demikian.

"Aku tahu kau cemburu." Seo-jun berhenti sebentar, senyumnya muncul begitu saja. "Terima kasih sudah cemburu, itu artinya kau memang mencintaiku. Dan akupun begitu, aku mencintaimu, Shin Hee-ra."

"Aku tahu."

"Shin Hee-ra?"

"Ya?"

"Aku telah memilihmu, kau tidak perlu khawatir akan kehilanganku."

"Aku akan menutup teleponnya."

"Jangan pulang terlalu malam, mengerti?"

"Baiklah. Aku akan menghubungimu lagi nanti."

"Long time no see, Mr. Ahn."

Alis Dae-hyun terangkat ketika mendapati gadis yang dikatakan oleh sekretarisnya ingin menemui barusan adalah Jasmine.

"Jasmine Rochester?" tanya Dae-hyun, lebih kepada diri sendiri.

Gadis di depannya itu duduk bersilang kaki, ia mendekatkan wajahnya pada Dae-hyun. "Apakah aku berubah begitu banyak hingga membuatmu harus bertanya kalau ini memang diriku?"

Dae-hyun menggeleng. "Tidak, maksudku ya, kau tumbuh menjadi wanita dewasa yang menakjubkan." Matanya mengerjap beberapa kali.

"Dan seksi." tambah Jasmine untuk memuji dirinya sendiri.

Oh tentu, Dae-hyun tak akan mengelak. Kenyataannya memang Jasmine tumbuh menjadi gadis cantik nan seksi yang mampu membuat siapapun terpana.

"Mm..." Jasmine bertopang dagu. "Kudengar kau jatuh cinta dengan seorang gadis."

Tanpa butuh waktu lama, Dae-hyun langsung mengerti bahwa gadis yang dimaksud Jasmine adalah Hee-ra. Tak aneh memang kalau Jasmine mengetahui hal itu, mengingat mereka sama-sama terhubung dengan Bruce Waylon.

"Jadi?"

"Aku berniat menikahinya." kata Dae-hyun santai.

Jasmine tak suka mendengar jawaban Dae-hyun. Ia lebih suka kalau Dae-hyun berkata akan meninggalkan gadis bodoh itu demi dirinya yang jauh lebih menarik.

"Oh, baiklah." Ia berpikir sebentar. "Ada waktu malam ini? Aku baru tiba beberapa hari lalu dan kau tak berniat mengucapkan selamat datang?"

Selamat datang yang dimaksud Jasmine bukanlah dua kata pada umumnya, melainkan melakukan kegiatan panas orang dewasa. Seperti yang sempat mereka lakukan beberapa tahun lalu, sebelum Jasmine memutuskan untuk pindah ke Australia.

Dae-hyun melirik kalender kecil di atas mejanya sebentar. "Aku akan menghubungimu lagi nanti sore. Tinggalkan kontakmu di sini, Jaze."

Berubah!

Dae-hyun memang telah berubah. Buktinya, ia tidak langsung mengiyakan keinginan Jasmine, melainkan butuh waktu beberapa saat untuk berpikir. Tapi tak apa, mungkin Dae-hyun belum sadar akan pesona Jasmine seperti dulu.

"Baiklah, aku akan menunggu panggilanmu. Kuharap masih ada sedikit tempat bagiku dalam dirimu,?Mr.?Ahn."

Jasmine langsung bangkit setelah menyelesaikan perkataannya, sedangkan Dae-hyun tak membalas, ia hanya mengangkat kedua alis bersamaan dan membiarkan Jasmine menghilang di balik pintu.

Jasmine Rochester telah kembali, mungkinkah perasaannya pada Dae-hyun juga masih sama? Kalau begitu, Dae-hyun harus semakin meningkatkan perlindungannya pada Hee-ra. Ia tidak ingin Jasmine menyentuh Hee-ra sedikitpun.

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Bukan bagi Hee-ra, tapi semua orang yang ikut andil dalam pementasan, menginggat Hee-ra telah terdepak gara-gara kakinya terkilir.

Dae-hyun baru saja keluar dari kamar. Ia mengenakan tuxedo, rambutnya klimis, tampan seperti biasa, sedangkan Hee-ra membalut tubuh indahnya dengan?dress?biru dongker polos sepanjang lutut. Keadaan kaki yang tak begitu baik membuat Hee-ra terpaksa mengenakan sepatu?kets serta alat bantu jalan di kaki kanannya. Ekspresinya tidak menunjukan rasa senang. Muram karena kesal pada kenyataan. Harusnya Hee-ra yang berdiri di panggung bersama Seo-jun malam ini, bukan Emma.

Apa sebaiknya Hee-ra tidak usah datang saja? Tapi ia telah berjanji pada Seo-jun untuk menyaksikan pentasnya. Menyebalkan.

"Sedang berpikir untuk kabur dari rencana,?sister?" Dae-hyun mengangkat alisnya, menyadari Hee-ra yang tengah gelisah.

"Aku tidak sepengecut itu, asal kau tahu." dustanya.

"Kalau begitu kenapa kau tidak segera masuk ke mobil? Mama dan papa sudah menunggumu sejak tadi."

Berbeda dengan Hee-ra, Shin Jae-woo dan Kang So-hee begitu antusias untuk menyaksikan pementasan Seo-jun. Mereka telah menganggap Seo-jun sebagai anggota keluarga, dan begitu mendapat kabar bahwa kekasih putrinya telah membelikan tiket pertunjukan, mereka langsung membatalkan semua janji demi pementasan ini.

Dengan kesal Hee-ra mengikuti Dae-hyun dari belakang. Mereka duduk bersampingan di mobil, sementara Shin Jae-woo menyetir. Dalam perjalanan, sang ibu tak henti-hentinya memuji Seo-jun. Cukup membuat Hee-ra kesal karena itu berarti ia harus mengingat Emma.

Mereka tiba lima belas menit sebelum pertunjukan dimulai. Hee-ra tak berniat pergi ke belakang panggung untuk sekadar melihat Seo-jun, melainkan langsung duduk di tempatnya. Pilihan Seo-jun bisa diakui sangat bagus, keluarganya bisa melihat penari dengan jelas. Selain itu, beberapa baris di depan, terlihat Charlie Sullivans—paman Seo-jun—beserta istrinya.

Bersamaan dengan terbukanya layar, riuh tepuk tangan penonton terdengar selama beberapa detik sebelum akhirnya terfokus pada tarian mereka. Instrumental nan indah serta gerakan gemulai penuh perasaan membuat semua yang hadir begitu larut dan menikmati. Tiada bisikan terdengar, semua mata terfokus pada bintang di atas panggung.

Begitupula Hee-ra, ia memang tidak menyukai Emma, tapi itu bukan berarti Hee-ra tak mengagumi kelihaiannya dalam menari. Jujur saja, Seo-jun dan Emma bisa dikatakan sempurna ketika membawakan tarian ini.

Hee-ra memang sakit hati, tapi mau bagaimana lagi? Kenyataan tak bisa dielak, melainkan harus diakui. Tanpa sadar, ia mulai larut dalam tarian. Hee-ra begitu mengagumi sosok Seo-jun dengan kemeja putih kebesaran dan celana hitam yang menari dalam genangan air, gemricik hujan buatan semakin mendramatisir keadaan, seolah Seo-jun dan Emma adalah pasangan yang sedang dilema. Pandangan Seo-jun mengisyaratkan bahwa ia tak ingin kehilangan Emma, begitupun sebaliknya.

Perasaan apa ini? Mungkinkah Seo-jun hanya larut dalam tarian atau memang berdasar kenyataan? Kenapa pandangannya seperti itu? Hee-ra tidak menyukainya.

Tarian berakhir saat Emma dan Seo-jun duduk berdua di kursi, mereka saling berpandangan juga berpegang tangan, melepaskan kerinduan yang begitu dalam setelah terpisah lama. Saat itu pula terdengar riuh tepuk tangan penonton yang puas akan pertunjukkan di depannya.

Namun, tiba-tiba seisi gedung heboh. Emma menarik wajah Seo-jun dan menciumnya tanpa permisi, sepersekian detik kemudian, layar tertutup.

Hee-ra tercengang. Apakah memang ada adegan ciuman dalam rencana? Atau Emma yang terlalu larut dalam peran? Oh sungguh, Hee-ra yakin akhir dari tarian mereka hanya sebatas duduk berdua di atas bangku, bukannya sang gadis dengan agresif menarik si pria dan menciumnya.

Ini salah!

Emma menumbuhkan perasaan pada Seo-jun dan pria itu hanya diam tak kuasa melakukan apapun saat Emma menguasainya.

Inikah yang dinamakan bau kesuksesan? Seo-jun menutup matanya, mendengar dan merasakan riuh tepuk tangan penonton yang terhibur olehnya. Dalam kepalanya terbayang senyum lebar Hee-ra yang bangga akan penampilannya malam ini. Sebuah pelukan hangat serta kecupan manis di kening tentu tak akan berlebihan, bukan? Ia akan segera mencari Hee-ra setelah ini.

Namun, senyumnya pudar kala seseorang tiba-tiba menarik dan menepelkan bibir dingin itu di bibirnya. Seo-jun membuka mata, terkejut saat Emma telah menangkup kedua pipi dan menciumnya.

Tapi bukan itu masalahnya...

Layar masih terbuka dan Emma memberikan ciuman begitu saja? Sontak para penonton semakin heboh, untungnya sepersekian detik kemudian layar cepat-cepat tertutup hingga adegan ciuman tak terduga itu hanya berlangsung beberapa detik saja.

Seo-jun langsung mendorong Emma, tidak terlalu keras tapi sudah cukup membuat gadis itu melepaskan ciumannya.

"Apa yang kau lakukan?!" protes Seo-jun yang mulai kesal pada kelakuan Emma.

Ekspresi tak mengerti tergambar begitu jelas pada wajah Emma. "Apa maksudmu? Aku hanya memberikan ciuman untuk akhir pentas yang menakjubkan, tidak lebih."

Seo-jun bangkit dengan marah. "Kau seharusnya tak melakukan itu, Emma Carter!"

"Apa yang salah?" Tak terima akan kemarahan Seo-jun, Emma ikut bangkit dan berteriak, "Kau seharusnya tak membesar-besarkan persoalan kecil seperti ini! Aku hanya memberikan pertunjukkan pada penonton."

Dagunya mengeras. Pertengkaran mereka secara tak sadar telah menjadi tontonan bagi para penari lain, begitupula?Mrs. Sanders. Ia tak melakukan apapun, takut salah dan malah semakin membuat dua orang itu saling membenci.

"Bagimu ciuman ini memang biasa, tapi tidak bagi Hee-ra. Kau harus menghargainya sebagai kekasihku, Carter."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Seo-jun langsung beranjak pergi. Meninggalkan Emma yang masih terpaku di tempat, berusaha tak mengambil pusing akan tatapan-tatapan penuh tanya dari semua orang di sekelilingnya.

Yang terpenting, setelah ini Seo-jun harus menjelaskan segalanya pada Hee-ra. Apa yang gadis itu lihat bukanlah kejadian sebenarnya, Seo-jun tak pernah berniat untuk mencium Emma.