"Sialan gue telat!" Ujar seorang remaja pemalas bagai kebo, selalu bangun kesiangan.
Ia pun bersiap mengenakan pakaian dengan tergesa, tanpa menghiraukan kalau dia mesti mandi, tetapi hanya menyemprotkan parfum Axe Gold di pada tubuhnya. Lalu pergi ke bawah mengambil roti yang dibuat Mamanya.
"Mah kenapa abang nggak dibangunin sih? Telat kan jadinya"
"Heh. Mama udah bangunin kamu udah enam kali dari jam lima, kamunya bilang iya tapi gak bangun-bangun. Pegel rahang Mama teriak mulu"
"Bohong!"
"Tanya bi Surti, dia bangun lebih awal dari Mama. Pasti taumama ngapain aja. Nggak perayaan ya kamu sama Mama sendiri. Makanya kalau nongkrong jangan sampe larut, tau sendiri kamu tuh kebluk"
"Tsk~ yaudah iya maaf, abang berangkat dulu"
"Hati-hati"
Namanya Bastian, lahir dari keluarga mapan, bisa dibilang lebih mapan hingga membeli sebungkus Kawasaki Ninja ZX10-R untuk anaknya sudah seperti jajan di minimarket.
Hingga ia sampai di gerbang sekolah yang sudah tertutup.
"Aduh bangsat! Kalau gue nggak nongkrong sama gengnya Adam, gak akan telat gini"
"Ngapain kamu diam disitu? Masuk!" Seru seorang guru kesiswaan yang melihas Bastian sedang duduk di motornya sembari mengumpat.
"Eh? I-iya pak" Bastian pun menyalakan motornya, membawanya ke parkiran. Tapi sebelum itu, guru kesiswaan menahannya sejenak.
"Habis parkir motor, langsung masuk barisan. Jangan ke kantin"
"Baik pak"
Selesai memarkirkan motornya, ia langsung menuju barisan para pelanggar yang pastinya ia akan mendapat hukuman. Sebenarnya, ini bukan kali pertama ia terlambat, ia menekuni keterlambatannya semenjak awal masuk ke SMA ini. Karena terlalu sering nongkrong dengan para geng motor hingga larut, bahkan bisa sampai subuh atau pun tidak pulang sama sekali.
"Lu lagi... Lu lagi. Kapan sih Bas, lu bisa jadi manusia normal selain jadi kebo?"
'Cih, ini bencong, gak ada habisnya mempermalukan gue. Mentang-mentang ketua OSIS bisa seenaknya buka mulut' Gumamnya dalam hati.
"Bas, catatan keterlambatan lu hampir full. Dan catatan ini bakalan jadi penilaian kelulusan lu, dan ujian nasional tinggal dua bulan lagi"
"Bacot lu Dra! Gak ada urusannya sama lu. Mau gue telat apa nggak, lulus apa nggak, bodo amat. Lu bukan bokap gue!"
Ia pun menghela napas, lalu melontarkan kata andalannya.
"Scott jump 50 kali setengah tempo"
'Anjing ni anak. Bakal gue kasih pelajaran, awas aja'
Ketua OSIS yang sedang menghukum Bagas namanya Mahendra. Ia dipilih menjadi ketua OSIS tahun akhir, ia terpilih karena sifat disiplinnya yang tinggi dan dipercayai oleh khalayak sekolah. Mahendra memang menekuni dunia organisasi sejak SMP, dan ambisinya menjadi ketua pun terpenuhi di bangku SMA.
Soal akademik, ia tidak kalah pintar dari para juara umum kelas lainnya. Seisi sekolah pun mengaguminya.
Bastian membenci Hendra sejak ia menduduki tahta ketua. Tapi sebelumnya, mereka hanya teman sekelas, tidak lebih. Hanya saling sapa lalu duduk dan melakukan urusan masing-masing.
Namun faktanya, Bastian memang membenci Hendra, namun belum dapat melakukan tindakan apapun selain hanya memendamnya dalam gumaman.
Hendra juga memang agak keras terhadap Bastian, namun ia memiliki alasan yang kuat, yaitu ia peduli padanya dan pula ingin semua murid lulus walaupun dengan nilai yang pas-pasan.
Ia ingin catatan yang selalu dipegangnya bersih dari nama-nama yang ia tulis termasuk Bastian sendiri.
Tapi tak tahu apakah sebuah kebetulan, musibah, jodoh atau hukum karma, Hendra adalah teman sekelas juga sebangku dengan Bastian. Namun mereka bisa satu bangku baru-baru ini, tepatnya di semester akhir menjelang kelulusan.
Seperti yang kalian tau, dimana dua orang saling bermusuhan dalam satu ruang, disitu ada kecanggungan. Ya, mereka jarang mengobrol. Sekali pun berbicara tidak lebih dari sekedar Bastian yang ingin meminjam pulpen.
"4..9... 50... Puas lu?"
"Eits, tanda tangan dulu. Baru masuk"
"Tsk~"
Hendra memang sudah biasa mendengar Bastian berdecih. Sudah seperti sarapannya di pagi hari. Makanya ia tidak sedikit pun emosi. Ia juga sudah sering mendengar Bastian mengumpat dengan kata kasar hingga yang tak seronok di depannya.
Tapi uniknya, jika salah satu tidak masuk, pasti ada yang cemas. Ini berlaku bagi mereka berdua.
Waktu menunjukkan pukul 9, memilki arti bahwa sekarang saatnya untuk berganti pakaian karena sekarang adalah pelajaran PE.
"Bas, ayo ganti baju"
"Berisik! Gue gak mau olah raga"
"Bas..."
"Bas..."
"Bastian..."
"FINE. FUCK YOU, ANNOYING DICK!" Teriaknya, membuat seisi kelas menatapnya kaget.
Baru saja kita dibicarakan, Bastian sudah melontarkan umpatannya. Tapi itu tidak membuat Hendra ikut emosi, ia seperti biasanya tersenyum dan membalasnya dengan perkataan yang positif.
"Nah gitu dong. Ayo"
Pelajaran PE pun dimulai para teman kelasan terutama kubu laki-laki antusias ingin bermain futsal dan tentunya membuat kubu perempuan merasa panas dingin melihat para jantan menggiring bola.
'Hmm... futsal ya. Lumayan ada rencana baru' Itulah yang ada di pikiran Bastian. Rencana mendadak yang menjadi misteri.
Peluit berbunyi, tanda permainan dimulai.
permainan sengit antara dua tim berlawanan membuat semuanya semakin seru. Kubu perempuan bersorak riang menyemangati tim B yang tentunya sang idola sekolah di situ, Mahendra.
Bastian tetap terfokus pada rencananya dengan dalih ikut bermain dalam permainan. Bola ter oper pada Bastian, dan ini saatnya ia menjalankan rencananya.
Bugh!
Tendangan keras menuju pada seseorang, membuat seemuanya syok sekaligus emosi. Bola tersebut terkena pelipis Hendra, membuatnya kepalanya terbanting ke lantai arena.
Seketika pemain di lapangan mengerumini Hendra. Ia tak sadarkan diri dengan kondisi pelipisnya yang penuh darah.
"Ayo bawa ke rumah sakit sekarang! Ketua kelas panggil Ambulans!" Teriak sang guru PE.
Ternyata itulah rencana Bastian yang ia jalankan. Mencelakai Hendra, namun ia hanya ingin ia benjol saja. Tapi takdir berkata lain, Hendra bukannya benjol, melainkan luka fisik yang didapat.
"Bas, gila lu! Si Hendra bisa sampe kayak gini. Tanggung jawab lah!" Ucap seorang ketua kelas.
Perkataan ketua kelas membuka hati seorang Bastia. Kini ia dilanda rasa bersalah. Ia pun turut ikut mengantar Hendra ke rumah sakit bersama guru PE yang membimbingnya.
Hendra pun dilarikan ke IGD untuk mendapatkan perawatan intensif. Bastian dan Pak guru menunggu di lorong.
"Katakan. Apa ini ulah kamu Bas?"
Bastian langsung tertunduk malu dan bersalah.
"I-iya pak. Itu ulah saya. Saya berniat mau jahil sama Hendra, tapi saya jadi bikin dia celaka"
Pak guru mendengus, mencoba menahan emosi dan mencoba bersikap bijak layaknya seorang guru.
"Nak, denger. Bapak paham kalau kamu memang tidak suka dengan Bastian. Tapi semuanya bisa diselesaikan dengan bicara kan? Melakukan kekerasan apalagi sampai membuat orang lain celaka itu kamu bisa kena tindak pidana"
"Bapak bukannya berpihak pada Hendra, tapi dia keras sama kamu karena dia punya alasan. Terkadang saya selalu denger keluhan dia saat memberikan catatan pelanggaran ke pembina. Dia selalu sebut nama kamu, dia melakukan ini karena gak mau ada murid yang nggak lulus cuma karena catatan bodoh yang sebenernya bapak juga kurang setuju dengan prosedur itu"
"Waktu minggu kemaren, kita ada rapat guru dan kepala sekolah. Semuanya bicarain kamu, dan ada Hendra disitu. Dia bersikeras meminta kepala sekolah buat cabut keputusan untuk drop out kamu saat pra ujian, karena dia gak mau temennya sendiri gak punya masa depan"
"Nak, bersyukurlah. Bahwa masih ada orang yang perjatian denganmu. Jangan sia-siakan kesempatan itu. Berubahlah. Ini bukan hanya buat kamu dan sekolah. Tapi perjuangan orang tuamu yang udah biayain kamu sekolah. Dan juga, bantu Hendra buat mencapai misinya, yaitu membuat kamu jadi anak yang baik. Buat Hendra bahagia"
Sebenarnya Bastian adalah anak yang baik, walaupun tidak sepandai anak sekelasnya. Namun ia memiliki masalah mengontrol emosi, seperti berkata kasar sudah biasa baginya, namun melakukan kekerasan fisik merupakan hal yang baru baginya dan dimata khalayak sekolah juga keluarganya.
Lima jam menunggu, akhirnya dokter pun keluar dari ruang IGD.
"Apa, ada anggota keluarganya disini?"
"Saya gurunya"
"Boleh saya tahu nama pasiennya?"
"Mahendra Dwiantoro Fauzan" Potong Bastian.
"Baik. Setelah kami lakukan diagnosa, ananda Mahendra dipastikan mengalami gegar otak berat. Agar lebih rinci, harus ada pemeriksaan lebih lanjut menggunakan CT scan"
"H-hendra..."
Perasaan bercampur aduk dalan diri Bastian. Bukan hanya menyesal, namun ia takut jika terjadi sesuatu yang buruk pada temannya itu.
"Baik kalau begitu. Saya harus kembali ke ruangan. Kalau ada sesuatu, bisa panggil perawat"
"Terima kasih dok" Balas Pak guru.
"Nak, kamu telepon orang tuanya Hendra. Beri kabar kalau dia ada di rumah sakit"
Bastian mencoba untuk menelepon orang tua Hendra, dengan mengambil ponsel Hendra dari sakunya. Lalu mencari kontak hinggak akhirnya ia menemukan kontak "Bunda". Rasa gemetar akan reaksi yang Bunda Hendra lontarkan saat nanti mendengar anaknya sedang berada di rumah sakit.
Tapi apa yang Bastian takuti tidak terjadi. Bunda Hendra mendengarkan penjelasan kronologi yang Bastian jabarkan dan menjawab dengan tenang tanpa sedikitpun amarah terlontar.
Akhrinya Bundanya Hendra tiba.
"Pak, anak saya di mana?"
"Sebelah sini ibu" Tunjuk Pak guru mengarah ke ruangan dimana Mahendra dirawat.
Beliau tidak berkata apapun, hanya senyuman dan air mata yang ditampakkan. Seperti pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Dan itu benar, Disaat Hendra dicaci dan disakiti oleh Bastian, ia hanya tersenyum dan melontarkan perkataan yang positif, sama seperti Bundanya sekarang yang tetap tabah walaupun anak kandungnya telah dilukai oleh temannya sendiri.
"Tante, saya minta maaf sebesar-besarnya atas perlakuan terkutuk saya"
"De Bas, nggak apa. Tante maafin kok. Tante tau kamu melakukannya nggak sepenuhnya sadar"
Bunda membelai rambut Hendra yang lurus lembut nan wangi seraya memegang tangannya dan menciumnya.
"Hendra selalu menceritakan tentang kamu selama hampir satu tahun ini. Ia sangat antusias ingin kamu tidak jadi apatuh namanya- itu.. kerbau.. kebo" Suasana canggung berganti menjadi pekikan tawa saat Bunda Hendra memecah suasana.
"Tapi Tante juga minta maaf kalau selama ini Hendra mungkin sedikit kasar sama kamu atau yang lainnya. Karena memang Hendra itu anaknya ambisius, selalu ingin mencapai sesuatu dengan caranya sendiri"
"Tapi nggak, apa-apa. Semua yang terjadi itu masa lalu. Kedepannya hanya tuhan yang tahu dan tugas kita cuma berdoa agar Hendra pulih . Tuhan memang tidak terlihat, tapi dia bisa mendengar"
"B-bun-da..."
"Nak, Alhamdulillah kamu bangun"
"Bunda..."
"Iya"
"..."
"Kenapa nak?"
"Ade kenapa di rumah sakit Bunda?"
"Nggak kenapa-napa, kamu nggak sadarkan diri tadi pagi. Makanya Bunda kesini"
"Dra" Panggil Bastian.
"Hen-Hendra...? Bukannya masih- kok ada pak guru?"
"Dra"
"Iya...?"
"Ini semua salah gue. Kalau gue gak nendang bola kencang, lu gak akan kayak gini. Gue minta maaf sebesar-besarnya sama lu. Gue bakal lakuin apapun yang lu minta. Gue mau berubah Dra, gue gak mau dibilang kebo terus"
"Bas, gue gak pernah marah sama l-lu, kalaupun gue marah, pasti gue maafin"
Bastian memeluk pundak Hendra dengan pelan. Dan Hendra pun tetap tersenyum. Seperti biasanya.
"Kita temenan?"
"You are welcomed, Bas"
Disitulah awal mula pertemanan keduanya.
Bersambung...