"Apa anda sudah siap?"
Tanya seorang dokter pada Hendra saat di ruang operasi.
"Saya siap"
Lalu sang dokter memberikan obat bius pada Hendra dan membuatnya mulai tak sadarkan diri. Dimulainya pembedahan oleh tim medis dengan sangat teliti dan dibalik dinding terdapat Ayah dan Bunda Hendra serta Bastian sedang menunggu.
Operasi pembedahan dilakukan karena timbulnya abses yang disebabkan bakteri dari infeksi bekas luka. Kejadian tersebut terjadi tiga hari pasca Hendra muntah tiba-tiba. Yang sekarang terjadi adalah kedua tangannya yang mendadak tremor berlebih dan juga sakit kepala hebat.
Tidak ada yang tahu mengapa abses yang ada pada Hendra tumbuh begitu cepat, apakah memang infeksinya separah itu? Jikalau benar infeksinya parah seharusnya luka di pelipisnya ikut memborok.
Tapi Bunda dan Ayah Hendra tidak hentinya berdoa, agar proses operasinya berjalan lancar. Bastian sejak tadi bolak-balik lorong, merasa sangat gelisah.
Akhirnya, dokter berhasil pun mengangkat kantung abses yang hampir membahayakan keselamatan Hendra. Dengan memakan waktu lima jam tapi dengan memberikan hasil yang membuat hati bahagia.
"Operasi pengangkatan abses berhasil dilakukan. Tidak ada komplikasi saat prosesi. Sekarang anak Ibu Bapak sedang beristirahat"
"Alhamdulillah... Dokter terima kasih banyak"
"Sudah tugas saya Ibu, baik saya permisi dulu"
Suasana membaik ditambah kabar baik, membuat ketiganya bersyukur bukan main.
Seseorang dari kejauhan menghampiri ketiganya, yang ternyata adalah kakak dari Hendra, Wira. Ia datang dengan aura yang tidak menyenangkan.
"Wira!?"
"Ibu, Ayah! Kenapa kalian baru bilang kalau ade kecelakaan?" Bentak Wira. Lalu berbalik pada Bastian, meatapnya dengan rasa dendam. Membuat perasaannya semakin tidak enak.
"Adik gue mau mati karena lu. Dan bisa-bisanya lu nampakin diri disini!"
BUGH!!!
Satu pukulan keras mendarat tepat di pipi Bastian, membuatnya tersungkur. Wira kembali mengangkat Bastian, membuatnya ia tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah.
"Wira. Jangan begitu! Ini rumah sakit, kamu harus tenang" Ayah mencoba melerai.
"Diam Ayah! Jangan pernah merasa semua baik-baik aja. Ade mau mati, bukan luka lecet! Dan elu. Pembunuh! Pergi dari sini atau gue yang bakalan bunuh lu!" Tegasnya, namun Bastian menolak. Membuat Wira semakin naik darah. Ia pun langsung melayangkan pukulan lagi, kino bertubi-tubi.
Karena keributan yang berasal dari Wira sendiri, akhirnya petugas keamanan datang memisahkan Wira dari Bastian yang sudah babak belur.
Wira merupakan anak pertama dari Ayah dan Bunda Hendra. Ia memiliki sifat tempramental. Namun, karena pengendalian amarah yang tidak dapat di kontrol, ia selalu merusak barang hingga melukai orang yang ada di sekitarnya. Membuat Ayah dan Bunda tidak tahan lagi dan mengirimnya pada pamannya yang berada di desa.
Bastian tidak pernah tahu kalau Hendra selama ini memiliki seorang kakak kandung. Yang ia tau hanya ia semata wayang seperti dirinya.
Petugas yang memiliki tubuh besar membawa Wira keluar dengan paksa. Disusul dengan Ayah sedikit kesal dengan perilaku nak pertamanya itu.
"Ya ampun nak, maafin Wira ya... Bunda minta obat dulu ke perawat"
"Bunda, nggak apa-apa. Cuma biru kok, nggak berdarah. Paling nanti pulang Bas kompres kok"
"Tapi kamu-"
"Nggak usah Bund, sebentar lagi Bas pulang"
"Kamu mau pulang?"
"Iya"
"Ya udah, lebih baik kamu istirahat aja dulu. Kamu jangan dulu sekolah, biar Bunda kasih surat izin. Kalau ada apa-apa, nanti Bunda atau Ayah kabarin" Bastian mengangguk lalu pamit pulang.
Di sisi lain...
"Jaga amarah kamu Wira!" Teriak Ayah pada Wira yang keduanya sedang berada di luar gedung rumah sakit. "Kamu udah buat ribut di rumah sakit, mukulin orang, sekarang apa lagi?" Lanjutnya.
"Kalian semua emang jahat. Kakak ini anak kalian! Gak ada sedikitpun kalian ngabarin keadaan Hendra sama Kakak. Kenapa Yah, kenapa?" Jawabnya semakin membentak.
"Seperti yang Ayah bilang, Wira! Selalu Ayah bilang, tapi kamu seakan tutup telinga mendengar kenyataan kalau kamu itu tempramen. Kamu seakan menutup mata saat kamu mencelakain orang yang ada di sekitar. Kamu juga seakan lupa kalau kamu udah bikin kacau. Mau berapa kalipun Ayah dan Bunda ngomong sampe teriak, kamu nggak akan terima. Kamu ingat, saat adikmu Hendra hanya ingin meminjam mainanmu dan kamu malah memukul punggungnya menggunakan tongkat bisbol? Setelah itu seolah tidak ada yang terjadi, lalu kamu bersikap kalau Ayah yang melakukannya" Ia menjeda.
"Lalu saat Bundamu tidak setuju akan pendapatmu soal kuliah, kamu melemparnya menggunakan remote? Itu semua fakta, Wira! Makanya Ayah nggak mau kabarin sesuatu ke kamu, karena kamu lihat yang terjadi tadi? Itulah risikonya! Ayah sudah lelah bertanggung jawab. Dan harapan satu-satunya hanyalah menitipkanmu pada adik Ayah, Paman Dandy!"
Wira terpaku, seperti ada tamparan yang membuatnya sadar akan kelakuannya selama ini.
Kalau Wira itu berbahaya.
Setetes air pun jatuh dari mata Wira. Ada rasa menyesal karena sifatnya yang membuat keluarga dan sekitarnya merasa kecewa padanya.
"Ayah..."
"..."
"Ayahh..."
Suara tangisan Wira semakin membesar. Ayahnya yang sudah tidak peduli pada anak pertamanya itu hanya terdiam sambil menahan tangisnya.
"Baik Yah, Wira minta maaf. Wira bakal nurut sama perkataan Ayah. Wira janji akan berlaku baik. Wira bakal balik lagi Yah. Tapi sebelum itu, Wira mau liat Hendra Yah... Wira kangen Hendra"
"...Baiklah, kamu boleh tinggal sebentar sampai adikmu sadar. Jika sudah bertemu, kamu karus kembali"
"Serius Yah!? Makasih banyak"
***
Dua hari kemudian, Bastian datang menemui Hendra di rumah sakit. Terdapat Ayah dan Bunda.
"Bunda, Ayah? Gimana kabar Hendra?"
"Alhamdulillah Hendra sore ini boleh pulang. Tapi Hendra masih belum boleh ikut sekolah, soalnya fisiknya masih lemah pasca operasi. Kamu masuk gih" Jawab Bunda.
Ia pun masuk ke ruangan dimana Hendra sedang duduk sambil menatap layar TV.
"Hi..."
"Hai Bas!" Hendra membentangkan lengannya, memberi sinyal pada Bastian untuk memeluknya. Bastian pun paham, dan langsung memeluknya. Ia pun sangat merindukan Hendra.
"Dra, gue kangen elu sumpah!"
"Sama... Bas?"
"Hmm?"
"Pipi lu kenapa biru?" Sontak membuat Bastian terpaku, ia tidak bisa mengatakannya kalau ini akibat perbuatan kakaknya sendiri.
"Uhh... Ah, biasa ini mah! Salah paham sama anak geng"
"Masih maen sama mereka?"
"Ehehe... Maaf. Soalnya gue gak ada temen lagi, Dini sibuk, doi gue juga lagi sakit. Karena gue cape nungguin doi gue, makanya gue maen sama geng Adam" Ucapnya berbohong.
"Lu punya doi? Siapa!?" Tanyanya sedikit emosi.
"Kan elu doi gue!"
Blush~
Seketika wajah Hendra merona. Ia pun menutup wajahnya karena malu.
"Emang ki-kita kapan jadian?"
"It doesn't matter. Intinya gue kangen lu." Ia menjeda. "Oh iya, Mama sekarang tinggal sama nenek di Singapore. Dia juga titip salam buat lu"
"Berarti, lu juga pindah dong?"
"Ya nggak lah, gue tinggal sendiri. Ada ART cuma sampe siang" Ucap Bastian, seketika ada senyuman kecil pada Hendra.
"Umm..."
"Kenapa?"
"Jadi..."
"Apa Dra?"
"Uh, gimana ya ngomongnya..."
"Mau berduaan dirumah gue?"
"EH!?"
"I-itu. Iya mau"
"Bilang dong!"
"Kan gue malu Bas, yakali gue ngomong langsung"
"Heu. Ayo. Tapi nunggu luka lu pulih. Ya masa kita mau langsung berpetualang aja sih"
Keduanya saling melampar tawa. Syukurlah operasi berjalan lancar, dan Hendra pun dibolehkan untuk pulang.
Hendra pun pulang bersama kedua orang tua dan kakaknya menggunakan mobil yang disusul oleh Bastian dengan motornya.
Sesampainya dirumah, Hendra disambut oleh kakaknya yang sudah menunggu di teras.
"Hendra"
"Ka-kakak...? Bunda, kenapa ada kak Wira disini?" Tanya Hendra dengan perasaan takut. Wira pun tahu kalau
Kesedihan terlukis di wajahnya. Bagaimana tidak, ia mengharapkan pelukan dari adiknya malah mendapatkan tatapan takut padanya.
"A-ade... Kakak kangen sama ade" Lanjutnya. Lalu ia mendekat dan spontan Hendra berlari pada Bastian dan sembunyi di belakangnya.
"Bas, gue takut"
"Pegang tangan gue" Bisiknya.
"Kamu sudah bertemu dengan adikmu kan? Sekarang kamu boleh kembali pada pamanmu" Ujar Ayah. Membuat Wira semakin terpukul mendengarnya.
"Tapi Yah, Wira pengen meluk ade. Wira kangen"
"Ayah tau, tapi kamu lihat sendiri kan? Apa yang kamu perbuat sama adikmu di masa lalu buat dia trauma. Ayah juga dapat kabar dari pamanmu kalau kamu membaca pesan dari ponselnya. Kamu udah nggak sopan sama pamanmu sendiri. Sekarang, kamu boleh pergi" Ayah memberikannya uang.
Wira pun mengerti, lalu dengan berat hati ia mengambil uang ongkosnya dan melangkah pergi. Saat melewati Hendra, ia memberi senyuman kecil padanya.
Mungkin terdengar kejam seorang Ayah mengusir anaknya untuk kembali ke rumah pamannya, namun hanya ini jalan terbaik untuknya.
"Nggak apa-apa?"
"Hmm..."
"Ayo masuk" Bastian mengajak Hendra untuk masuk, disusul oleh Bunda dan Ayah.
Sesampainya di kamar, Bastian berinisiatif mengunci pintu kamar Hendra, memberi keduanya sedikit privasi.
"Bas"
Seketika Hendra memeluk Bastian erat, ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada keluarganya terhadap kakak Hendra, namun ia tidak mempedulikannya, dan mencoba menenangkan Hendra.
"...Gue takut Bas"
"Shhh... Ada gue. Kakak lu juga udah pergi"
Satu kecupan diberikan di bibir Hendra. Membuatnya sedikit lebih tenang. Ia pun langsung mengangkat kedua kaki Hendra yang membuatnya spontan melingkarkan tangannya di leher Bastian.
"Ng-ngapain?"
"Diem. Gue lagi kangen sama lu"
"Eh!?"
Bastian pun menurunkan badannya di atas karpet. Menciptakan posisi memangku Hendra. Kedua hidung mereka saling bersentuhan, napas mereka tak terkendali. Membuat suhu tubuh keduanya memanas.
Ia pun menyergap mulut Hendra, melumatnya panas, sebab hasrat yang tak terbendung. Tangannya yang menyelinap di bajunya lalu mulai menjamah seluruh bagian tubuh Hendra dan membuat suara indah dari mulut Hendra.
"B-bas... nghh-ahhh"
"Jangan berisik, nanti kedengeran Bunda sama Ayah kita dimarahin" Hendra mengangguk paham, melanjutkan ciuman intensnya itu. Lidah keduanya bermain sangat lihai, dan hormon keduanya melebur.
Ia lalu membuka kancing kemeja Hendra satu per satu, memperlihatkan kedua puting berwarna pink yang sudah mengeras. Dilumatnya puting kirinya, membuat Hendra tidak dapat berpikir jernih. Tubuhnya sudah bisa menerima permainan sensual dari Bastian.
"Lu-hh... seksi, Dra. Gue udah gak tahan" Desah Bastian, sembari menunjukkan bagian bawahnya yang sudah menggunung.
"Mau gue k-kocokin?"
"Pengen anu"
"M-maksud?"
Tangan Bastian mulai memasuki bagian belakang celana Hendra. Jemarinya pun lalu masuk ke dalam lubang miliknya. Membuat batang milik Hendra berkedut merasakan sedikit sakit.
"Ngh...mmmh-ah"
Bastian melanjutkannya, semakin memasukan jarinya kedalam hingga ia menemukan titik lemahnya.
"Ah...! B-bas jangan d-disitu... mmh"
'Hmm... ketemu' Ujarnya dalam benak, sambil memasang wajah menyeringai.
Adegan semakin memanas, Bastian kembali melumat bibir Hendra seraya tangan kanannya ikut memainkan puting. Dan tangan kirinya tetap menusuk lubangnya.
"Hudah Bas... Nggak kuat lagi" Desahnya lemah. Lubangnya pun sudah terasa sedikit longgar dan licin, membuat Bastian semakin siap mengagahi Hendra.
"Tadi itu baru appetizer, sekarang main coursenya" Bisik Bastian, lalu membuka risleting celananya, dan batangnya pun sudah basah. Pula melorotkan celana Hendra yang sontak menunjukkan batangnya yang sama basah dengannya.
"Siap ya, sayang"
Ia pun memasukan batang miliknya yang sedari tadi mengeras. Erangan keluar dari mulut Hendra, tetapi tangan Bastian sudah berada di mulut Hendra. Tubuhnya mulai bergerak maju mundur. Ada kenikmatan hebat yang dirasakan keduanya. Entah bagaimana Bastian bisa sehebat ini dalam melakukannya.
"Ahh... Hmmmph"
"Errggh Dra... Panggil nama gue!" Bisiknya.
Tempo gerakan semakin cepat juga semakin keras rintihan desah Hendra. Dan klimaks pun sudah tidak dapat ditahan lagi.
"Bastianhh..."
"Hendr-ah!" Desahnya, "Kita keluar bareng!"
Keduanya sudah mencapai klimaks, dan cairan putih keluar dari kedua jantan yang sedang bersenggama itu.
"Hahh... Hmmmmh, Bass..."
"Iya?"
"Pengen mandi" Mintanya manja.
"Ayo, gue mandiin. Tapi gue pengen berdua dulu sama lu sebentar aja. Gue kangen berat sama lu" Ujar Bastian, kemudian mengecup dahinya lembut.
***
Splash~
Siraman dari gayung berbentuk love membuat Hendra bergetar kedingingan.
"Bas... Dingin. Kenapa nggak pake shower aja?"
"Lah, kan lukanya masih baru masa udah disiram lagi aja?"
"Tapi dingin"
"Tahan... Nanti kita tidur. Biar gue peluk"
...
Mereka pun selesai mandi, Bastian memakaikan Hendra pakaian. Dan bersiap untuk tidur.
Keduanya berbaring di kasur. Dipeluknya Hendra membuanya merasa hangat.
"Dra"
"Apa?"
"Boleh gak, manggilnya aku kamu"
Seketika Hendra membalikan badannya, menatap Bastian tajam.
"APA!? GAADA YA"
"Hmm... yaudah gue pulan-"
"Janga- eugh...! Yaudah deh iya"
"Ahhhh... makasih sayang..."
"Berisik"
Muach~
Bersambung...
Aku suka ena-ena🥰