Chapter 1

Senja telah mengintip sejak 30 menit yang lalu. Pukul 06:30 pagi, perempuan itu sudah lengkap dengan seragam sekolahnya. Hari ini adalah hari pertamanya di kelas dua.

"Widya, jemput, ya" pesannya.

"Iya, aku lagi di perjalanan nih" balas Widya.

Widya adalah teman sekelasnya, bisa dibilang ojeknya.

"Aku sudah sampai nih" pesannya.

Perempuan itu hanya membaca pesannya dan berjalan keluar untuk memakai sepatunya.

"Nek, Kek, aku berangkat, yah" teriak perempuan itu.

"Iya" balas perempuan paruh baya yang sedang memasak didapur.

Jarak antara rumahnya dan sekolah sangatlah dekat, berjalan kaki pun tak sampai 10 menit.

Keadaan sekolah saat ini agak kacau karena murid baru yang mencari masing-masing kelasnya. Tapi, aku hanya berjalan ke kelas untuk mencari tempat duduk. Sesampai di kelas.

"Nera, kamu duduk sama siapa?" Tanya perempuan itu.

"Sama Ira" balasnya.

"Oh"

"Lan!" Teriak seorang lelaki dari bangku depan paling ujung.

"Duduk sama aku aja" ajaknya.

"Gimana nih, enggak mungkin aku

sebangku dengan lelaki" ujarku dalam hati.

"Mau enggak?" Tanyanya lagi untuk memastikan.

"Yaudah deh" akupun duduk didekatnya.

"Hei, Caca, nomor WhatsApp mu berapa?" Tanya lelaki itu pada seorang gadis di sebelahnya.

"Ada di grup kelas" balas Caca cuek.

"Aku enggak masuk grup kelas"

"Suruh Andra masukin kamu"

"Oh, come on Caca" bujuknya.

Caca hanya mengabaikannya dan fokus pada hpnya.

Norhafiza Omar dipanggil Ica di kalangan para guru, dipanggil Caca dikalangan murid. Seorang gadis yang mandiri tinggal bersama kakek dan neneknya mulai dia duduk dibangku sekolah dasar sampai sekarang. Orangtuanya kerja di luar negeri. Dia termasuk 5 siswa terbaik dikelasnya dan mengikuti beberapa organisasi, sehingga cukup terkenal di sekolahnya. Dia siswa yang cukup heboh dan ceria di sekolah, namun berbeda lagi kalau dia berada di rumahnya. Dirumahnya dia jarang keluar dari kamarnya, kecuali ketika ingin makan.

'tiga panggilan tak terjawab dari MAMA'

Dia bukanya telponya dengan terburu-buru. Bagaimana tidak? Telpon dari orangtuanya adalah hal yang paling dia tunggu-tunggu setiap harinya. Mendengar suara lembut sang mama adalah hal yang paling dia rindukan setiap detiknya.

"Astaga! kenapa hpnya mode senyap sih"

Satu panggilan masuk untuk keempat kalinya, bibir yang seperti bebek menjadi senyum yang sangat lebar dibibirnya.

"Halo?"

"Halo, kenapa baru angkat, Nak?" Tanya sang mama

"Sorry,Ma, tadi aku belajar, terus hpku mode senyap"

"Oh, gimana disekolah? Baik-baik saja kan?"

Suaranya mulai bergetar. Kurasakan pipiku disentuh air mata "Iya, Ma"

"Uang mu masih ada?"

"Masih, kok"

"Suaramu kenapa? Kamu sakit?"

"Enggak, kok, Ma. Lagi capek aja"

"Kamu minum obat, yah. Jaga kesehatanmu"

"Hmm. Ya sudah, aku mau lanjut belajar dulu"

"Iya, belajar yang giat, yah. Mama tutup telponnya"

"Iya"

Gadis itupun melanjutkan nangisnya, mengeluarkan sesak didada sedari tadi dia tahan. Sampailah dia tertidur.

°•°•°

Aku memang dilatih mandiri sejak kecil, dari kecil aku selalu dititip pada nenek dan kakekku. Sejak kecil aku sudah tahu bersih-bersih rumah. Orangtuaku bukanlah orang kaya dan bukan berpendidikan tinggi, karena itu susah untuk mereka mencari nafka di negara sendiri. Sejak kecil aku sudah tahu itu semua, makanya aku belajar dengan giat, walaupun tak sampai peringkat satu, aku bersyukur karena termaksud murid terpintar.

Walaupun aku sudah lama tinggal bersama Kakek dan Nenekku, aku tak begitu dekat dengan mereka, entahlah mungkin karena aku terlalu fokus belajar dirumah atau karena aku tidak suka mereka selalu membicarakan Mamaku. Anak mana yang tak sakit hati ketika mendengar Mamanya menjadi bahan gosip, namun tak bisa apa-apa.

Itulah mengapa aku jarang keluar dari kamarku.

•°•°•

Tiba-tiba hujan turun deras sekali, untung saja gadis itu sudah sampai di sekolahnya. Sudah jam 7:15 pagi, hanya setengah kelas terisi, bel masuk berbunyi, Bu Akifa pun memulai pelajarannya dengan hanya belasan murid di kelas.

Diliriknya bangku disebelahnya, yang masih kosong.

Tersenyum "semoga saja dia tidak datang"

Selama pelajaran berlangsung, satu persatu murid datang dengan pakaian basah.

"Selamat pagi, Bu" suara yang familiar, ketika kulihat suara itu, musnahlah semua harapanku sejak tadi pagi. Itu Dilham, lelaki yang kuharap tidak datang ke sekolah.

"Sial" gerutuku dalam hati.

Setelah diizinkan duduk di bangkunya, dia langsung melakukan ritualnya 'mengangguku'.