Lenguhan lirih terdengar dari bibir mungil merah muda tanpa tinta pewarna yang biasa digunakan wanita muda diluar sana. Perlahan, tangan sawo matang yang tadinya tergolek lemas tak berdaya mulai terangkat mengelus kepala seiring sepasang netra cokelat mulai mengerjap membuka mata.
Masih mengumpulkan kesadaran, gadis bersurai hitam pekat sebahu itu menengok kanan dan kiri, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi, dan mencoba memahami dimana dia sekarang ini.
"Ini dimana?" Pertanyaan itu tak terjawab, karena sepertinya hanya dia seorang yang berada di padang Gerbera, terduduk lemas dibawah pohon besar ditengah heningnya malam dibawah gugusan bintang.
"Hey apakah ada orang?!" Memastikan lagi, dengan suara lebih melengking, gadis itu bangkit dan memperluas jangkauan pandangannya.
"Hei! Siapapun tolong jawab aku!"
Nihil
Bahunya turun dengan desahan putus asa, dia memilih duduk kembali dibawah pohon besar yang anehnya terlihat menentramkan dibanding menyeramkan.
Gadis itu berusaha menggali kilasan peristiwa sebelum ia sampai di tengah tempat aneh ini. Namun, tetap saja dia tak mengingat apapun. Dia hanya melihat kilasan gambar orang-orang yang terus memanggil nama 'Manika Keshwari'. Mungkinkah itu namanya?.
"Tempat macam apa ini sebenarnya?" Matanya menelusur dedaunan lebat diatas kepalanya. Sungguh dia bingung, tanpa ingatan dan pengetahuan apa-apa, dia terdampar ditempat aneh yang bahkan tanpa lampu telihat cukup terang. Bukankah seharusnya ditempat seperti ini gelap gulita?. Namun, kenapa ini tidak?.
"Hei"
"Y--yaaak!!!!!!! Siapa kamu?!" Belum sempat berdiri gadis itu terjungkal, kemudian merangkak mundur sembari menatap horor pada seorang pemuda di depannya.
"Aku Juna, senang bertemu denganmu Manika" senyuman ramah dan uluran tangan pemuda itu tak serta merta membuat gadis yang masih ragu akan namanya sendiri bersedia membalas dan menghentikan tatapan horornya.
"Jangan terus memandangku dengan tatapan seperti itu, aku tak akan melukaimu, percayalah" masih dengan senyuman, pemuda bernama Juna itu menurunkan uluran tangannya, dan berjalan mendekat, membuat gadis yang disapa Manika olehnya semakin menyeret tubuhnya mundur.
"Manika, percayalah aku tidak akan melukaimu"
"K-kamu siapa, d-dan aku? Dimana ini?"
"Sudah kukatakan, Aku Juna, kamu Manika, dan kita berada disini sekarang bertatap muka"
"Ta-tapi bagaimana kamu tahu namaku? Sedangkan aku sendiri ragu, dan maksudku, ini tempat apa?" Meskipun takut, gadis itu berusaha memberanikan diri berinteraksi. Lagipula wajah pemuda itu tidak menyeramkan, terlihat gagah dan karismatik malah.
"Kenapa ragu, namamu memang Manika, dan kamu berada di bawah pohon Impian sekarang"
"P-pohon impian?"
"Ya, kamu bisa menuliskan setiap keinginan disetiap daun yang jatuh, maka apa yang kamu inginkan akan terwujud"
"T-tunggu..... Apa ini adalah mimpiku? Maksudku, aku baru saja mendapatkan bayangan bahwa aku memang Manika, dan hal yang kuingat aku sedang berada di kedai kopi menikmati latte, kenapa secara tiba-tiba aku terbangun ditempat aneh ini?" Gadis yang sekarang mengamini namanya Manika itu menatap penuh tanya, kilasan-kilasan peristiwa mulai muncul dalam pikirannya, ini aneh, sungguh!. Kemana tadi ingatannya, kenapa sekarang tiba-tiba muncul.
"Bisa dikatakan ini mimpi dan ka--"
"Bisa dikatakan? Kalimat macam apa itu? Tidak usah berbelit-belit! Ah sudah sana minggir, aku akan mencoba tidur lagi, semoga ketika aku membuka mata, aku sudah meninggalkan tempat aneh ini" Manika berdiri, dengan sengaja menabrakan bahunya dengan bahu Juna, kemudian duduk bersandar di bawah pohon mulai memejamkan mata. Sambil menghitung mundur dalam hati, perlahan kesadarannya hilang dan jatuh tertidur.
Sementara itu sosok laki-laki bernama Juna hanya menyunggingkan senyum melihat tingkah Manika. Anggapnya, terserah gadis itu mau bagaimana. Dia akan menunggu sampai Manika bangun lagi.
*****
1 Jam kemudian
"Hoaaamm...enghhh" rentangan tangan dan mata yang perlahan terbuka menandakan bahwa Manika telah bangun dari tidurnya.
"Sudah bangun?"
"Eh-- K-kenapa kamu masih di sini!?"
"Ya karena memang aku menunggumu bangun"
"Tapi ini sudah buk--- yaaak! Kenapa aku masih mimpi, aku sudah bangun! Seharusnya aku sudah berada di kedai kopi tadi! Tidak, tidak! Ini pasti salah! Iya salah!" sembari menepuk pipinya berulang kali, Manika terus mengoceh tidak percaya bahwa dia masih berada di tempat aneh ini.
"Hey, hey,hey! Berhenti menepuk pipimu" Juna menangkupkan kedua tangannya pada masing-masing punggung tangan Manika. Lelaki itu memaksa Manika untuk menatap ke arahnya.
"Sudah ku bilang, kita berada di Pohon impian, Ini bisa dikatakan mimpimu tapi bukan mimpi, aku menjelaskannya pun kamu tidak akan paham, jadi pada intinya kamu sedang berada di tempat yang bukan biasanya kamu hidup. Ini adalah sisi kehidupan lain dari hidupmu. Paham?!"
"Sama sekali tidak!, Berhenti membual, cepat pulangkan aku! Jika ini bukan mimpi, pasti kamu adalah seseorang yang berniat jahat padaku, kamu pasti membius dan menculikku saat aku di kedai tadi!. Cepat pulangkan aku, atau aku akan berteriak!"
"Dasar keras kepala! Lakukanlah! Kamu sudah mencobanya tadi bukan? Sebelum aku menyapa dan menghampirimu? Nyatanya tidak ada orang lain"
"Jadi dari tadi kamu sudah di sini saat aku berteriak?, Waaaah... kamu bahkan sengaja membuatku cemas dan takut sedari awal" Manika berdiri dan berniat menghantamkan bogem mentah ya ke Juna, namun niatnya terhenti karena ponsel dari sakunya terjatuh.
"Yash! Kamu kalah, aku bahkan masih membawa ponselku, kamu penculik yang tidak profesional sama sekali" setelah melontarkan kalimat tersebut, Manika mulai menyalakan ponselnya, sementara Juna hanya tersenyum sedikit menunggu reaksi apa yang akan Manika tampilkan.
"Aish kenapa ponselku berubah seperti ini? Ini bukan ponsel pada umumnya, kenapa isinya aneh? Dan sejak kapan hanya berisi namamu dalam daftar kontak? Tampilan luarnya saja seperti ponselku, tapi ini sama sekali bukan ponselku, kamu pasti mencurinya, cepat kembalikan!!" Dengan bar-bar Manika menarik tangan Juna, menggeledah semua saku pakaian Juna.Namun, tidak ada apapun, dompet ataupun uang saja tak ada, apalagi ponsel.
"Mau kamu geledah sampai yang paling dalam pun tidak akan menemukan apa-apa. Percayalah padaku Manika bahwa kita berada di kehidupan lain selain hidupmu yang biasanya. Diam dan dengarkan aku baik-baik agar kamu tahu jawabannya"
"Aku tidak percaya kamu!"
"Maka aku akan menunggumu percaya, baru kukatakan apa yang sebenarnya terjadi"
"Tidak akan!"
"Baiklah, terserah"
"Ya, aku tidak percaya, biar aku cari jalan sendiri, jangan berani-beraninya kamu mengikutiku!" Mengacungkan telunjuknya, Manika memberikan peringatan pada Juna, kemudian kaki mungilnya perlana menjauh meninggalkan Juna dan pohon besar itu.
Manika rasa sudah cukup jauh berjalan melewati Padang Gerbera yang sangat tumbuh rapi dan terlihat sangat terawat. Padang Gerbera ini terlihat begitu luas, siapa kiranya yang begitu rajin merawatnya? Ada berapa orang dibutuhkan untuk merawat dan merapikan semua tanaman ini?.
"Kenapa aku tak kunjung sampai? Sedari tadi kenapa masih berada di Padang Gerbera? Di mana jalan raya? Apakah benar-benar tak ada rumah? Astagaaa! Sudah berapa lama aku jalan, capek sekali!" Manika terus saja mengoceh sembari pikirannya berlalu lalang, banyak pertanyaan-pertanyaan muncul di pikirannya, dan semuanya tak menemukan jawaban yang masuk akal. Pertanyaan paling membuatnya bingung adalah, dimalam hari seperti ini, ditengah Padang Gerbera, tanpa listrik, tanpa lampu, kenapa Padang ini seolah-olah terlihat terang dan bersinar?. Meskipun ada banyak gugusan bintang dan juga cahaya bulan, tidak seharusnya seterang ini.
"Ah terserahlah!, Berhen--- wah cahaya apa itu?, Kenapa silau sekali, mungkinkan di sana ada rumah?" Dengan penuh semangat, Manika sedikit berlari ke arah tempat dimana terlihat ada cahaya yang lebih terang dari Padang Gerbera ini.
"Bagaiamana cukup melelahkan bukan?"
"Kenapa aku kembali lagi ke sini?!"
"Karena memang takdirmu di sini Nona Manika" Juna tersenyum mengejek melihat wajah Manika yang berkeringat dan terlihat kesal.
"Cepat katakan apa yang kamu mau!"
"Kemari dan duduklah Manika, aku akan menjawab semua pertanyaanmu" Juna menepuk tanah di sampingnya, meminta Manika duduk dibawah Pohon Impian bersamanya.
Manika yang sepertinya sudah lelah untuk berdebat, lelah juga untuk mencari jalan keluar, akhirnya pasrah dan duduk di samping Juna.
"Aku tidak akan bertanya, ceritakan saja semua yang kamu tau tentang tempat ini dan apapun itu" Juna tersenyum sebelum melihat wajah Manika, kemudian dia mulai menceritakan segala hal yang tentang tempat ini dan tentang Pohon Impian.
"Kamu mendongeng?" Juna menggelengkan kepalanya atas tuduhan Manika.
"Kenapa dari semua yang kamu ceritakan benar-benar aneh dan tidak masuk akal?"
"Karena memang seperti itu"
"Seperti itu bagaimana. Mana ada hanya dengan menuliskan impian disetiap daun yang jatuh maka akan terwujud? Ini terdengar seperti Aladin dan lampu wasiatnya"
"Percayalah aku berkata sejujurnya, apa yang kuucapkan adalah kebenaran dari tempat ini"
"Termasuk ucapanmu yang mengatakan bahwa aku bisa kembali ke kehidupan biasaku, dan kembali lagi ke sini setiap gugusan bintang membentuk bunga?"
"Ya, tapi kamu harus menelponku terlebih dahulu"
"Kenapa juga aku harus menelponmu? Jika aku benar bisa keluar dari sini, aku tidak akan mau kembali lagi ke tempat ini"
"Jika demikian, maka aku yang akan menelponmu, kamu diberikan kesempatan untuk mangkir hanya tiga kali, jika lebih dari itu, nyawamu adalah taruhannya"
"Jangan menakutiku!"
"Aku sedang tidak berada dalam mood untuk bercanda"
"Jadi benar?"
"Ya"
Manika terdiam cukup lama, banyak hal berkecamuk dalam dirinya. Benarkah? Tapi ini sangat tidak masuk akal.
"Lalu bagaimana caranya agar aku kembali ke kehidupanku?"
"Aku yang akan mengantarmu, kemari mendekatlah" Juna meminta Manika duduk lebih dekat lagi, mengingat masih ada jarak diantara dirinya dengan Manika
"Aku tidak akan melukaimu" Membujuk sekali lagi, meyakinkan Manika yang terlihat ragu.
"Aku akan mengantarmu. Namun, sebelumnya aku akan mengajakmu berkeliling Cayapata. Sekarang pejamkan matamu!"
"T-tunggu dulu, apa itu Cayapata?"
"Nama lain dari gugusan bintang, di Padang Gerbera yang kau lewati tadi ada tempat dimana orang-orang tinggal dan berkeluarga, sama seperti kehidupanmu. Sekarang tutup matamu!"
"Kau yakin sedang tidak mendongeng?"
"Berhenti bertanya karena jawabanku akan tetap sama. Sekarang tutup matamu Manika, pegang tanganku"
Meskipun masih penuh keraguan, Manika bersedia memejamkan mata dan memegang tanga Juna.
Tubuhnya terasa ringan seolah terseret angin kencang yang tiba-tiba berembus entah dari mana.
Manika tidak tahu takdir apa yang sedang menimpanya, dia sudah lelah.