Siang ini, Grace mengantarkan makan siang ke kamar cucu dari pasangan Kyle. Sama halnya dengan tadi pagi, kamar itu tampak sepi. Terlebih, sedikit... mecekam.
Grace tahu betul kenapa ruangan itu sedikit mecekam. Bukan hanya karena tirainya yang tak pernah dibuka. Tetapi juga warna yang mendominasi kamar itu adalah abu-abu tua. Dan itu berhasil membuat Grace meremang.
"Oh... ya Tuhan!" pekiknya. Saat ia tak sengaja menjatuhkan sapu tangannya ke lantai.
Setelah ia meletakkan makan siang dari cucu Kyle, dia meraih sapu tangannya. Mengambil barang-barang yang ia letakkan tadi pagi beserta...
Grace mengerutkan kening. Ada sebuah kertas kecil di atas meja yang ia yakini bahwa tadi pagi tidak ada. Kertas berwarna kuning segar dengan torehan tinta hitam di dalamnya.
'Terimakasih atas sarapannya, Grace.'
Isi pesan singkat itu. Grace menerka, jika sang penulis pesan adalah sang pemilik kamar. Namun, ia tak berani berprasangka apa pun. Mungkin, Kyle senang dengannya... batin Grace tak mau besar kepala.
Dia segera keluar dari kamar Kyle, sambil membawa nampan yang berisikan piring bekas sarapan Kyle. Dia harus segera membereskan itu, jika mau menyegarkan diri di luar rumah sebelum petang mulai menyelimuti rumah keluarga Kyle.
Petang saat musim dingin, adalah petang terburuk yang pernah ada. Dan, Grace tak ingin mati membeku hanya karena suntuk berada seharian di dalam rumah megah itu.
"Kau ingin ke mana, Nona Hester?" tanya Gob saat Grace mulai menyusuri lorong yang menuju ke arah dapur.
Dia memiringkan wajahnya, tangan kanannya sedikit terangkat sampai menampakkan perut putihnya yang rata.
"Aku ingin keluar, Gob... panggil aku Grace, oke." jawab sekaligus jelasnya.
Gob hanya diam. Dia tak menampakkan ekspresi apa pun selain datar dan begitu dingin. Seolah, mimik wajahnya sudah terlalu terbiasa menampilkan ekspresi itu. Padahal, saat pertama kali Grace bertemu dengan Gob. Lelaki tua itu tak sedingin ini.
"Hati-hatilah, Nona Hester... menurut perkiraan, akan ada badai salju."
"Di cuaca seperti ini? Apa kau bercanda, Gob?"
Hening, Gob tak membalas lagi ucapan Grace. Ia berlalu sambil membawa sabit tua yang sedari tadi dibawa. Grace merasa, rumah kediaman keluarga Kyle, adalah rumah teraneh yang pernah ada.
Setelah mengabaikan Gob, Grace buru-buru keluar rumah. Memeluk tubuhnya sendiri yang sudah mengenakan mantel cokelat kesayangannya. Ya... itu adalah satu-satunya mantel yang dipunyai Grace. Meski ujung mantelnya sudah sobek, dia tak ingin mengatakan itu kepada Korvin. Bagi Grace, biaya pendidikan Korvin adalah yang terpenting. Dari pada memikirkan mantel yang harganya akan lebih dari 10 pound.
"Permisi, Nona... Grey?"
Grace menoleh, ketika dia sedang sibuk di taman samping rumah keluarga Kyle. Dia sedang makan siang di sana. Dan hal yang paling dibenci Grace adalah... ketika makan siangnya yang indah diganggu oleh seseorang. Siapa pun itu!
"Nona Grey?" tanya lelaki itu sekali lagi. Bahkan, Grace hampir melompat karena sosok itu keluar secara tiba-tiba dari balik semak-semak.
"Nona Grey?" pekik Grace. Dia sama sekali tak tahu siapa yang dimaksud oleh lelaki aneh bermata biru bak lautan itu. Lelaki yang Grace tahu jika wajahnya memang... tampan.
"Tentu saja kau, Nona... siapa lagi wanita di sekitar sini yang memiliki mata abu-abu indah seperti matamu." lelaki itu tersenyum, wajahnya belepotan dan Grace yakin, itu adalah oli atau semacamnya.
"Oh..." jawab Grace singkat. Dia segera menyelesaikan makan siangnya dengan memasukkan tomat segar yang baru saja ia petik dari kebun. Setelah dia membersihkan kedua tangannya, buru-buru dia berdiri. Berjalan ke arah lelaki bermata biru itu.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan—"
"Alex... panggil aku Alex, Nona."
"Aku Grace."
Lagi, Alex tersenyum kaku. Setelah mengelap tangannya dengan celananya ia langsung mengulurkan tangannya pada Grace. Tentu, Grace membalas uluran tangan Alex. Meski dia merasa jika Alex adalah orang asing dan baru ia kenal. Tapi, tak mungkin jika Grace bersikap acuh pada lelaki yang begitu sopan padanya.
"Apa kau salah satu keluarga dari keluarga Kyle?"
"Oh, tentu bukan, Alex. Aku bekerja di sini... apa yang kau lakukan di sini?" tanya Grace.
Lelaki berambut pirang itu kembali tersenyum, matanya mengisyaratkan ketertarikan dengan Grace. Tentu, lelaki mana yang tak menyukai Grace. Dia adalah tipikal wanita yang mudah dicintai siapa saja terlepas dari tampilan fisik yang sempurna.
"Rumahku di sana..." ujar Alex sambil menunjuk rumah yang berada di sebelah kanan rumah kediaman keluarga Kyle, "dan aku disuruh oleh Dad, untuk memberikan beberapa lobak pada Nyonya Kyle. Berhubung gerbang depan dikunci, jadi... aku memutuskan untuk mencari jalan masuk yang bisa kulalui."
Grace terkekeh mendengar penjelasan dari Alex. Rupanya, lelaki ini memiliki kecenderungan untuk menjadi seorang petualang. Bisakah, lelaki normal melakukan hal itu? Rela melewati semak-semak sampai tubuhnya kotor hanya untuk bisa masuk ke dalam rumah keluarga Kyle.
"Apa kau seorang petani, Alex?"
"Tentu... apa aku terlihat seperti itu?"
"Oh... tidak, maksudku... ya."
"Dan, apakah petani sepertiku tipikal lelaki idealmu, Grace?"
Grace menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Mana mungkin dia bisa menjawab pertanyaan seperti itu? Dia bukanlah Leoni, sahabatnya, yang akan dengan senang hati menjawab rayuan lelaki yang tak ia kenal dengan senang hati. Bahkan, berbincang dengan lelaki pun, Grace tak sebiasa itu.
"Siapa lelaki kumuh itu?" tanya Nicholas di balik jendela kamarnya.
Marvin memiringkan wajahnya, memandang ke arah halaman samping rumah. Ada seorang lelaki, yang berbincang akrab dengan Grace... mainan kesayangan Tuannya.
"Namanya Alex, Nick... dia adalah cucu dari Gisela, tiga tahun lalu ia pindah ke daerah ini setelah Ayahnya bercerai dengan Ibunya."
Nicholas kembali diam. Mata elangnya menatap tajam ke arah Grace dan Alex. Tanpa dia sadari, gelas kristal yang sedari tadi ia bawa hancur begitu saja dalam genggamannya.
"Katakan padaku untuk apa dia lancang masuk rumahku."
"Gypsy sering memintanya ke sini, Nick... dia bilang, sayuran di rumah keluarga Alex adalah terbaik."
Nicholas kembali diam. Matanya menangkap truk sampah yang kebetulan lewat di depan rumahnya. Kemudian, ia menatap ke arah jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Membuang serpihan gelas kristal dan membiarkan Marvin mengobati lukanya.
"Kau tahu apa yang akan kau lakukan, Marvin?" tanya Nicholas. Pandangannya hanya tertuju pada truk sampah itu. Seolah-olah, truk itu adalah jawaban dari teka-teki yang memenuhi otaknya.
*****
"Sial!" dengus Korvin sambil menatap ponselnya.
Setelah ia mendapatkan kabar jika kakak perempuannya diterima bekerja di rumah keluarga Kyle, sampai saat ini, Korvin tidak bisa menghubungi kakaknya. Entah, apa yang terjadi pada Grace, Korvin tahu betul... jika Grace adalah wanita yang rapuh, anti sosial dan jauh berbeda dari wanita-wanita pada umumnya. Itu... cukup untuk membuat Korvin sangat khawatir.
"Hey, Korvy... apa yang sedang kau pikirkan? Ekspresimu, seolah kau sedang putus cinta."
Korvin berdecak, menatap sebal sahabatnya yang kini sudah duduk di sampingnya. Namanya Bradley, dan tentu lelaki berambut pirang itu selalu membuntuti Korvin ke mana pun ia pergi.
"Bisakah kau ganggu orang lain, Tuan Bowman?" ketus Korvin. Bradley terkekeh, dia merangkul bahu Korvin kemudian membenturkan kepalanya pada Korvin.
"Ayolah... sudah lama aku mengenalmu, Korvy... dan baru kali ini kau terlihat begitu menyebalkan. Apakah ini tentang... Grace?" tebak Bradley.
Korvin mengembuskan napas beratnya. Ia menatap ke arah langit yang mendung kemudian menghela napas lagi. Bahkan, uap putih kini juga menganggu pandangannya.
"Aku rindu Grace, dan aku tak tahu... apa yang dia lakukan sekarang, bagaimana kabarnya, apakah dia makan dengan baik? Tidur dengan baik? Dan... apakah dia baik-baik saja?"