BAB 35: Pekerjaan Paruh Waktu Musim Panas

Adelia dan Lisa baru selesai mengurus hal-hal yang berhubungan dengan perkuliahan mereka di semester yang akan datang. Adelia tidak percaya, ia sebentar lagi akan benar-benar kuliah S2. Semester ini ia akan mengambil 3 mata kuliah Public relations dan 1 mata kuliah strategic marketing. Lisa yang mengambil jurusan strategic marketing, semester ini memutuskan untuk mengambil 2 mata kuliah public relations dan 2 mata kuliah strategic marketing. Mereka berdua melompat-lompat kegirangan karena mereka memiliki 2 kelas yang sama.

Setelah selesai segala urusan di Curtin Business School, Adelia pamit kepada Lisa karena harus melanjutkan perjalanan ke city. Ia akan melapor kepada perusahaan EO yang menjadi rekanan City of Perth dalam aneka kegiatan liburan musim panas di pusat kota. Ia bersyukur telah di terima sebagai tenaga freelancer selama 3 minggu penuh, dan akan bekerja sekitar 5-6 jam sehari.

Lisa pamit langsung balik ke KV, karena ia harus bersiap-siap untuk pulang ke Medan secepatnya. Acara akhir tahun selalu ditunggu-tunggu keluarga Lisa. Apalagi sekarang ia berstatus mahasiswa dari luar negeri. Orangtuanya pasti tidak sabar memamerkan anak gadisnya itu kepada calon-calon menantu idaman. Malik juga pulang ke Jakarta besok. Orang tuanya membutuhkan dia membantu promosi toko-toko kain dan karpet milik keluarganya. Biasanya bisnis besar terjadi pada akhir tahun dan juga menjelang lebaran.

Namun dalam hati Adelia, ia berbunga-bunga. Denger-denger, Justin tidak pulang kampung! Tentu saja, kampungnya kan di Perth. Justru mungkin keluarganya yang akan datang ke Perth. Adelia sudah cukup lega tadi ketika mengantarkan Hisyam pulang ke airport dengan mobil BMW putihnya. Ia akan kembali dalam 4 minggu. Cowok itu mengijinkan Adelia menggunakan mobil itu semauanya selama Hisyam di KL! Yipppiii!

Adelia memasuki bus nomor 77 yang akan membawanya langsung ke CBD atau pusat kota. Ketika ia sampai di pusat kota, waktu telah menunjukkan tengah hari. Pemandangan pusat kota dipenuhi oleh para karyawan yang sedang istirahat makan siang. Rapi, modis, seakan-akan melihat peragaan busana kantoran. Pakaiannya Adelia sendiri sudah rapi. Kemeja putih, rok bermodel pinsil berwarna hitam, sepatu datar kulit, dan rambut yang dicepol rapi. Ransel modis yang terbuat dari kulit berwarna hitam menyempurnakan penampilannya. Ia jadi ingat, sebelum pulang harus berbelanja membeli 2 atau 3 kemeja seperti ini lagi, gumam Adelia sambil menatap bule-bule dengan setelan kantornya dengan iri.

Perusahaan EO yang telah menerima Adelia bernama Splash Communication. Mereka adalah cabang dari Bright Comm, sebuah agensi marketing communication terbesar di Australia. Bright memiliki banyak pengalaman dan berbagai layanan, mulai dari crisis communication, product launching, media management, sampai social media. Pelanggan-pelanggan mereka umumnya perusahaan-perusahaan besar, BUMN, dan juga perusahaan-perusahaan tambang dan retail besar. Namun mereka menyadari bahwa mereka juga ingin meraup pasar yang lebih kecil, sehingga mereka mendirikan beberapa cabang perusahaan yang menilik pasar yang lebih spesifik.

Splash Communication adalah perusahaan yang mereka bangun untuk meraup pasar-pasar yang menengah kebawah atau kegiatan-kegiatan dengan skala yang lebih kecil. Fokus mereka adalah memfasilitasi kegiatan-kegiatan, product launching, pameran, sampai sales marketing. Mereka menyasar pemerintah-pemerintah daerah, dan perusahaan-perusahaan besar yang menguasai hajat hidup orang banyak pada daerah itu. Tujuan utama sih memang ingin mencari keuntungan. Tapi pada dasarnya, mereka juga ingin bisa lebih fokus membina hubungan baik dengan pemerintah kota, perusahaan daerah dan pengusaha lokal. Hal ini akan berguna bila ibu mereka, Bright Comm, membutuhkan bantuan suatu hari nanti.

Adelia menatap 2 orang cewek dan 1 orang cowok yang juga akan bertugas bersamanya selama 3 minggu ke depan. Sip, cewek yang berasal dari Thailand, Sonia, yang berasal dari Mauritius, dan David, cowok Ausie yang berasal dari Albani. Sekitar 4 jam dari Perth. Setelah mereka berkenalan, sang bos, Mr. Hall menjelaskan bahwa tugas mereka dalam 3 minggu ke depan akan bervariasi, tergantung jenis kegiatan yang akan mereka lakukan. Mulai dari menyebar brosur, menjaga meja informasi, menyiapkan panggung atau dekorasi kegiatan, sampai menjadi badut. Intinya, mereka harus siap menjadi apa saja. Adelia cukup kuatir, tapi di satu sisi ia tidak sabar.

Setelah berdiskusi dengan mama Cecilia, wanita itu sangat bangga Adelia mau mencoba melamar di perusahaan itu sebagai freelance. Tentu saja, ia mengetahui tentang lowongan itu dari sang mama. Beliau ingin Adelia mulai mencari pengalaman sebanyak-banyaknya dari perusahaan-perusahaan sejenis, agar bisa memperkaya perusahaan mereka di Jakarta. Ya, semua tentang bisnis. Adelia sendiri sudah biasa mengerjakan hal-hal yang disebutkan oleh Mr. Hall. Selama perkuliahan, Adelia sering disibukkan untuk membantu sang mama dalam event-event yang diadakannya. Mulai dari angkut-angkut property, mendisain selebaran, stiker, membuat rundown sususan acara, sampai menjadi MC.

Setelah selesai dengan urusan dengan Splash, Adelia melanjutkan perjalanan ke Maya Masala. Ia telah menerima jadwal kerja yang diberikan oleh Splash. Seperti instruksi, ia akan bekerja sekitar 4-5 jam dalam sehari dengan jadwal kerja bervariasi. Kadang pagi, kadang siang, dan kadang malam. Ia ingin mendiskusikan kepada pihak Maya masala yang sepertinya mereka sedang kekurangan pekerja. Banyak pekerja paruh waktu mereka, uang umumnya adalah mahasiswa, pulang kampung. Sang bos mengharapkan Adelia mampu bekerja di sana setidaknya 4-5 hari dalam seminggu.

Adelia tersenyum. Ia dapat merasakan bahwa liburan musim panas ini sangat sibuk, sangat melelahkan, tapi juga menyenangkan. Tidak saja pundi-pundi uangnya akan bertambah, pengetahuan dan keahliannya juga akan diasah. Seperti kata mamanya, bekerja di restoran dan di perusahaan EO itu, akan membantu mengasah keterampilannya menghadapi orang banyak, berkomunikasi, mengatasi krisis sampai meluaskan jaringan. Ya, setidaknya kegiatan seabreg ini akan menjauhkannya dari Bastian. Jujur, Adelia belum mampu bertemu dengan cowok itu sekarang, nanti, ataupun mungkin sampai tahun depan. Masi malu!

-----------------------------------------------------------

Bastian menyetir mobil mitsubishi lancernya dengan kecepatan sedang menuju daerah perkebunan. Maretha duduk di sebelahnya sambil menyuapi cowok itu dengan potongan-potongan apel. Mereka menuju Area yang terdapat banyak perkebunan anggur. Jalanana yang mulus yang cukup untuk 3 mobil itu, menyajikan pemandangan yang indah. Mungkin bila itu musim semi atau musim gugur, suasananya akan lebih romantis. Sekarang lebih kepada kering kerontang, tapi tetap saja masih indah.

Beberapa minggu sebelumnya, Maretha telah mendapatkan pekerjaan untuk ia dan Bastian di salah satu perkebunan anggur yang jaraknya sekitar 2 jam dari kampus mereka. Uang yang ditawarkan oleh perusahaan ini cukup menggiurkan, jauh lebih besar dari pada bekerja di perpustakaan. Bisa saja sih mereka bekerja di restoran atau cafe, atau bahkan sebagai tukang bersih-bersih di kantor atau rumah. Hanya saja, Bastian dan Maretha menginginkan pengalaman baru. Bekerja di negara salah satu penghasil wine terbaik di dunia, sepertinya akan menyenangkan. Maretha sudah dapat membayangkan betapa romantisnya hari-hari yang akan mereka habiskan pada musim panas ini.

"Orang tua kamu bener-bener gak masalah kamu gak pulang liburan ini?", tanya Maretha membuka pembicaraan. Perjalanan mereka setidaknya 30 menit lagi, menurut GPS dari HP milik Maretha.

Bastian diam sebentar. Sebenarnya mama dan papanya menyuruh mereka pulang, tapi tidak tau alasannya apa. Toh bila pun dia ada dirumah, tidak ada yang bisa benar-benar dia lakukan. Orang tuanya toh akan tetap sibuk bekerja, dan mereka Cuma akan bertemu pada makan pagi. Mungkin papa akan menyuruh dia magang di kantor akuntan publik miliknya.

Tapi kali ini, Bastian menggunakan Adelia sebagai alasan dia ingin tetap ada di Perth untuk liburan musim panas. "Kasian pa, Adelia gak ada temennya. Dia lagi magang di perusahaan EO disini", begitu alasan Bastian. Seketika itu juga, orangtuanya setuju agar cowok itu tetap berada di sisi Adelia. Eh maksudnya tetap ada di Perth.

"Enggak, mereka malah seneng banget denger aku bakal kerja paruh waktu di sini. Lagian mereka juga di Jakarta sibuk.

"Apa ada kemungkinan mereka akan kesini?", tanya Maretha penuh selidik.

Bastian terkesiap. Semoga saja tidak! Bastian tidak bisa membayangkan betapa bahayanya dan betapa kacaunya bila salah satu dari orangtua Bastian dan Adelia datang untuk inspeksi dadakan. "Hemmm…bener juga, harus ada rencana cadangan bila tiba-tiba salah satu dari orang tua mereka datang. Aku harus ngomong ini ke Adelia", gumam Bastian dalam hati. Namun sedetik kemudian, ia bergidik. Saat ini, wajah gadis itu adalah orang terakhir di dunia ini yang ingin ia temui. Bayangan apa yang terjadi pada malam itu, masih menghantui Bastian.

"Kayaknya enggak deh, mereka cukup sibuk. Tau sendiri donk akuntan tuh akhir tahu kerjanya kayak kuda. Mama juga entah kenapa kalo akhir tahun selalu banyak kongres, atau malah operasi. Apalagi tante Cecilia, dia tuh…", Bastian tiba-tiba tersadar bahwa ia memaparkan fakta yang tidak penting. Ngapain juga dia ngebahas mama Adelia? Kebiasaan! Tadinya dia pengen bilang kalo tante Cecilia juga sibuk kayak kuda.

"Siapa tante Cecilia?", tanya Maretha bingung. Selama ini Bastian belum pernah membahasnya.

"Oooo..ooo ya dia tanteku. Dia tuh punya perusahaan PR atau Marketing communication gitu. Jadi suaminya tu partner papa di akuntan publik. Nah jadi klien mereka tuh sama, perusahaan atau instansi besar gitu. Jadi kalo akhir tahun tuh, yaaa gitu deh… rame dan sibuk banget. Makanya aku bingung anaknya ga disuruh pulang buat bantu-ban…", suara Bastian kembali melemah, karena ia baru sadar telah memaparkan lagi fakta yang benar-benarrrr tidak penting. Kenapa juga dari tadi mikirin atau nyeritain Adelia?

"Siapa anaknya? Kamu deket ama dia?", tanya Maretha kembali dengan penuh selidik.

"Oooo sama sekali ga deket! Jarang ketemu!", jawab Bastian mencoba berbohong.

"Jadi dia tu SMA di sekolah khusus perempuan, kuliahnya juga ya jurusan yang sama dengan emaknya. Kalo aku sekolah di khusus cowok donk, biar machooooo, hehehehe", jawab Bastian mencoba untuk melucu dan mencoba mengalihkan pembicaraan yang murah terasa gerah ini.

"Kalau anaknya perempuan, pasti udah dijodohin tuh ama kamu, ya gak?", tanya Maretha acuh tak acuh sambil mencomot salah satu potongan apel dan memasukkannya ke dalam mulut. Bastian yang mendengar hipotesa Maretha tidak sadar tersedak potongan apel kecil. Entah karena ia lupa bernafas, lupa mengunyah atau terlalu shock aja.

"Uhuuukkk Uhukkkk, kaaaa kaaa kayaknya ada ulet di apel deh", katanya sambil mengibas-ngibaskan tangannya meminta minum. Maretha panik dan mencoba mengambil air minum botolan dari tas perbekalan mereka. Bastian meminum dengan tegukan-tegukan besar. "Sialan", gumamnya dalam hati.

Akhirnya mereka hening sebentar dan masing-masing mulai fokus menatap pemandangan di sekitar mereka. Kebun-kebun anggur mulai terlihat. Musim petik anggur tahun ini dimulai di awal Desember dan kemungkinan sampai akhir Februari. Maretha mungkin akan bekerja sebagai pemetik anggur, dimana Bastian mungkin akan bekerja lebih banyak di area penggilingan atau penyimpanan anggur. Apapun itu, Maretha berharap mereka bisa sering-sering mencicipi anggur, atau mungkin beruntung mendapat supply anggur gratis!

"Bastian, tau gak, beberapa temenku yang orang Indo, suka ngerubah suasana tiap semester. Biasanya mereka tuh tuker-tuker tempat tinggal gitu. Jadi ya pindah ke tempat yang baru. Nyoba-nyoba tinggal di apartemen, rumah, di tengah kota, atau di suburd yang tenang. Menurut kamu gimana?",tanya Maretha mencoba memulai percakapan lagi.

Bastian hanya mengangkat-angkat pundaknya dengan acuh. "Memangnya kenapa? Ya biarin aja.", jawabnya simpel. Maretha frustasi.

"Maksud aku, kamu gak ada kepikiran untuk ngerubah tempat tinggal kamu semester depan? Gak bosen apa tinggal di asrama? Kan banyak banget peraturannya. Dan jujur kalo aku bilang, agak mahal tauuuu asrama kamu itu. Kalo tinggal sharing sama temen di satu rumah, mungkin bisa lebih murah", tutur Maretha mencoba berdiskusi.

"Aku sih nyaman-nyaman aja. Deket kampus, deket coles, ada lapangan voli, nyaman banget malah.", jawabnya lagi. Maretha tidak menyerah.

Beberapa temen aku tuh ada yang nyewa rumah gedeeeeee gitu beb, dan mereka tinggal rame-rame disana. Jadi tuh yaaa, ada yang… ya mungkin pacaran, atau mungkin uda merit, tinggal bareng gitu. Jadi dalam 1 rumah tuh, ada 3 pasangan sampai 4 pasangan. Jadi mereka sharing rumah yang ada kolam renang, dapur yang luas, pokoknya nyaman banget!", ujar Maretha lagi sambil pelan-pelan menganalisa mimik Bastian. Ia ingin melihat tanggapan Bastian tentang… tinggal bersama.

"What? Tinggal bareng ama pasangan rame-rame gitu? Apa gak risih ya? Mana ada privasi! Jadi kayak tinggal di motel rame-rame gitu donk? Mana bisa belajar kalo gitu!", Bastian dengan lugu mengomentari hal yang paling penting baginya. Belajar dan secepatnya lulus dari kampus.

"Ya belajar ya tetep belajar donkkk. Malah belajarnya bisa lebih semangat. Kan… tinggal bareng orang yang… mereka sayangi…", kembali lagi Maretha mengungkapkannya dengan hati-hati. Bagaimana tanggapan Bastian tentang tinggal bersama Maretha? Akankah itu membuat dia tambah semangat belajar?

"Ih ogah mah kalo gitu. Yang ada pacaraaann aja atau beranteeemm aja. Kebayang gak kalo mereka tinggal bareng gitu, trus tiba-tiba putus? Kacau lah. Mau pindah kemana dia lagi? Masih kuliah aja udah ga ada privacy. Pasti udah ga kepikiran belajar lagi lah itu.", jawab Bastian dengan acuh tak acuh. Tapi apa yang ia ungkapkan sebenarnya sebagian dari fakta.

"Jadi kamu uda niat mau putus dari aku?", tanya Maretha emosi. Ia tidak habis pikir, boleh saja bila mungkin Bastian masih malu bila ingin memutuskan untuk tinggal bareng. Tapi apa iya sudah harus mikirin bagaimana bila mereka nanti akan putus?

"Loh siapa yang bilang aku mau putus dari kamu? Gak nyambung banget! Kita kan ngomongin soal temen-temen kamu yang tinggal bareng di satu rumah. Aku kan Cuma bilang, kayaknya ya bakal susah konsen belajar kalau begitu. Udah rumah rame, dapur dipake rame-rame, belajar dikamar bakal digangguin ama pacar melulu, ya… pokoknya kacaulah.", jawab Bastian lagi.

"Loh, apa bedanya sama kamu? Dapur kamu kan juga dipake rame-rame. Berenam lagi. Itu asrama tiap-tiap weekend juga selalu ada pesta. Ada juga yang nginep-nginep, padahal gak boleh kan? Ya udah mending aja udah tinggal bareng. Hemat, gak usah kencan jauh-jauh, cukup dirumah aja. Kita kan Belajar juga lebih efektif karena kita satu jurusan. Jadi tiap malam juga bisa belajar bareng!", jawab Maretha lagi dengan tampang ngambek.

"Loh, kok jadi ngomongin kita? Kita kan dari tadi bahas temen kamu, kan?", tanya Bastian heran. Maretha kaget dengan pertanyaan Bastian. Ia mungkin terlalu emosi, terlalu tertekan atau terlalu bersemangat ingin mengajak Bastian tinggal bareng dengannya. Kenapa juga cowok cool ini bisa begitu lemot menanggapi masalah ini.

"Jadi kamu gak mau ninggalin asrama itu dan tinggal bareng sama aku?", tanya Maretha dengan muka tidak percaya ke arah Bastian. Cowok itu kaget, dan memberhentikan mobilnya di area parkir yang disediakan perkebunan anggur tempat mereka akan bekerja. Kebetulan sekali merea sudah sampai.

"What? Tinggal bareng? Kapan aku bilang pengen tinggal bareng sama kamu?", tanya Bastian mencoba untuk berbicara lembut. Ia kembali kuatir. Penyakit halu Maretha kambuh. Sudah beberapa minggu ini gadis itu mulai mengungkit-ungkit atau berdiskusi meyerempet soal masa depan. Ketika Bastian mati-matian keluar dari ikatan perjodohan keluarganya, kali ini ada cewek yang juga mati-matian ingin mengikatnya.

"Kamu ga sayang sama aku?", tanya Maretha mulai terisak. Bastian sungguh bingung. Apa hubungannya tinggal bareng dengan rasa sayangnya dengan Maretha? Bukankah mereka sedang pacaran? Seingat Bastian, pacaran itu gak harus tinggal bersama seperti orang yang sudah menikah.

"Loh kapan aku bilang aku ga sayang sama kamu…Maretha… I… I… I like you very much. Bastian hampir saja berkata love. Belum. Ia belum love dengan gadis ini. Hubungan baru berumur beberapa bulan ini belum terlalu menggoyahkan Bastian untuk membuatnya menjadi bucin alias budak cinta. Sekarang ia baru ingat, kenapa ia dari dulu malas sekali menjalin hubungan pacaran dengan siapapun. Selain ia yakin mama dan papanya pasti menolak siapa saja selain Adelia, ia malas bila privasinya sebagai seorang remaja terlalu di campuri orang asing. Ya, Maretha masih terasa begitu asing.

"Ya kalo kamu sayang, kamu harus tunjukin donk keseriusan kamu sama hubungan kita Minimal kamu tuh ya… minimal tuh…", Maretha tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia ingin Bastian mengusulkan tentang tinggal bareng, atau berbicara tentang masa depan mereka, atau setidaknya saat ini cowok itu bisa memberikannya hadiah mengikat seperti sebuah… cincin mungkin?

"Kalo aku serius, aku akan serius pada waktunya. Mama papaku aja baru tinggal bareng setelah mereka sama-sama berusia 25 tahun, ya setelah mereka menikah. Ketika laki-laki itu menunjukkan keseriusannya, ia akan meneguhkannya dengan sepenuh hati. Begitu juga dengan aku Maretha. Saat ini, aku ingin menjalani hidup aku, kuliah aku, hari-hari aku dengan pilihan aku. Sekarang aku memilih kamu sebagai pacar, yang aku yakin kamu hga punya hidup kamu, kuliah kamu, dan hari-hari yang kamu jalani. Personality kamu, daya tarik kamu, ya disitu! Aku menyukai kamu karena semua itu", Bastian mulai ceramah sambil mematikan mesin mobilnya. Tangannya ia genggam di setir mobil dengan kencang.

"Kalau kamu belum apa-apa sudah mau menipiskan dinding privasi kita, saling mengikat sampai akhirnya kita tidak punya kehidupan sendiri, aku kuatir kita akan kehilangan masa-masa indah ini semua. Bisa gak biarin aku menikmati masa-masa kuliah aku dengan tenang? Pada akhirnya, bila ini semua sudah selesai, aku siap berkomitmen, aku pasti akan ngomong kok. Kalau kamu gak sabar buat nungguin itu, mungkin kamu bisa nyari orang lain yang lebih cocok sama kamu!", tiba-tiba Bastian mulai mengancam Maretha.

Alih-alih marah dengan ancaman Bastian, Maretha akhirnya kembali melembut. "Bastian sayang…bukan maksud aku ngomong gitu. Maaf ya. Eh udah sampe nih, yuk kita turun aja dulu", seru Maretha sambil membuka pintu mobil dan menenteng tas kanvasnya. "Waduh salah strategi nih, kok doi jadi marah ya. Gawat nih", gumam Maretha dalam hati.

Maretha harus mencari cara lain agar Bastian tidak menganggapnya cewek kegatelan yang sudah tidak sabar untuk kawin dengannya. Ya, kawin, bukan nikah. Sama sekali enggak. Maksudnya bukan itu saja. Setidaknya bila mereka sudah tinggal bersama, rencananya untuk bisa menikah dengan keluarga terhormat sudah tinggal selangkah lagi. Bastian adalah kuncinya untuk kehidupan yang lebih baik. Mau disini, mau di Indo. Tapi saat ini sepertinya ia harus sedikiittt lagi lebih sabar. Cowok ini baru saja keluar dari kandang yang ia sebut rumah, dan sedang bersenang-senang di Perth. "Baiklah. Mari kita cari cara lain", gumam Adelia sambil menarik mesra tangan Bastian menuju kantor perkebunan anggur itu.