BAB 48: Posesif Belum Tentu Cinta

Hisyam sedang duduk di ranjangnya, sambil memangku seorang gadis, yang Adelia yakin bernama Kirra. Gadis itu hanya menggunakan celana olahraga hitam panjang yang ketat, dan menggunakan sport BRA berwarna hitam. Buah dadanya yang tidak begitu besar, tampak rata dibalut penyangga dada itu. Rambutnya panjang, berserakan di sekitar pundah, dada dan punggungnya. Perutnya yang terekspos, tampak sangat rata. Sepertinya gadis itu memang sangat kurus.

Yang lebih mencengangkan adalah, Hisyam sedang menyuntikkan sesuatu ke nadi gadis itu yang sudah di bebat dengan karet berwarna hitam! Gadis itu sudah terlihat agak teler, begitu juga Hisyam. Ketika Adelia memergokinya, Hisyam panik dan serba salah, sedangkan gadis itu tersenyum manis penuh kemenangan. Hisyam mencampakkan segala peralatan berbahaya itu ke segala arah, dan mendorong Kirra dengan kasar sehingga gadis itu terguling ke sisi tempat tidur, dan akhirnya malah terjatuh di lantai dengan slow motion. Hisyam mencoba Ia mencoba berdiri. Ia agak oleng, namun bertekad menyergap Adelia. Saat ini, Hisyam hanya menggunakan kaos dalam yang sangat tipis dan celana boxer yang sangat pendek.

"Adelia! Berhenti disitu!", perintah Hisyam, tapi ia belum beranjak selangkah pun. Adelia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Sudah gila aja bila ia hanya akan terpaku berdiri disitu. Ia tidak percaya, tidak hanya Hisyam mungkin telah berselingkuh, tapi ia benar-benar pengguna obat-obatan terlarang! Adelia kontan lari menjauh dari kamar dan mencoba secepat kilat lari dari flat 25. Tapi Hisyam tetap dapat mengimbangi gadis mungil itu. Ketika Adelia sudah berada di antara flat 25 dan flat 26, Hisyam menjambak rambutnya. Adelia meringis dan larinya tertahan.

"Hisyam lepaskan! Aku akan teriak!", kata Adelia mengancam. Tapi sebenarnya ia sangat-sangat takut. Hampir setengah penghuni KV Pasti sedang berada di Waterford sekarang. Tapi setidaknya flat Ravi sang RA, hanya beberapa meter saja. Ketika ia bersiap-siap akan berteriak...

"PLAK!!", Hisyam menampar pipinya dan makin mengencangkan jambakan rambut Adelia. Gadis itu merasa sangat pusing. Adelia kontan jatuh berlutut di lahan berumput itu. Hisyam menendang kaki Adelia sehingga gadis itu akhirnya berguling ke samping.

"Kau adukan aku, kau mati bitc*!", kata Hisyam, dan sekali lagi menendang tulang kering Adelia tanpa ampun. rasanya benar-benar sakit. Adelia tidak mampu membalas ucapan Hisyam, apalagi berdiri dan membalas perbuatannya. Ia kalah fisik, ia kalah mental, walaupun cowok itu sekarang dalam keadaan teler. Ternyata itu membuat tidak hanya pikirannya kacau, tapi ia tidak mempu mengontrol motorik kasarnya. Ia jadi seperti monster. Hisyam meninggalkan Adelia terbaring di lahan itu sambil memegang pelan tuang keringnya.

Adelia bersyukur bahwa taman antara flat 25 dan 26 itu tidak tersorot lampu yang terang. Ia sangat malu apabila ada yang memergokinya seperti ini. Ia sedang menyusun nyawa agar bisa merayap naik ke lantai 2. Namun ia tahu, untuk merayap ke arah flat 26 saja, ia butuh usaha lebih keras. Kepalanya pusing akibat jambakan dan hentakan tangan Hisyam, dan juga kakinya sedikit pincang. Kondisi syok membuat ia semakin sulit berkonsentrasi. Tapi ia tahu, ia harus kuat. Akhirnya Adelia mulai merangkak ke arah flat 26. Selangkah... dua langkah... tiga langkah, dan ia terguling lagi ke samping, tepat ketika ia sudah melihat tangga menuju flat 27.

"Adelia! Kamu kenapa?!", tiba-tiba suara yang tidak asing menyapa telinganya. Ia membuka mata, namun tatapannya buram. Ia mengerjab-ngerjap matanya.

"Tian...tian...", kata Adelia dengan bibir yang sedikit robek akibat pukulan Hisyam. Cowok itu kontan mendudukkan Adelia di lahan berumput itu dan melihat keadaan wajahnya, dan mencoba mencari luka yang membuat Adelia merintih. Bastian melihat tangan Adelia yang memegang tulang keringnya, namun suasana terlalu gelap.

"Del, siapa yg bikin ini? Hisyam?", tanyanya dengan emosi. Adelia langsung menyambar salah satu tangan Bastian dan menggeleng. Air mata mengucur deras dari kedua matanya. Dengan refleks, Bastian berdiri meninggalkan memencet bel flat 26 berulang kali. Tampak Ravi keluar dari kamarnya. Kemudian Hisyam langsung membopong Adelia dan Ravi sigap membuat pintu untuk mereka.

"What happened?!", tanya Ravi tak kalah terkejut. Namun ia langsung membantu Bastian membuka pintu kamar cowok itu. Mereka memapah gadis itu ke dalam kamar Bastian dan mendudukkannya di tempat tidur Bastian.

"I will go get some ice and medicine", kata Ravi. Bastian mengangguk. Adelia menatap keduanya tak berdaya. Adelia bersyukur malam ini ia menggunakan celana kulot panjang dan atasan kaos yang cukup sopan. namun karena celana kulot itu, Bastian dapat melihat dengan sempurna tulang keringnya yang tampak merah kebiruan. Oh semoga tidak retak. Bastian memandang cedera itu dengan wajah kengerian.

"Mati dia besok Del! Mati dia besokkk!!!", ancam Bastian sambil memindahkan bantal agar Adelia merasa nyaman. Namun kemudian Adelia kembali menyambar tangan Bastian, sambil menggeleng-geleng dan isakan tangisnya makin kencang.

"Jangan Tian, jangan...biar aku yang selesain. Aku yang salah, aku yang selesaikan...", kata Adelia lemah.

"Tapi Del, tapi...kamu kan uda janji mau ninggalin dia. Kok..kok kamu malah jadi gini sih?", tanya Bastian pelan. Ia tidak sampai hati menyalahkan Adelia lagi. Gadis itu mengangguk-angguk sambil terus saja menangis. Ravi masuk ke dalam kamar memegang seplastik es batu, betadine dan juga alkohol untuk menyeka luka.

"Make her some tea, I will take care of her (buatkan ia teh, aku akan mengobati dia", kata Ravi. Bastian menggangguk. Ravi kemudian menempelkan plastik yang berisi beberapa es batu di tulang kering kanannya. Selagi itu di kompres, ia menyeka luka yang terdapat di bibir Adelia dengan alkohol, kemudian memasang betadine di bibirnya. Ketika Ravi memandang rambut Adelia yang acak-acakan, ia dapat menebak kalau mungkin ada yang telah menjambak rambutnya.

"After a tea and some bread, drink 1 panadol. It will help with your headache. Ok? (Setelah teh dan roti, minumlah 1 panadol. Itu bisa meredakan sakit kepalamu. Ok?)", saran Ravi. Adelia mengangguk dengan pelan. Posisinya sedang duduk di tempat tidur Bastian. Ravi merapikan rambutnya. Ia tidak mengerti, kenapa gadis semanis dan sebaik Adelia di perlakukan seperti ini. Mereka saling senyum, dan itu menenangkan Adelia. Ia sudah berhenti terisak dan mulai menatap kosong kea rah pintu kamar Bastian. Ravi terus menerus memeriksa kompresan es batunya, karena ia juga bingung apa yang harus ia tanyakan kepada Adelia. Gadis itu masih belum mau bicara tentang pelaku kekerasa ini. Ia tidak bisa memaksa.

Bastian masuk dengan 1 teko teh yang aromanya sangat wangi, dan 2 buah sandwich. Sepertinya itu sandwidh telur dan keju. Adelia sungguh terharu dengan perhatian 2 cowok ini.

"Makan dan minum teh dulu ya Del", kata Bastian lembut. Adelia tidak bereaksi. Air matanya siap untuk tumpah lagi, dan bibirnya bergetar. Ia saat ini merasa sangat hina dan malu di hadapan Bastian. Kenapa cowok itu selalu ada di saat-saat terendah Adelia?

"Nah nah nah, kalo kamu nangis lagi nih, aku akan video call sama mama papa kita. Kebetulan banget malam ini mereka lagi ngumpul di kantor papa, ada acara makan malam bareng. Kamu gak mau kan mereka liat kamu begini?", ancam Bastian sambil memegang HP miliknya. Adelia menggeleng. Ravi yang tidak paham bahasa Indonesia, tapi ia tahu kalau Bastian memegang kelemahan Adelia. Gadis itu langsung menurut.

"Ok, I leave Adelia to you, doctor Bastian", kata Ravi sambil mengedipkan salah satu matanya. Bastian memutar matanya dengan tak percaya. Bisa-bisanya di situasi seperti ini, cowok India itu meledeknya! Ravi akhirnya keluar setelah melambai penuh arti ke arah keduanya, tentu saja. Dia adalah tim #bastianadelia yang setia.

Bastian memotek sandwich itu kecil-kecil, dan menyosotkan ke bibir Adelia.

"Tiaaann, sakit...", kata Adelia sambil merintih.

"Kamu juga sih, doyan banget di pukulin. Kamu tuh.... iiikccchhhhhhh", Bastian menahan amarahnya. Sebenarnya ia ingin berkata Adelia bego, tapi ia tidak sampai hati. Ia mengepalkan tangannya dan seperti sedang memukul di udara. Adelia mencoba untuk tersenyum. Pipinya bengkak sebelah.

"Tian maaf, tapi aku janji, aku akan perbaiki ini. Aku akan cari cara supaya dia bisa keluar dari hidup aku. Aku janji!", kata Adelia berusaha untuk terkesan tegas. Bastian terus saja menyosotkan potongan sandwich itu ke mulut Adelia, sambil sesekali meminta gadis itu meneguk teh yang sudah ia buat. Rasa the itu enak, Adelia kagum kalau Bastian cepat menguasai tehniknya.

"Kamu suka teh yang aku kasih?", tanya Adelia penasaran.

"Hah? Itu dari kamu? Sumpah aku kira dari fans!", kata Bastian dengan tampang sok dingin sambil menyesap teh miliknya. Adelia membelalak tak percaya.

"Kamu kira kamu setenar itu apa? Cuma aku yaaaa yang cukup peduli dan kasian ama kamu, aku tau kamu gak nerima kado dari siapa-siapa, dikasi teh ajaaaa uda girang begituhhh", kata Adelia yang saat ini sudah mengumpulkan tenaganya untuk berkata-kata sok culas. Dengan bibirnya yang masi terluka, ia mengerucutkannya sehingga tampak gadis itu sedang ngambek. Bastian baru sadar, bahkan Maretha sendiri tidak memberikan kado apa-apa untuknya.

"Justru itu, aku baru tau...kamu ternyata…ehmm… fans beratku yahhhh", kata Bastian sambil mencondongkan wajahnya ke arah Adelia sambil menahan tawa. Gadis itu sontak kaget, dan dengan refleks mengambil seplastik es yang sedari tadi mengompres cederanya, dan menempelkannya di pipi Bastian!

"Awww Adel!!! Kamu gimana sih! Kita belum kawin aja, kamu uda KDRT iihhhhh!", pekik Bastian sambil meletakkan cangkir teh di meja, dan menyeka wajahnya yang penuh dengan embun es batu. Tapi ia tidak marah. Apalagi ketika ia melihat Adelia tertawa terbahak-bahak. Bukan tawa mengejek, bukan tawa sinis, tapi tawa bahagia. Bastian cukup senang karena mengetahui, Adelia sudah tidak terlalu syok.

Mereka menghabiskan beberapa belas menit untuk bercerita ini dan itu. Bastian menceritakan perjuangannya mencari rice cooker yang tepat, ketika ia baru menyadari ada puluhan jenis rice cooker yang ada di beberapa toko. Adelia menceritakan detik-detik berharga ketika ia harus kabur secepat mungkin dari Maya Masala hanya untuk datang ke flat Bastian tepat waktu, sehingga bisa menyusun "kado ulang tahun" di lacinya sambil di godain Ravi. Mareka tampak sangat kompak seperti ini. Tapi malam sudah semakin larut, dan Bastian sadar Adelia harus istirahat.

"Del, kamu mau aku antar ke atas gak? Kamu harus istirahat.", pinta Bastian. Sebenarnya ia pun ragu mengantarkan gadis itu keatas. Ia takut Maretha memergoki mereka, dan ujungnya Adelia juga yang akan di salahkan. Adelia menggeleng.

"Kamu mau aku telpon Lisa?", tanyanya. Itu ide bagus, tapi ia tidak mau Lisa tau tentang ini. Kemungkinan besar cewek itu masih bernyanyi-nyari riang sampai pukul 12 malam, seperti biasa.

"Kamu mau tidur disini aja?", tanya Bastian lagi. Adelia tidak menjawab dan juga tidak bereaksi. Apakah ini opsi terakhir?

"Kalo kamu mau disini, gak apa-apa, aku tidur di common room aja. Ok?", usul Bastian. Ketika cowok itu berusaha berdiri, tangan Adelia mencekalnya. Tapi tidak ada suara yang keluar dari mulut gadis itu. Ia terus saja menatap Bastian dengan penuh harap. Sebenarnya Bastian tidak mengerti ia harus apa. Tapi ia pikir, ia harus menuruti nalurinya saja sebagai seorang laki-laki. Sebagai seorang pemimpin, sebagai seorang pelindung bagi Adelia. Calon istrinya.

"Kamu mau mandi?", tanya Bastian lagi. Adelia menggeleng.

Bastian merapikan celana kulot Adelia yang tersingkap karena di kompres. Ia merapikan 2 buah bantal dan mensejajarkannya bersisian. Ia membantu Adelia rebahan di ujung tempat tidur yang menempel di dinding dan menyelimutinya. Bastian membuka jaket jeans yang sejak tadi ia gunakan, dan ia memasuki kamar mandi setelah mengambil beberapa potong pakaian dan handuk. Terdengar suara air pancuran. Bastian pasti sedang mandi.

Ketika pintu kamar mandi terbuka, aroma sabun menyeruak memasuki kamar Bastian. Cowok itu sudah berpakaian piyama. Kaos putih longgar yang nyaman, serta celana piyama terbuat dari katun bergaris-garis yang nyaman. Rambutnya masih basah, dan ia sisir ke arah belakang semua. Sebuah pemandangan yang jarang sekali. Mantan atlit voli itu terlihat begitu kekar kelihatan di balik kaos piyamanya yang begitu tipis. Dahinya yang putih mulus dan mata elang yang di bingkai oleh alis tebal, membuat Bastian luar biasa tampan dan segar.

"Kalo kamu mau mandi, kamu bisa pake piyamaku. Tapi kalo kamu terlalu capek, gak apa-apa. Tidur aja, ok?", kata Bastian. Adelia menggangguk. Bastian mengambil sebutir panadol dan memberikannya kepada Adelia, bersama dengan segelas air putih yang sudah sejak tadi ia persiapkan. Adelia meminumnya dengan patuh. Setelah selesai, Bastian mengarahkan agar Adelia langsung berguling ke arah dinding dan tidur. Cowok itu langsung duduk di meja belajar dan seperti sedang mengerjakan sesuatu.

"Langsung tidur aja Del, aku jagain kamu kok. Aku mau ngirim email bentar ke dosen", katanya dengan lembut. Adelia mengangguk, dan mengikuti instruksi Bastian. Setelah beberapa saat, efek panadol langsung memukul kepalanya. Ia jadi merasa ringan dan sangat mengantuk. Namun ketika ia benar-benar memejamkan matanya, ia merasa ada pergerakan di tempat tidur kecil Bastian itu. Seperti seseorang baru saja duduk di sisinya. Jantung Adelia berdebar kencang. Apa itu tadi? Atau lebih tepatnya, siapa itu tadi?

Tidak berapa lama, Adelia merasa ada pergerakan di samping kepalanya. Seperti...seperti...ada seseorang yang telah merebahkan badan dan kepala di bantal sebelahnya! Fix! Sepertinya ada seseorang yang telah terbaring tidur di sampingnya. Adelia segera menutup matanya, berpura-pura tidur, atau mungkin lebih baik berpura-pura pingsan.

Ketika keperpura-puraan itu menjadi nyata, dan Adelia jadi benar-benar mengantuk, tiba-tiba ada sebuah tangan yang melingkar di pinggangnya! Seseorang yang tinggi besar sekarang sedang menggunakannya sebagai guling! Oh tidak! Bagaimana mungkin ia bisa tidur bila begini! Adelia dapat merasakan hembusan nafas teratur Bastian di lehernya, dan ia tahu bahwa cowok itu tertidur dengan nyenyak. Aroma sabun bernuansa vanilla keluar dari setiap inci kulit cowok itu, dan membuat Adelia merasa mabuk kepayang. Derajatnya lebih tinggi dari mabuk karena alkohol.

Bagaimana bila ia meminum satu panadol lagi? Atau mungkin 2 butir lagi? Sepertinya ia tidak akan bisa tidur sampai pagi karena jantungnya terus saja berdebar kencang dan ia sangat sulit bernafas. Kepalanya berkata ini salah, tapi bagian tubuh yang lain merasa berontak kegirangan. Ada apa ini?

Bastian, ini sangat salah! Bangun TIan! Bangun, gumam Adelia DALAM HATI SAJA.