BAB 73: Sekolah Adalah Prioritas

Waktu menunjukkan pukul 7 pagi waktu Perth, matahari sudah bersinar terang dengan cahaya kekuning-kuningan. Embun yang turun dini hari, masih menempel di daun-daun dan di di atas rerumputan. Udara yang masih lembab dengan angin sepoi-sepoi, sesungguhnya merupakan suasana yang tepat untuk kembali ke tempat tidur dan menarik selimut. Mahasiswa-mahasiswa pasca sarjana yang baru selesai kuliah malam, dan menghabiskan waktu dengan bergadang mengerjakan tugas sampai pagi, biasanya baru akan mulai sarapan.

Dan disinilah Malik, Adelia dan Lisa, mencoba mencari tempat parkir di halaman asrama KV. Tidak satupun dari mereka sudah sarapan, mandi pagi, bahkan menyeka wajah mereka. Makan malam di temani oleh sebotol wine sukses membuat Adelia dan Lisa membuat kegaduhan di rumah Malik, sehingga mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu lebih lama dirumah itu. Pada akhirnya, tentu saja kedua perempuan itu memutuskan untuk menginap saja.

"Lo yakin bisa ngasi kita sarapan Del? Gue ogah makan roti pakai selai kacang doank ya! Minimal nasi soto, ketoprak atau bubur ayam ya", tutur Malik sambil melotot tajam ke arah Adelia. Setelah direpotkan oleh Adelia dan Lisa dalam 2 hari terakhir, setidaknya ia bisa sarapan yang memadai sekarang. Adelia itu menatap Malik dengan malas sambil mengigit bibirnya dengan gemas.

"Santai loooo. Lagian ya kaleee gue bikin ketoprak ama soto? Lu kira gue warteg! Pokoknya turun aja dulu, bantuin gue masak!", balas Adelia sambil beringsut turun dari mobil Malik di detik yang sama ketika mobil itu sudah terparkir. Adelia berdiri dengan tegak, dan mengangkat kedua tangannya ke atas, dan merenggangkan punggungnya yang terasa kaku. Senyaman-nyamannya tempat tidur Malik tadi malam, tetap lebih nyaman tidur di rumah sendiri. Apalagi ketika ia harus berbagi tempat tidur yang sama dengan Lisa. Entah apa yang dimimpikan Lisa, ia membuat tempat tidur yang berukuran single itu seperti arena silat!

Ketika Adelia berjalan santai menuju flatnya yang berjarang sekitar 10 meter dari mobil Malik, ia melihat Bastian dan Maretha yang juga berjalan santai menuju flat dari arah lapangan rugby. Dalam detik itu, terjadi keheningan selama 30 detik, seakan seisi ruang dan waktu saat itu membeku.

Adelia melirik tajam kepada Bastian dan Maretha yang sepertinya baru selesai jogging di lapangan. Keduanya mengenakan pakaian olahraga, lengkap dengan jaket dan sepatu jogging mereka. Rambut Bastian basah kuyup, namun hal itu justru membuat wajahnya terlihat begitu keren. Wajahnya putihnya mengkilap, dengan sedikit semu merah karena menahan dingin di pagi hari.

Bastian menatap heran kepada penampilan Adelia pagi ini. Ia melirik gaunnya, longcoatnya, dan sepatu bootnya. Entah ini dejavu atau apa, ini pagi ketiga secara berturut-turut Bastian melihat Adelia dengan penampakan yang sama. Yang berbeda hanya kali ini rambutnya benar-benar kusut masai yang ia cepol asal-asalan. Kulit wajahnya pun tampak lebih kusam dan letih, seakan-akan kurang tidur atau kurang perawatan. Memang gaun itu sudah pernah di cuci sekali ketika mereka menginap di villa, tapi tidak disarankan untuk digunakan selama 3 hari berturut-turut!

Adelia membuang tatapannya dari Bastian dan Maretha, berusaha seakan-akan ia tidak mengenal mereka. Dalam sekejap, Adelia membayangkan jalanan di depannya adalah sebuah catwalk victoria secret, dimana dia adalah salah satu super model yang berlenggak-lenggok di atasnya. Ia berjalan dengan dagu terangkat ke atas, sikap anggun serta badan meliuk-liuk tanpa senyum. Dengan penampilannya yang kusut, ia terlihat cukup percaya diri. Ia terus melangkah menuju flatnya.

Bastian dan Maretha juga tidak menghentikan langkah mereka, dan terus berjalan menuju flat. Mereka tahu, di detik ke sekian, mereka pasti akan bertemu di sekitar tangga. Dan pada saat itu, Maretha ingin mengutarakan kata-kata sinis yang sudah ia susun dengan rapi kepada Adelia. Istri macam apa yang baru pulang di pagi hari! Bastian sekilas menatap Lisa dan Malik yang masih tetap terdiam terpaku, seakan-akan menunggu bom yang akan meledak.

Tepat ketika Adelia akan menaiki tangga menuju flat 27, mungkin ia terlalu menghayati perannya sebagai supermodel. Namun ia ternyata kurang berpengalaman dan latihan, sehingga di anak tangga yang keempat, ia tersandung sepatu boot miliknya dan sukses terjerembab memeluk anak-anak tangga yang terbuat dari besi nan dingin itu. Yang lebih sialnya lagi, ia terjatuh persis ketika Bastian dan Maretha benar-benar dekat dengan area tangga, sehingga mereka bisa melihat gaun Adelia berkibar-kibar menunjukkan paha mulusnya. Maretha bisa membayangkan lebam yang akan di terima lutut Adelia, begitu juga dengan goresan-goresan di betis dan pahanya.

"Bwahahahahhahaha ya ampun Adel, makanya lu kalo jalan gak usah kebanyakan gaya! Hahahahaha", Maretha si mak lampir tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya. Tawanya yang nyaring, sedikit menggema di kompleks yang masih sepi itu. Adelia yang tadinya siap untuk berdiri, tiba-tiba kehilangan energinya karena rasa malu yang luar biasa. Bukan, bukan malu karena ia jatuh terkulai seperti gurita yang terkulai dihadapan Bastian sang suami. Di depan siapapun, Adelia rasanya seperti ingin bunuh diri ketika kedua tangan, kedua kaki, rambut dan pinggul berserakan di beberapa anak tangga itu. Ya, rasanya seperti ingin bunuh diri saja.

"Wakakakakakak wakakakakakakakak wakakakakakak", Maretha tidak bisa menghentikan tawanya. Tidak hanya ia, Malik dan Lisa pun sebenarnya sudah ingin meledak. Kedua sahabat Adelia itu menutup mulut mereka dengan tangan mereka masing-masing. Agar benar-benar profesional, Malik bahkan menggigit bagian telapak tangannya agar tawanya tidak meledak, berharap rasa sakit dari gigitan itu akan mengalihkan rasa gelinya. Lisa yang juga ingin bersimpati kepada Adelia, menahan tawanya sambil mencubit lengan Malik. Mereka benar-benar sahabat setia sampai akhir.

Di lain pihak, Bastian hanya terdiam terpaku sambil menatap tajam Adelia dan Maretha secara bergantian. Tangannya yang kekar ia masukkan ke dalam kantong jaket olahraganya, dan ia berdiri dengan sikap sempurna.

Ketika Adelia menatap wajah Bastian yang terlihat kesal, ia mendapatkan kembali keberaniannya dan kekuatannya, walau ia merasa urat malunya sedang terpelintir. Mungkin bunuh dirinya nanti saja. Sekarang fokus untuk naik ke lantai 2, gumam Adelia. Ia kembali berdiri dan menaiki tangga dengan langkah menghentak-hentak sehingga terdengar bunyi yang begitu berisik.

"Udah ketawanya?", tanya Bastian kepada Maretha yang masih terus mengikik. Komentar Bastian membuat tawa gadis itu mereda, dan menatap bingung kepadanya.

"Itu lucu banget, tauuuu. Siapa sangka tuan putri bisa kesandung juga wakakakakak", Maretha kembali lagi mengikik.

"Aku mau mandi ama istirahat", tutur Bastian sambil memutar tubuhnya dan menuju pintu flat 26. Maretha buru-buru menarik ujung jaket Bastian.

"Sarapan dulu yukkkk", ajak Maretha dengan wajah yang ia gemas-gemaskan. Bastian melepaskan cubitan Maretha di jaketnya.

"Aku makan roti ama teh aja. Mau lanjut tidur, masih ngantuk", katanya mengindahkan Maretha. Ia meninggalkan gadis itu begitu saja dan masuk ke dalam flatnya dan dengan langkah cepat dan pasti, memasuki kamarnya. Maretha terdiam melongo melihat tingkah Bastian. Marahkah ia karena telah mengejek istrinya yang sembrono itu?

Malik dan Lisa saling berpandangan takjub menyaksikan sinetron 3 menit itu. Akhirnya mereka berjalan santai menuju flat 27. Ketika mereka berpapasan dengan Maretha yang tak kunjung naik ke flat 27, Lisa mencibirkan bibirnya.

"Whuuuu dicuekin nih yeeee", komentar Malik ke arah Lisa, namun sebenarnya kata-kata itu ditujukan kepada Maretha.

"Mengais sampah di simpang mencari barang, Dikiranya gampang rebut suami orang. Hahahahahah", kata Lisa berpantun ke arah Malik, yang tentu saja sebenarnya ditujukan kepada Maretha. Hati gadis itu mendidih karena ulah kedua sahabat Adelia.

"Ke resto padang mau makan rendang, eh taunya Cuma babat, udah tau punya orang, eh masih jugaaaa di embat. Hahahahahahha", balas Malik ke arah Lisa, sambil terus menaiki anak tangga.

"Berwajah itik, berkulit salak,Udah tak cantik, pelakor pulak! Wakakakaka", tutup Lisa sambil terus mengajak Malik tertawa mengikik.

Tangan Maretha mengepal, kepalanya pusing ketika tawa kedua makhluk itu terus saja menggema dan baru berhenti ketika mereka sudah benar-benar masuk ke dalam flat 27.

Sebaliknya, Bastian cepat-cepat menutup pintu kamarnya. nafasnya tersengal-sengal sampai wajahnya memerah. Ketika akhirnya ia menyandarkan punggung bidangnya di pintu kamar, ia langsung tertawa terbahak-bahak! Tidak ada orang yang bisa membayangkan betapa tersiksanya Bastian menahan tawa di depan semua orang. Melihat Adelia menempel pasrah pada besi-besi dingin itu sebenarnya membuatnya kuatir dan iba. Tapi ketika ia melihat betawa lucu dan menggemaskannya penampilan Adelia, ia tidak terdiam terpaku dan tidak dapat menolong istrinya itu. Bahkan untuk sekedar bertanya apakah ia baik-baik saja. Semalaman Bastian sudah merasa bersalah karena meninggalkan Adelia di Victoria Park. Jadi, setidaknya menahan tawa adalah yang terbaik yang bisa Bastian lakukan.

"Adelllll, Adellll wakakakakaka. Kualat lu ama suami. Makanya nuruttt wakakakakaka", tawa Bastian terus menggema di kamarnya sendiri. Siapapun yang mendengar dari luar, pastilah menyangka Bastian telah menjadi gila.

----------------------------------

Setelah sesi sarapan dengan Malik dan Lisa, Adelia kembali lagi menuju habitat aslinya: kamar. Benda yang paling ia takuti ada di depan matanya: Laptop dan catatan tugas-tugas dan ujian yang harus ia lewati dalam 3 minggu ke depan. Ya, ujian akhir untuk semester 1 di S2 kan di mulai sebentar lagi. Adelia mengelur daftar-daftar tugas yang memiliki bobot diatas 25% itu dengan helaan nafas yang panjang. Dua buah tugas kelompok dan 3 buah tugas mandiri.

Adelia menghidupkan laptop dan mulai membuka buku catatannya. Ketika ia melihat email, tampak diskusi dengan teman-teman sekelompoknya ternyata sudah dimulai sejak ia pergi ke Margaret River. Adelia memang sengaja tidak mengecek email tentang perkuliahannya selama sesi "pelariannya". Setelah membaca satu persatu email tersebut, ia lega ternyata perkembangan tugas mereka memuaskan. Mereka cukup bertemu satu kali untuk menutup project itu sekaligus memfinalkan materi presentasi mereka.

"Baiklah, jadi tinggal kalian bertiga yaaa", katanya pelan sambil mengelus-elus daftar tugas yang memang harus ia kerjakan secara mendiri. Adelia merebahkan punggungnya di kursi belajarnya. Ia teringat akan rasa sakit dan perih di lutut dan betisnya, yang tidak sesakit rasa malu di hatinya. Ya, mungkin ini lah tanda bahwa ia harus berhenti memikirkan Bastian, Maretha, Justin atau siapalah itu. Ada hal yang lebih penting dari semua ini: Lulus dengan nilai memuaskan di semester ini. Adelia mengetuk-ngetuk kepala kecilnya.

"Semangat Adelia! Semangat! Hempaskan bad vibes, ayo good vibes!", teriaknya sendiri. Ia kemudian menyambar handuk dan memutuskan untuk mandi air hangat dan mengganti gaun 3 harinya dengan baju yang lebih nyaman.

Semangat Adelia mulai membara. Ia dengan tekun kembali mencetak ketiga tugas yang sebenarnya sudah ia selesaikan itu beberapa hari sebelumnya. Hanya saja, ia belajar dari pengalaman, biasanya tugas itu pasti banyak memiliki kesalahan. Karena biasanya ia terlalu bersemangat untuk menyelesaikan tugas dan memberikan kata penutup, sehingga kadang isi di beberapa bagian akhir memiliki kulitas yang buruk. Diva menyarankannya untuk mencetaknya, dan membaca ulang ketika Adelia dalam kondisi yang santai dan fokus.

Benar saja, dari satu tugas dengan 2000 kata itu, Adelia sudah menemukan banyak kesalahan. Baik itu kesalahan tulisan, kesalahan dalam grammar bahasa Inggris, sampai ia merasa kata-kata yang ia gunakan kadang terlalu terbelit-belit. Adelia bersyukur ia masih memiliki waktu satu minggu untuk memeriksanya berulang-ulang.

Ketika ia selesai membaca ketika tugasnya, ia merasa matanya berkunang-kunang dan membutuhkan istirahat. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar dan memasak sesuatu yang bergizi untuk perut dan otaknya. Ketika ia membuka kulkas, Adelia lupa kapan terakhir kali ia ke coles dan membeli bahan-bahan makanan.

"Yang bener aja, masak harus belanja lagi sih?", tanyanya kesal pada dirinya sendiri. Adelia memeriksa penampilannya: rambut yang sudah mulai kering tanpa blow dry, jaket hoodie kebesaran, celana training dan tanpa make-up. Ya, ini penampilan yang bisa di terima untuk berjalan ke coles, pikirnya. Adelia kemudian menyambar tas causal dan memasukkan dompet, kunci rumah dan HP miliknya. Ia berjalan dengan langkah berat ke coles.

"Ya setidaknya hari ini aku bisa menggunakan black card papa Abraham untuk membeli sesuatu yang lezat dan bergizi", gumamnya sambil tersenyum puas sambil menyebrang ke kompleks coles.

Setelah membeli beberapa daging, sayur, buah, susu dan roti, Adelia masuk ke gerai sandwich subway. Ia memutuskan untuk membeli sandwich 12 ichi dengan segala macam sayur, 3 macam keju dan daging kalkun. Tidak lupa 2 macam saus dan cabai jalapeno yang sangat ia gemari, yang diapit oleh roti dengan topping keju panggang. Ya, bye bye diet saat ini, hello happiness. Yang penting happy dulu. Adelia mengambil beberapa biscuit coklat berukuran besar.

Ketika Adelia berjalan santai sambil menggigit salah satu biscuit ke arah flat 27, Ia baru menyadari bahwa Bastian sedang berdiri di balkon flat 26. Suaminya itu ternyata sedang memperhatikannya. Adelia terkesiap ketika ia baru saja menyadarinya, hanya beberapa saat ketika ia akan menaiki tangga.

"Del…", tutur Bastian lembut. Kelembutan kata-kata sang suami justru seperti sebuah mur yang berputar di telinga Adelia, seakan sedang mengebor dengan tidak nyamannya disitu. Adelia pura-pura tidak mendengarnya. Ia terus saja berjalan untuk menaiki tangga pertama.

"Adel…", tutur Bastian lagi masih dengan kelembutan, walau kali ini ada sebuah ketegasan bercampur nada perintah. Adelia menghentikan langkahnya sedetik di anak tangga kedua, namun ia memutuskan untuk terus saja berjalan naik menuju flat 27. Bastian menghela nafas pasrah melihat tinggkah sang istri yang sepertinya masih marah kepadanya.

"Gubraakkkkk", Adelia kembali terjerembab di anak tangga yang sama! Ia benar-benar tidak habis pikir, karena saat ini ia sedang mengenakan sepatu kets ternyaman yang dimilikinya!

"Adel!", teriak Bastian kaget dan bergegas menaiki tangga. Ia mencengkeram tangan Adelia dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memeluk pinggang istrinya itu!

"Auuuwww lepasin! Lepasin!", teriak Adelia, seakan-akan Bastian itu kuman. Bastian mengangkat kedua tangannya di udara, seakan ia menyerah untuk membantu Adelia. Sang istri menatap Bastian dengan tajam. Hanya keledai yang jatuh untuk kedua kalinya di lubang yang sama, pikirnya. Adelia sekarang benar-benar ingin bunuh diri. Adelia kembali berdiri, merapikan bajunya dan memeriksa belanjaannya. Keputusan yang tepat bahwa ia tidak membeli telur atau buah-buahan yang mudah bonyok hari ini.

"Kamu….kamu gak apa-apa?" tanya Bastian sambil menatap Adelia yang sudah mulai menaiki tangga lagi. Adelia hanya menatap sekilas ke belakang, dan kembali membuang mukanya.

Ketika Adelia sudah benar-benar sampai di depan pintu flat 27, ia memalingkan wajahnya menatap Bastian. Ia menjulurkan lidahnya sepanjang mungkin dengan mata tertutup, seakan-akan dengan seluruh kemampuannya, ia ingin mengejek Bastian. Setelah puas, ia segera masuk ke dalam flat. Hanya berjaga-jaga jikalau Bastian mengamuk dan menangkapnya.

Bastian hanya bisa menyaksikan kelakuan istrinya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Hatinya membuncah, namun ia tidak bisa mengurai apa perasaan yang sedang ia alami saat ini. Geli kah, lucu kah, senangkah, atau tersinggung. Namun ia menyadari bahwa atraksi Adelia di atas tangga benar-benar telah membuat harinya begitu menyenangkan. Bastian kembali tertawa mengikik sambil berjalan ke arah flatnya sendiri.

"Dasar cewek sinting!", katanya lagi dalam hati.