"Tunggu! Tunggu! Tunggu!" pintaku dengan berusaha menahan tangannya yang hendak menarikku pergi.
"Se-setidaknya, jika kau ingin membawaku pergi. Jelaskan padaku terlebih dahulu, di mana ini?" sambungku sambil melawan dengan menarik balik tangannya.
"Sekarang, kau sedang berada di Kerajaan Argani. Jangan banyak bertanya! Atau aku, akan memotong lidahmu itu," ancam laki-laki tersebut, hingga tubuhku hampir tersungkur ke depan karena tarikan tangannya.
Argani? Di mana aku pernah mendengarnya?! Aku, seperti tidak asing dengan-
Aku sedikit meringis, saat cengkeraman tangannya di pergelangan tanganku kian menjadi. Lirikan mataku, bergerak ke pepohonan sekitar … Ketika dia, semakin membawaku masuk ke dalam hutan. "Kalau benar ini Kerajaan Argani. Apa kau, pernah mendengar laki-laki bernama Bahaduri?" tanyaku, aku sedikit bergerak mundur saat langkahnya terhenti.
Dia berbalik ke belakang, melayangkan tatapan tajam kepadaku, "dari mana, kau mengetahui nama itu?" Dia balas bertanya dengan menarik tangan kiriku ke atas.
Aku menjinjit dengan memegang tangan kiriku itu, "kalau kau mengancamku seperti itu. Sepatah kata pun tidak akan aku keluarkan! Kau bodoh sekali, ingin merusak barang yang ingin kau jual!" bentakku yang membalas tatapannya.
"Apa kau sadar keadaanmu?"
Aku kembali meringis, oleh ancamannya yang disambung dengan semakin kuatnya cengkeraman yang dilakukan di tanganku, "aku sadar dan aku paham benar … Keadaanku. Kau, bisa mematahkan tanganku, kalau melakukannya terus-menerus," aku memohon dengan menatapnya sendu.
Udara, aku tiupkan ke pergelangan tanganku yang meninggalkan bekas merah. Lama kutatap bekas tersebut, dengan sesekali mengusapnya pelan … Berharap, rasa perih itu semakin menghilang. "Aku sudah melakukannya. Jelaskan padaku apa yang terjadi?!"
Aku meneguk ludah, saat matanya itu tak berkedip menatap, "Azura Binar Bahaduri, itu namaku," ucapku terhenti sejenak untuk menarik napas dalam, "Bahaduri, nama keluarga yang diambil dari kakek buyut kami. Aku tidak tahu apa yang terjadi … Tapi jika benar ini Kerajaan Argani, berarti aku telah kembali ke zaman beribu-ribu tahun yang lalu-"
Hentakan tombak yang ia tancapkan ke tanah, dengan cepat menghentikan ucapanku, "kumohon, jangan berpikir kalau aku sedang mencoba untuk menipumu! Kau … Lihatlah pakaian yang aku kenakan! Apa pakaianku ini, ada di zaman kalian?" ucapku, sambil menarik sedikit ujung piama yang aku kenakan.
"Sebenarnya, aku hidup … Jauh, sesudah masa Kerajaan ini berakhir. Dan, Panglima perang Bahaduri, jika kau mengenalnya … Adalah kakek buyutku-"
"Pang … Panglima?"
Alisku mengernyit, saat dia mengatakannya dengan salah tingkah, "setidaknya, seperti itu yang diceritakan turun-temurun di keluarga kami. Apa aku, mengatakan kesalahan?" Aku balas bertanya, kedua mataku melebar ketika dia tiba-tiba mengeluarkan tawa yang keras.
"Tidak, kau tidak mengatakan kesalahan," sahutnya sambil mengipas tangan kanannya ke depan wajahnya, "Bahaduri memang akan menjadi Panglima perang yang hebat … Pasti," sambungnya, dia bergumam seraya tak henti menganggukan kepala, lengkap dengan kedua tangannya yang saling bersilang.
"Apa kau mengenalnya?"
"Apa bisa, kau mengantarku menemuinya?"
"Aku Bahaduri," jawabnya singkat sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Kau … Siapa?" Aku mencoba untuk memastikan pendengaranku.
"Aku Bahaduri, jika apa yang kau katakan itu benar. Maka aku, kakek buyutmu," ucapnya datar dengan tetap mengarahkan jari telunjuk ke arah dirinya sendiri.
Aku membuang pandangan ke samping, "mungkin, ini sebuah kesalahan. Mungkin yang dimaksudkan, adalah Bahaduri yang lain," aku menggaruk leherku sambil tetap membuang pandangan darinya.
"Hanya ada satu Bahaduri, dan itu aku-"
"Tapi, yang diceritakan … Kakek buyut kami, adalah laki-laki tampan dan juga kuat," sahutku bergumam dengan melirik dari ujung kaki ke ujung kepalanya.
"Apa aku ini, kurang tampan di matamu?"
Kupaksakan bibir untuk tersenyum saat mendengar kata-kata yang ia lontarkan, "cerita turun-temurun memang tidak salah. Kau terlihat tampan, Kakek Buyut … Buktinya, cucumu ini mewariskan keelokanmu," ucapku sambil mengangkat ibu jariku ke arahnya.
Dari pada aku mati di tangannya, berbohong untuk diri sendiri itu lebih baik.
"Jadi Kakek Buyut, setelah kau mengetahui bahwa aku ini cucumu dari masa depan … Kau, tidak akan menjualku kepada Raja, kan?" Aku memohon sambil meraih lalu menggenggam kuat tangannya, "kalau aku mati. Aku, tidak bisa mengatakan kepada anak keturunanku kalau kakek buyut kami … Adalah laki-laki yang menakjubkan," sambungku memohon dengan sebelah tanganku sesekali mengusap ujung mata.
"Aku tidak akan menjadi Panglima … Kalau aku tidak bisa mengubah kasta. Aku, membutuhkan banyak uang untuk menaikkan kasta-"
"Aku akan membantumu!" seruku yang dengan cepat memotong perkataannya, "kalau kakek buyut kami menjadi seseorang yang penting dan juga kaya. Itu justru sangat bagus untuk anak keturunanmu dan itu juga akan berdampak untukku. Berjuanglah untuk menaikkan kasta, aku akan mendukungmu."
"Baiklah, sekarang ikut aku untuk mengajukan lamaran ke Raja," ucapnya sambil kembali menarik tanganku.
"Jika kau bermaksud untuk menjualku agar bisa mendapatkan pengakuan dari Raja … Aku bersumpah, akan meminta Raja untuk mengeksekusimu. Jika kau mati, seluruh keturunanmu termasuk aku pun juga akan mati … Kita akan mati sebagai keluarga," ungkapku sembari balas menarik tangannya.
"Hidup kita akan terjamin kalau kau menikah dengan Raja-"
"Aku, tidak ingin hidup dimadu untuk setiap hari harus menghadapi sifat cemburu dari para istri-istri yang lain … Aku tidak ingin, aku tidak ingin menjalani hidup merepotkan seperti itu!" bentakku, napasku sedikit tertahan saat aku membalas tarikan tangannya.
"Kau akan menjadi selir kesayangan Raja dengan kecantikanmu itu … Bantulah kakekmu ini, agar bisa lepas dari kemiskinan. Aku telah menolongmu membunuh ular yang hampir menelanmu, sekarang kau harus balas menolongku!"
"Aku … Aku sudah menikah!" tukasku spontan berbohong kepadanya.
"Aku sudah menikah, itu berarti aku sudah tidak perawan. Raja mungkin berpikir, penghinaan macam apa yang engkau lakukan itu … Mengajukan lamaran untuk perempuan yang sudah dimiliki orang lain," sambungku menghasutnya.
Helaan napas lega sedikit keluar dari bibirku, saat dia sendiri pun telah menghentikan langkah. "Bahkan, saat suatu Kerajaan kalah dalam peperangan … Entah itu Ratu atau Putri, akan dipilih menjadi pendamping kalau Raja yang berketerikatan menginginkannya," sahutnya yang seakan langsung menghancurkan harapan.
"Tega sekali kau melakukan ini pada cucumu sendiri," tukasku sembari memukul-mukul kuat pergelangan tangannya.
"Kakek … Kakek Buyut," tangisku, dengan tetap berusaha melepaskan cengkeramannya.
"Kau, akan menarik perhatian hewan sekitar kalau tak menutup mulut-"
"Tapi, dari kecil aku sudah mengagumi sosokmu … Aku bahkan belajar Sejarah hanya untuk menuntaskan kekagumanku. Namun, orang yang aku kagumi … Justru ingin menjualku untuk kepentingannya. Kenapa hidupku tidak pernah beruntung?" tangisanku kian kencang mengikuti langkahnya.
"Hutan akan berbahaya kalau malam. Tubuhku luka karena berusaha menyelamatkanmu dari ular sebelumnya … Kalau ada hewan lain yang ingin menyerang, kita berdua akan mati. Jadi, lebih cepat kita keluar dari hutan, itu lebih bagus," ungkapnya, aku tertunduk menatap genggaman tangannya yang tiba-tiba merenggang.