WebNovelKEMALANG80.00%

Saatnya Melarikan Diri

Aku mencoba berlari lebih kencang, tetapi gaun besarku menghambatku ditambah gaun ini dilengkapi kawat agar terlihat mengembang.

"Ouh sial." Aku memutuskan untuk bersembunyi di sudut gereja dan berusaha untuk melepas kawat yang terpasang dibajuku.

Kuangkat gaun yang menutup kawat dan mulai melepaskan kawat. Itu tidak berhasil, jelas. Karena kawat ini bukanlah sebuah cicin pengembang seperti dimimpiku, tapi kawat ini adalah kerangka yang biasa Dina lihat terpasang di patung alias manekin.

Kuganti rencanaku menjadi berguling di tanah dan mulai mendorong keluar kawat gaun. Rencanaku berhasil dan kawat mulai lepas sedikit demi sedikit. Tapi itu hanya sedikit dengan keadaan aku yang meniduri kawat yang lumayan berat.

"Agrhh! apa yang biasanya kulakukan sampai aku bahkan tidak bisa mendorong benda gila ini?!" aku terus berusaha untuk mendorong benda ini agar lepas, tapi itu tetap hanya terdorong pelan.

"Hic hic huaa..." tanpa sadar aku mulai menangis menyadari nasibku yang menyedihkan saat ini. "Aku hanya ingin pergi! Kenapa kau menghalangiku..." kurasa aku mulai benar-benar gila karena aku berbicara pada kawat gaun.

"No-nona?" Aku melihat seorang pria dengan pakaian yang dominan berwarna coklat menghampiriku dengan wajah yang keheranan. "Apakah anda membutuhkan bantuan?" Tuhan, apakah tidak bisa ini lebih memalukan saat seseorang melihatku sepert ini?. "Pakaian dalammu terlihat nona." ucap pria itu dengan seperti mengira bahwa aku dengan sengaja tidur di lantai. Walaupun itu benar.

'Arghhh orang gila ini!!' untung saja di sini pakaian dalam terlihat seperti piyama. "Dapatkah kau membantuku?" ucapku kesal dengan wajah memanas. "Aku sedang kesulitan disini." Ucapanku tidak segera membuat pria itu langsung menolongku.

'Apakah dia pelayan disini? Kenapa dia hanya memandangku saja?'

"Hei. Apakah kau pria mesum? Kenapa kau hanya memandangi seorang wanita yang sedang terbaring? Cepat bantu aku melepaskan benda ini. Aku akan memberikanmu imbalan."

Pria itu mulai bergerak membantuku melepaskan kawat dan dengan mudah kawat itu langsung terlepas dari gaunku.

"Hei, hei." Aku meminta juluran tangannya untuk membantuku berdiri. "Ah. Kau pelayan dari kediaman siapa?" tanyaku saat dia menarikku berdiri. Pria itu memiringkan sedikit kepalanya tanpa menjawab pertanyaanku.

"Apa?" tanyaku bingung.

"Duke."

"Duke? kediaman duke?" tanyaku lagi dan pria itu mengangguk. "Ah! Aku akan memberikanmu imbalan saat kau memberitahukan pesanku pada duke muda." Pria itu terdiam melihatku tanpa ekspresi.

'Apakah dia setuju?'

"Baiklah." Ucap pria itu akhirnya.

"Ah. Aku tidak akan perlu bertanya namamu. Kau juga tidak perlu bertanya namaku. Kau hanya perlu menyampaikan pesanku dan aku akan memberimu imbalan. Mengerti?" pria itu mengangguk.

Aku mendekatkan mulutku pada telinganya. "Sepertinya ada yang berencana membunuh duke muda."

"Hah?"

"Aku pernah mendengarnya.Tadi aku menemukan senjata disemak-semak dan menenggelamkannya ke air mancur gereja. Karena acara lebih cepat selesai daripada rencana, kemungkinan para pembunuh itu akan bergerak lebih cepat." aku merogoh bungkusan kecil miliku dan mengeluarkan satu kalung berlian. "Ini imbalanmu dan segera beritahukan pada tuanmu."

"Tapi nona, bukankah anda akan mendapat imbalan besar jika tuan mengetahui..."

"Tidak, tidak. Aku tidak membutuhkan hal seperti itu." Aku dengan cepat menepis ucapan pria itu. Apakah dia gila? Aku sudah susah-susah melarikan diri dari keluargaku dan dia memintaku untuk tinggal? "Jika Duke berencana memberiku hadiah, itu untukmu saja." ucapku terburu-buru.

"Tapi..."

Aku berjalan dengan cepat menuju pagar. "Selamat tinggal! Jangan lupa pesanku." Aku melambai pada pelayan pria itu dan menaiki pagar dengan cepat.

Piri bilang bahwa ada saudaranya yang tinggal di dekat hutan dan memintaku untuk tinggal sementara disana. Aku berlari cepat memasuki hutan, sekarang siang hari dan hutan tidak terlalu gelap walau cahaya hanya masuk lewat celah-celah daun yang rimbun.

"Ah!" Kakiku tersandung kayu dan membuatku terjatuh. Bawah gaunku kotor karena lumpur yang menempel. "Aku tidak ingat kemarin hujan."

Kuambil pisau yang kucuri dari para pembunuh dan kurobek gaunku agar menjadi lebih pendek. "Tidak-tidak. Jangan terlalu pendek." Aku memang ingin memakai pakaian yang kumimpikan, tapi jika kupakai aku akan dianggap orang gila yang memakai pakaian dalam.

Kuraba gaunku yang terpotong. Kuingat keluargaku yang tidak pernah memperdulikanku, kecuali Countess tentunya. Dia selalu berusaha agar aku tidak pernah merasa tenang tinggal di rumah. Karena aku tidak segera mati, akhir-akhir ini dia mencoba banyak hal untuk menyingkirkanku. Ayah? Persetan dengannya. Sepertinya Countess bilang bahwa aku menginginkan pernikahan ini dan Count hanya menyetujuinya.

Aku ingat bahwa aku memiliki kakak laki-laki. Tapi selain saat aku berumur 5 tahun aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Kami berbeda 5 tahun dan Countess selalu mencoba untuk menjauhkan putranya dariku.

"Bau apa ini?" aku mencium bau amis yang samar. Kulihat sekelilingku dan tidak menemukan apapun. Kulihat kembali gaunku dan ternyata gaunku terlihat lebih hitam daripada lumpur yang seharusnya berwarna coklat gelap.

Kudekatkan hidungku untuk mencium kain yang kupotong. Seketika punggungku terasa dingin dan keringat dingin mengalir dari dahiku. Potongan gaunku lebih tercium bau amis dari pada bau tanah basah.

"Darah?" kurapatkan alisku merasa bingung dengan hal yang baru kutemukan. "Aku harus cepat menemukan rumahnya." Aku meninggalkan potongan gaunku dan berjalan cepat memasuki hutan. Aku tidak yakin apakah bau amis itu adalah darah manusia atau hewan, yang kuyakini adalah aku harus dengan cepat menemukan saudara Piri.

Kakiku bergerak cepat dan pikiranku tidak lepas dari kemungkinan yang terjadi di hutan ini. Semakin masuk kedalam hutan cahaya semakin redup karena pohon yang berdaun sangat lebat. Kakiku mulai berlari kecil dan akhirnya aku berlari panik. Pikiranku bahkan sangat mengerikan saat membayangankan adanya pembunuh atau hewan buas di hutan ini.

'Kemana? Aku harus kemana?' aku berlari tanpa arah dan akhirnya kembali berjalan pelan karena kehabisan nafas. 'Dimana Aku?' kulihat sekelilingku. Hanya pohon besar yang terlihat.

"Oh peta!" aku menyadari bahwa Piri memberikanku peta kecil sebelum memasuki gereja. Kukeluarkan peta yang kusembunyikan di dalam bajuku. "Tapi, aku sekarang berada dimana?" aku terdiam memandangi peta itu mencoba menemukan letak keberadaanku. Kepanikan membuatku berlari tanpa arah.

Kucoba untuk kembali kearah dimana aku datang, tapi itu tidak berhasil dan hanya membuatku lelah. Kuistirahatkan kakiku sementara waktu dan melihat bungkusan yang kubawa. Ada beberapa roti dan sekantung air. Ada satu gaun sederhana, karena gaunnya panjang jadi aku lebih memilih tidak mengenakannya. Kumakan satu roti dan menyisakannya untuk saat tidak terduga.

"Kuharap ada orang yang menemukanku."

***

'Crip crip' suara burung membangunkanku. Ku rentangkan tubuhku dan hampir saja terjatuh saat aku menyadari bahwa aku sedang berada di atas pohon.

Ini sudah tiga hari aku berada didalam hutan, menunggu orang untuk menemukanku tapi hal itu tidak terjadi. Pada hari pertama aku tidak bisa tidur karena banyak suara yang menganggu dan membuatku terjaga semalaman. Aku memutuskan untuk mencoba memanjat pohon untuk menemukan jalan. Walaupun pada awalnya tidak berhasil, pada akhirnya aku dapat melakukannya.

Aku memakan makananku di atas pohon dan tidur diatas pohon pula. Terkadang aku turun untuk melanjutkan perjalananku, tapi aku harus menaiki pohon untuk menghindar dari hewan dalam imajinasiku alias kemungkinan adanya hewan buas. Terkadang aku menangis menyesali keputusanku, tapi aku kembali berhenti menangis karena menyadari bahwa keputusanku adalah hal yang lebih baik walaupun aku sial karena kebodohanku sendiri.

"Hah... sepertinya memang tidak ada yang mencariku."

Bahan makananku sudah habis dan air yang kubawa tinggal satu tegukkan lagi. Kulihat barang yang kubawa yang terdapat pakaian uang dan beberapa perhiasanku.

"Hah... apa gunanya ini jika kau tidak bisa mendapatkan makanan."

Aku melihat langit yang tertutupi daun yang rimbun dan memutuskan untuk mencari saudara Piri. Kuturuni pohon dan mulai berjalan kembali. Pemandangan yang sama setiap kali aku berjalan. Hanya ada pepohonan.

"Aku rindu Piri."