"Ta..tapi Pak Sa..saya".
"ini perintah Davina". sela Steven tegas, membuatku akhirnya mengangguk mengiakan ucapannya.
"Bagus".
Steven menatapku intens,membuatku salah tingkah dan hanya bisa melemparkan senyum.
"Kenapa masih berdiri disitu? Duduklah dimanapun yang membuatmu nyaman".
Lagi aku hanya mengangguk mendengar ucapan Steven.
"oh ia , saya mau mandi sebentar, ini dompet saya, nanti kalau makanannya sudah datang tolong kamu bayar".
Steven merogoh sakunya, mengambil dompet kulit berwarna hitam dan meletakkannya di depan meja yang berada dihadapanku.
"Baik Pak".
"Ok kalau begitu saya tinggal sebentar". Steven berjalan kelantai atas untuk mandi.
Tidak sampai sepuluh menit kemudian, bel gerbang berbunyi, mungkin itu adalah kurir pemgantar makanan.
Kuambil dompet milik Steven yang berada diatas meja lalu berjalan keluar membayar makanan yang di pesan bapak Steven.
"Berapa pak Semuanya?"
"tigaratus lima puluh ribu Mbak".
Aku merogoh dompet Steven, mengambil uangnya lalu memberikan kepada kurirnya.
"Terimakasih Pak" ucapku sambil mengambil kantong plastik berisi makanan.
Kuletakkan plastik putih itu diatas meja yang berada diruang tamu, dan tidak lupa meletakkan dompet milik Pak Steven.
"Sudah datang?".
"Eh ia Pak. Baru saja".
Steven hanya mengangguk,
"Bawa kemeja makan".
"Baik Pak" setelahnya aku hanya mengekori Pak Steven berjalan dibelakangnya hingga akhirnya kami berhenti berjalan tepat didepan meja makan.
"Duduk". Ucap Steven saat melihat pergerakanku menuju rak piring.
"Baik Pak". ucapku menuruti perkataannya, Aku langsung duduk, Steven bangkit dari tempat duduknya. Berjalan kearah rak piring, mengambil beberapa piring dan juga mangkok kecil yang dibutuhkan sebagai wadah tempat makana. Dalam diam aku melihat kelihaian Steven menyajikan makanan itu diatas piring.
Dan terakhir dia mengambil dua buah gelas bening , menuangkan air putih kesalah satu gelas dan meletakkanya tepat dihadapannya.
"Steven meminum air putihnya sambil melihatku
"Makan". perintahnya.
"Baik Pak". Dengan pelan aku mengambil piring. menuangkan nasi secukupnya dengan lauk dan sayuran sesuai dengan porsiku makan.
Aku memulai memakan makanan yang berada dihadapanku perlahan-lahan dan.
Sesekali kulihat raut wajah Pak Steven yang tengah serius memandangi layar ponselnya. Sebenarnya aku sangat ingin membahas mengenai gajiku. Aku ingin membujuk Pak Steven supaya dia bersedia mengeluarkan gajiku dibulan ini.
Sampai makanan dipiringku bersisa setengah, belum juga berani kuutarakan isi hatiku.
Kutarik nafasku pelan dan menghembuskannya pelan, untuk menguatkan diriku sendiri. Hingga keberanian itu muncul juga didalam diriku.
"Pak".
Satu panggilan dariku berhasil membuat Steven menoleh.
"Maaf sebelumnya atas kelancangan saya Pak, ini mengenai gaji saya yang kemarin Bapak bilangnya tidak akan diberikan". kuucapkan dengan suara pelan dan tempo nya cepat dan bisa kulihat tidak ada perubahan di wajahnyaPak Steven.
Kutarik nafas ku kembali untuk menormalkan detak jantungku yang sekarang tidak beraturan.
"Bolehkan saya mendapakan alasan nya Pak?" lanjutku takut-takut sambil melihat raut wajahnya.
Ternyata Bapak Steven juga tengah memandang kearahku membuat kami berdua saling tatap-tatapan . Bisa kurasakan aura disekeliling ku menjadi menakutkan sekarang.
Kalau aku menatapnya dengan takut-takut beda lagi dengan Bapak Steven, memandangku demgan tatapan tajam nya seakan-akan ingin memakanku hidup-hidup.
Aku berdehem pelan salah tingkah karena tatapannya, memilih untuk mengalihkan pandanganku kesembarangan arah memandang apapun yang penting tidak memandang tepat kearah Pak Steven.
"Hanya itu saja yang ingin kau tanyakan?". Steven sepertinya menunggu aku melanjutkan ucapanku
Tangan kusudah berkeringat dingin, kuraih gelas yang ada dihadapanku, mendekat kan pinggiran gelas itu kebibirku.
"Air putihmu".
"Eh..".
" ini". Steven mendekatkan teko bening itu kehadapanku.
Langsung saja kuturunkan gelas yang kugenggam dan bisa kulihat gelas itu kosong.
'Astaga bodohnya aku' . ucapku meruntuki kebodohan diriku sendiri.
"Maaf Pak". Sambil memaksakan senyum , kutuangkan air dari dalam teko itu kegelas milikku. Tidak perlu waktu lama dalam sekali tegukan air itu telah tandas.
Kuletakkan kembali gelas kosong itu keatas meja .
"Alasannya hanya satu, saya kurang suka dengan cara kerja kamu akhir-akhir ini yang sepertinya kurang profesional ".
"Maafkan saya sebelumnya Pak. Tapi saya lupa mengatakan perihal pertemuan Bapak yang ditunda itu karena hari itu Bapak buru-buru memberi saya perintah untuk menjemput koper Bapak yang berada di rumah dan membawanya kekantor Pak".
Steven menghela nafas pelan dan memandangku, lalu berkata
"Apakah kamu sadar, kalimat yang baru saja kamu ucapkan ini jelas sekali menunjukkan sikap kamu yang kurang profesional".
"Maafkan saya Pak, tapi ".
"Diam dan lanjutkan saja makan malammu".
Aku hanya mengangguk saat Bapak Steven memotong ucapanku dengan nada tinggi, kulihat Pak Steven dengan enteng kembali melanjutkan makan.
Aku terdiam menunduk, dadaku terasa sesak saat dibentak seperti tadi oleh Pak Steven. kedua mataku rasanya memanas, aku menunduk berusaha menahan air mata yang sebentar lagi akan jatuh.
Makanan didepanku rasanya sudah hambar, selera makananku yang tadinya meluap-luap hilang entah kemana.
Walaupun begitu kupaksa menghabiskan makan malam ini dengan cepat, supaya aku bisa segera pulang dan pamit dari rumah ini. Suasana nya sudah benar-benar canggung sekali sekarang.
Piringku sudah kosong isinya sudah tandas. Semuanya kumakan habis dan dengan cepat.
Kuisi gelasku penuh dengan air putih dan menghabiskannya dengan cepat.
"Sudah selesai?".
"Sudah Pak". sambil mencoba tersenyum, kuisi gelasku yang kosong hingga penuh. Kuminum dengan cepat isinya, lalu kuletakkan gelasku kembali keatas meja, kutarik sehelai tissue melap sisa-sisa kotoran ataupun minyak yang menempel di bibirku.
"Bagaimana dengan jadwal pertemuan yang kamu atur dengan Pak Sudarmo?"
"Sudah saya tanyakan Pak, Jadwal kosong Bapak Sudarmo ada di jam tujuh malam tepatnya dua hari lagi, itu artinya di hari kamis jam tujuh malam Pak".
Steven hanya mengangguk sambil mengunyah makanannya.
Melihat dia yang kembali diam, kuputuskan untuk bangkit dari tempat dudukku sambil membawa piring dan juga gelas kotorku.
"Duduk saja. Nanti bawa sekalian dengan piring bekas saya". Ucapnya tenang bahkan tanpa memandang wajahku sama sekali.
Kuanggukkan kepalaku lalu duduk kembali ketempat semula, meletakkan piring dan gelas kotor kembali keatas meja.
Hening.
Tidak ada diantara kami yang berniat membukà percakapan terlebih dahulu.
Sesekali aku mencuri pandang kearahnya melihat dirinya yang makan dengan tenang dan lambat.
"Astaga, kenapa makannya lambat sekali?" gerutuku dalam hati.
.
"Ada apa? Kenapa memandang saya?". Steven menatapku sambil melap mulutnya dengan tissue.
"Ti...tidak Pak maaf kan kelancangan saya".
tubuhku dingin rasanya saat tertangkap basah Steven aku sedang mencuri pandang kearah dirinya .
Steven melihatku sekilas dan kembali menunduk makan .
Kuedarkan pandanganku kemanapun itu yang penting tidak lagi menatap kearah Pak Steven. Sambil sesekali mengkopek kuku dengan jari tanganku yang lain. Hal itu adalah kebiasaan buruk yang telah lama menghinggapiku di setiap aku merasakan gugup, entah dimana saja itu. Aku pasti akan mengopek kuku ku sendiri. Ada rasa kepuasan tersendiri saat kulihat kuku itu terluka.
Seperti sekarang aku mengopeknya dengan keras untuk meluapkan rasa sedih dan gugup yang bercapur aduk di dalam diriku. Jujur aku begitu gugup. Andai saja aku masih memiliki nyali pasti aku akan meminta hak ku setidaknya hanya uang lemburku, aku perlu uang itu untuk membayar sewa kost ku. Aku sudah tidak memiliki uang sekarang. Tapi apalah dayaku sekarang nyaliku menghilang menguap entah kemana.
Resah memikirkannya. Apa kalimat pertama yang harus kukatan untuk meminta uang lemburku? Atau biarkan saja, tapi nantinya aku tidak akan punya tempat tinggal dan tidak akan maka untuk satu bulan ini.
Rasanya kepalaku ingin meledak sekarang, semakin kupikirkan semakin aku merasa gugup dan cemas,hingga tanpa sadar aku semakin kuat mengopek kuku ku sendiri.