Pulanglah!

Hawa menggeliat saat panas matahari mengenai kulitnya, ia mencium aroma makanan yang begitu lezat, perlahan membuka sepasang penglihatannya. Dia memicingkan matanya karena sinar mentari tampak begitu silau lalu sebelah tangannya menutupi sinar itu.

"Good Morning, sayang." Suara bariton yang khas terdengar merdu di telinga Hawa. Mau bagaimana lagi Adam sangat romantis hari ini, perlahan pria itu mendekati ranjang dan duduk di atasnya memasang wajah ceria. Tanpa menunggu aba-aba Hawa bangkit dari tidurnya dan ikut duduk di samping Adam, ia bersusah payah menarik selimut untuk menutupi dadanya.

"Morning too, sayang. Kenapa kau repot-repot membuat semua ini? Kamu tahu, kan tugas istri melayani suaminya. Menyiapkan sarapan pagi adalah tugasku dan kau mengerjakannya hari ini." Hawa menampakkan wajah cemberut merasa bersalah.

Senyum hangat sebagai jawaban atas kekesalan istrinya. "Sekarang buka mulutmu!" Pinta pria itu. Hawa menggelengkan kepalanya seperti anak kecil.

"Aku tidak mau makan sebelum mandi dan gosok gigi. Jadi sebaiknya kau menungguku sampai aku berbenah diri," suaranya terdengar lirih. Ia kemudian turun dari ranjang sambil membawa selimut tipis yang menutupi tubuh mungilnya.

"Sayang, sebaiknya lepaskan saja selimut itu agar aku melihatnya sekali lagi," teriak Adam menggoda istrinya yang sudah salah tingkah ingin memasuki kamar mandi.

"Shut up! Jangan ungkit kejadian semalam Adam atau aku tidak akan keluar dari ruangan sempit ini," balas Hawa dari dalam kamar mandi mengancam suaminya. Ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Kejadian tadi malam membuatnya malu setengah mati.

"Baiklah, aku akan diam." Dia tertawa lalu menggigit sepotong sandwich yang telah di buatnya. Suara dering ponsel berbunyi nyaring di atas nakas miliknya, Adam meraih benda mungil itu dan menggeser layar warna hijau.

"Halo, Ma." Suara Adam terdengar di seberang.

"Halo, Adam. Kamu tidak pulang, Nak? Mama sangat merindukanmu. Mama kesepian di sini." Lemah suara itu membuat hati Adam bergetar tak kuasa menahan rasa bersalah.

"Adam merindukan Mama juga tapi Adam sudah dewasa sekarang dan memiliki seorang istri. Mama kan punya Papa di sana, Adam tidak bisa meninggalkan Hawa sendirian di sini," kata Adam lembut menjelaskan perlahan alasannya agar tidak membuat ibunya tersinggung.

"Adam! Kenapa kau lebih memilih wanita pembawa sial itu daripada Mama yang melahirkanmu? Pulanglah! Dan ceraikan Hawa!" Bu Helsi setengah berteriak pada anak semata mayangnya. Hatinya sakit mendengar penolakan anaknya.

"Aku mohon, Ma. Jangan berkata seperti itu! Hawa adalah hidupku aku tidak bisa hidup tanpanya. Aku sudah berjanji pada Kak Radit untuk menjaga adiknya." Nyaris saja Adam menangis atas dilema yang di alaminya. Dua wanita penting sangat menyulitkan hidupnya, entah apa yang harus Adam lakukan demi menjaga keharmonisan hubungan mereka.

Lama terdiam dengan ketegangan masing-masing Bu Helsi berkata, "Mama membutuhkanmu sekarang. Mama berharap kau datang ke sini menginap walau satu malam saja tanpa membawa Hawa." Panggilan terputus, Bu Helsi menutup telponnya secara sepihak tanpa mendengar jawaban anaknya.

Ini adalah salah satu jurus Bu Helsi agar pria itu menurut. Ia yakin sekali Adam pasti datang dan meninggalkan Hawa sendirian di rumah. Sedangkan Adam merasa frustasi atas permintaan ibunya yang menjengkelkan itu.

Hawa keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk biru di badannya. Dia mendengar sedikit percakapan telpon suaminya dan sudah bisa menebak siapa orang itu. Adam duduk di ranjang sambil memegang kepalanya yang pening, istrinya mendekat memeluk suaminya membiarkan kepala pria itu tenggelam dalam dekapannya. Hawa tak berani bertanya apapun, ia hanya mau Adam bisa tenang dan tidak memikirkan masalah pernikahan mereka.

Suara tangis terdengar oleh Hawa, apa serapuh itu suaminya dalam hal wanita. Ia tidak menyangka di balik ketegaran Adam ternyata sangat lemah karena masalah ini. Siapapun yang ada di posisinya pasti akan selemah dirinya, dua orang wanita dalam hidupnya sama-sama penting dan sulit untuk memilih salah satunya.

"Hawa kau tahu aku tidak bisa meninggalkanmu. Kau hidupku! Seandainya aku tidak serius dengan hubungan kita mungkin saja aku tidak akan mengambil langkah ini, mungkin saja Mama tidak akan marah padaku karena aku menikahimu diam-diam. Maafkan aku membawamu dalam masalah." Isak tangis itu menyakiti hati Hawa. Cinta yang di miliki suaminya tulus dan murni, ia tidak pernah meragukannya.

"Jangan menangis lagi! Lihat mataku! Kamu pria kedua terbaik setelah kakakku. Aku tidak apa-apa Adam, jangan khawatirkan aku. Hari ini Mama membenciku tapi mungkin saja suatu hari nanti dia mau menerimaku menjadi menantunya. Jika Mama ingin kau tinggal di sana beberapa hari saja tanpaku sampai ia sembuh aku tidak keberatan di sini, lagian ada Bibi yang menemaniku." Hawa memegang pipi Adam membiarkan manik matanya menunjukkan bahwa perkataannya tulus.

Tepukan hangat tangan istrinya sangat mujarab membuat Adam tenang, setelah lama dalam posisi itu Adam tampak berpikir bahwa ia harus datang ke rumah ibunya sebelum wanita yang melahirkannya tidak mau mengajaknya bicara.

****

Di rumah Bu Helsi

"Pa, aku sangat merindukan Adam. Semoga saja dia datang kemari dan tak membawa wanita j***ng itu," umpat Bu Helsi marah. Rasanya memikirkan Hawa membuat kepalanya pusing tujuh keliling, ia tidak bisa menebak eksperesi suaminya yang hanya diam.

"Sudahlah, Helsi. Sebaiknya kau maafkan saja Hawa dan menerimanya sebagai menantumu lagipula dia juga keponakanmu. Kau tahu, kan Adam sangat mencintainya," jawab Pak Bayu berusaha membuka pikiran istrinya yang sudah di penuhi kebencian. Ia merasa alasan Bu Helsi membenci Hawa tidak logis, saudara kembarnya meninggal atas kehendak sang ilahi bukan salah Hawa.

"Tidak, sampai kapanpun aku tidak bisa memaafkannya. Lihat saja nanti aku pasti akan memisahkannya dari Adam." matanya tampak melotot seakan ingin keluar dari tempatnya.

"Adam berpisah dari Hawa itu tidak mungkin. Anak kita sangat mencintainya. Apa kau kamu tega menghancurkan kebahagian anakmu sendiri."

"Kebahagian Adam tidak terletak pada Hawa. Wanita itu hanya menjadi kutukan bagi Adam, aku tidak mau kehilangan orang yang kusayangi untuk kedua kalinya," tegas Bu Helsi tidak menyurutkan kekesalannya.

"Jangan pikirkan apapun lagi sebaiknya kau istirahat!"

Bu Helsi hanya mengangguk membaringkan tubuhnya di atas ranjang lalu menarik selimut sampai pinggang. Baru saja Pak Bayu beranjak dari tempat tidurnya sudah mendengar decitan pintu yang di dorong dari luar. Adam muncul di baliknya dengan membawa bingkisan buah, Bu Helsi senang sekali melihatnya tanpa membawa istrinya.

Mereka saling berpelukan melepaskan rindu, Adam memang sangat manja pada ibunya. Dorongan pintu lagi membuatnya tersentak setelah melihat siapa orang di balik pintu itu.

"Kau!" teriak Bu Helsi. Darahnya sudah mendidih seolah lava gunung berapi yang ingin segera meledak.