Dia menghampiriku dengan aura seperti seorang pembunuh. Langkah kakinya yang keras itu cukup untuk mengancam paman keji itu. Dia berpenampilan bukan seperti gadis pada umumnya. Dia dingin seperti es dan sangat tidak bersahabat. Ia berambut pendek dan berwarna coklat dengan mata biru.
"Apa maumu?" tanyaku menatap tajam gadis itu.
"Hey, Kid. This is not your way. This is my way.(Hei, Nak. Ini bukan jalanmu. Ini jalanku.)" ucapnya sombong.
"Emang kenapa? Aku ingin membunuhmu."
"Humph… Can you kill me? (Memangnya kau bisa membunuhku?) "
Tanpa basa basi, aku langsung bergerak maju dan melancarkan tinju tangan kananku kepadanya. Dia menghindar tinjuan itu dengan mudah dengan cara melompat ke belakang. Aku melakukan tinju itu secara bertubi-tubi, namun, tidak ada tinju yang mengenainya.
"I'm not done talking yet, you brat. (Aku belum selesai bicara. dasar bocah.)" ucap gadis itu mundur ke belakang.
Setelah momen itu, dia langsung melancarkan aksinya dengan mengeluarkan tinju kirinya kepada dada kiriku yang memiliki banyak celah. Kemudian, aku pun terjatuh dan tanah mulai mengenai punggungku. Aku menjerit kesakitan akibat luka yang belum sembuh.
"Too many gaps. (Terlalu banyak celah.)" ucap gadis itu dingin.
"It took you 10 years to beat me. (Kau membutuhkan 10 tahun untuk mengalahkanku)" jelasnya sambil meninggalkanku berbaring di tanah.
Salam dia meninggalkanku, aku mulai beranjak dari tanah lalu sedikit mengendap dan mulai mengincar kaki kanannya.
Aku menggigit kakinya seperti memakan daging ayam. Itu terlihat lezat seolah-olah aku ingin melahap daging itu sampai ke tulangnya.
"Aaaaa... " gadis itu menjerit.
"Get off my leg, You zombie! (Lepaskan kakiku, dasar zombie!)" pinta gadis itu sambil mengangkat kaki kanannya dan mengiinjakku bertubi-tubi dengan kaki kirinya.
Aku pun terinjak-injak dan tidak menyerah dengan gertakan itu. Aku pun langsung memegang kaki yang kugigit dan dia menembak punggungku dengan senapan anginnya. Aku semakin kesakitan dan tidak bisa bergerak akibat tembakan senapan angin itu.
"Shit. Why didn't he fall? (Sial! Kenapa dia tidak jatuh?)"
Dia pun terjatuh akibat kehilangan keseimbangan. Namun, ia tidak menyerah. Ia menembak kepalaku dan menendang dengan kaki kirinya. Setelah gigitan itu terlepas, ia mulai berdiri dan menginjak punggungku dengan cepat sehingga aku tidak bisa berdiri lagi.
Akhirnya aku dikalahkan dengan menjijikan seperti kutu. Punggungku semakin sakit. Rasanya seperti bunuh diri terjatuh di ketinggian 5 meter.
"Cih. Stubborn (Keras kepala.) " ucap gadis itu dingin.
Dia terjatuh karena kaki kanan nya terluka akibat gigitan ku. Dia mengambil peralatannya di saku bajunya dan mengambil pembalut untuk membalut kakinya. Setelah membalut kakinya, dia menunggu sebentar sambil memalingkan wajahnya kepadaku yang tengah sekarat.
Setelah memandang hutan yang lebat dengan lama, dia melihatku yang sedang tidak sadarkan diri dan munculah rasa bersalah pada dirinya. Dia memikirkan semua yang ia lakukan itu berlebihan.
"Dih. Why should me? (Kenapa harus aku)?" pikirnya merepotkan.
"Never mind! I just let him be for a moment (Sudahlah! Aku biarkan saja dia untuk beberapa saat)" pikirnya.
Setelah matahari mulai menurun, aku tidak sadar juga. Ini membuatnya frustasi dan kesal melihatku yang sekarat itu.
"Ugh. OK. I gave him a bandage. (Baiklah. Aku berikan pembalut untuknya)" ucap gadis itu dengan penuh amarah.
Dia pun mengeluarkan pembalut itu dari dalam payudaranya dan merangkak menghampiriku dan mengikat pembalut yang diisi dengan antiseptik itu agar darahnya tidak keluar. Setelah itu, ia menunggu beberapa saat untuk bisa bergerak.
Sebelum matahari mencapai tanah, ia mulai bisa bergerak dengan pincang dan mulai memegang tanganku dan mengangkatku yang sedang sekarat lalu pergi tanpa tujuan.
Keesokan harinya, aku membuka mataku dengan pelan. Aku tidak bisa menggerakkan badanku dan berbaring di bawah rindangnya pohon itu. Aku hanya terkapar dengan menyedihkan. Betapa lemahnya aku.
"Ah. Aku tidak mengingat apapun." pikirnya gelisah.
"Hey. Hurry up and wake up! We still have a long way to go. (Hey, Cepatlah bangun! Perjalanan kita masih panjang!)" ucap gadis itu dengan tatapan dingin.
"Ku bunuh kau!" ancamku dengan tatapan seperti seorang pembunuh.
"Huh? You still want to kill me with that dying body. Seriously…. (Kau masih ingin membunuhku dengan tubuh sekarat itu. Yang benar saja….)" ucapnya ketus sambil memalingkan wajahku beberapa saat.
"Pergilah, monster!" ucapku membencinya.
"OK. We are at peace. I don't want to cause trouble anymore. (Ok. Kita damai. Aku tidak ingin membuat masalah lagi.)" balasnya dengan perhatian.
"Aku tidak percaya denganmu." jawabku sinis.
"Come on. Do not like that! (Ayolah. Jangan seperti itu!)" ucapnya ketus.
"Awas saja kau, pengkhianat. Suatu hari nanti, aku akan menghajarmu."
"Try hitting me if you can! (Coba pukul kau kalau bisa!) " ejeknya mendekati wajahku.
"Jangan mendekati wajahku! Tinggalkan aku sendiri!" pintaku sinis.
"Sorry, I didn't hear you. (Maaf aku tidak mendengarmu.)" ejeknya sambil menggosokkan telinga.
"Kau pasti sengaja."
"Nevermind! We'll leave when we're done. (Sudahlah. Kita akan pergi jika sudah siap.)" ucapnya bergerak meninggalkanku.
"Oh yes. Diva Lexton. That's my name. (Oh iya. Diva Lexton. Itulah namaku.)"
Aku pun terdiam mendengar nama itu dan suasana menjadi hening dengan Diva meninggalkanku dengan pohon yang rindang.
"Cih. Aku tidak butuh nama itu." batinnya.
Setelah beberapa lama kemudian, aku mulai bisa bergerak. Aku ingin sekali menghajarnya sekali lagi, namun aku tidak bisa melakukan dengan kondisi itu mengingat aku masih terluka.
"Aku akan menghajarnya jika ada kesempatan." ucapku dengan penuh perhitungan.
Melihat itu, Diva kembali menghampiri dan berkata, "Can you walking? (Bisakah kamu berjalan?)" dengan mengangkut beberapa barang di punggungnya.
"Hmph… Aku bukan anak kecil." ujarku dengan tatapan sinis.
"Jadi kamu siapa?" tanya Diva penasaran.
"Aku tidak akan memperkenalkan diriku." tekadku.
"Alright, Kid! (Ya sudah, Nak!)"
Mendengar kata yang membuatku marah, dan kesal, aku akhirnya membuka suara.
"Rizel," kataku dengan tatapan yang sinis.
"Cih. What's with that stare? (Apa apaan dengan tatapanmu itu?) " ucap Diva dengan kesal memalingkan wajahnya.
"Puas?" tanyaku membalas ketusnya Diva.
"Not satisfied. (Tidak puas.)" ucapnya.
Setelah berjalan di hutan yang lebat itu, tidak ada perubahan. Suasana itu tambah hening dengan dua orang yang berjarak sedang berjalan untuk keluar dari hutan ini. Tidak ada pembicaraan sekalipun. Hanya ada kicauan burung dan suara hewan buas lainnya.
Setelah beberapa saat kemudian, kami lelah dengan berjalan tanpa henti dan istirahat di akar pohon yang besar.
"Argh. Kapan sampainya, bodoh?" ucapku marah yang terduduk di pohon.
" I don't know, you brat. (Aku tidak tahu, dasar bocah)" ucap Diva kesal duduk di akar pohon.
"Sialan! Harusnya aku meninggalkanmu. P*****r." ucapku sinis.
"Who are you calling whore? (Siapa yang kau panggil p*****r?) " tanyanya wajah memerah mendengar kataku dengan mengepal tangan kirinya.
"Tentu saja kau." ucap ku menunjuk Diva.
"Hah? Little kids like you should be taught a lesson. (Anak kecil sepertimu harus diberi pelajaran.) "celotehnya menatapku dengan tajam.
"Maaf, aku sudah belajar dengan cepat. Jadi, kau tidak usah mengajariku. P*****r." kataku mengejek Diva dengan sinis.
"You said it again. (Kau mengatakan itu lagi.)" balas Diva dengan penuh amarah.
"Grrrr."
'Grrrr."
"Hmph."
"Hmph."
Suasana hutan menjadi mencekam dengan pertengkaran. Kami saling memalingkan wajah kami dengan perasaan kesal dan marah di hati kami masing-masing.
{{{•••}}}