Secondary Von Violetta

Seorang pemuda sedang berbaring di ranjang UKS dengan dibalut pada bagian perutnya dan di kepalanya. Ia tidak sadarkan diri dengan tenang. Bu Secondary sedang berada di samping pemuda itu. Pemuda itu adalah aku, Rizel Sentinel.

Beberapa menit berlalu, aku membuka mataku dan memperjelas penglihatan ku, lalu aku menggerakkan sebagian tubuhku dan berbaring lagi.

"…Ngh!!"

"Apa yang terjadi?" pikirku pandanganku mulai jelas.

"Selamat Sore. Apakah kamu baik-baik saja?" ucap Bu Secondary cemas tapi ramah.

Ahh!!!" teriakku.

"Menjauh dariku!" teriakku menjauhi Bu Secondary.

"Hey, what's wrong with you? (Hei. Ada apa denganmu?)" ucap Bu Secondary polos dan cemas.

"Aku akan menghajar Guren untuk pertarungan berikutnya." ucapku masih belum menerima kekalahan.

"Whoa. Whoa. Whoa. Tenang dulu, Bos. You can't do it (Kau tidak bisa melakukan itu.)" seru Bu Secondary santai.

"Jangan halangi aku. dasar cabe-cabean!" bentakku kepada Bu Secondary dan segera beranjak dari tempat tidur di UKS.

"Oh. Maafkan aku. Aku sudah menahanmu. Tehe!" ejek Bu Secondary menjulurkan lidahnya dan tangannya menyentuh kepalanya.

"Lepaskan aku, dasar succubus!" ucapku menghina Bu Secondary.

"Ahahahaha. Kau pintar memujiku, anak kecil." balas Bu Secondary usil.

"Kamu kan kalah sama Kak Guren. Kamu harus mematuhi yang menang." sambungnya.

"What do you mean? (Apa maksudmu?)" tanyaku heran.

"Kau ingat peraturan Death Game?" balas Bu Secondary nanya balik.

"Yang kalah harus mematuhi yang menang. Gampang kok." tertawa terbahak-bahak.

"Aku akan menjualmu ke pria belang nanti." pikirku menatap dengan tajam.

"Ahahaha. Tidak secepat itu, Ferguso." ucap Bu Secondary jahil.

"AKU BUKAN FERGUSO. AKU RIZEL!!" teriakku kepada Bu Secondary dengan keras.

"Aku bukan wanita yang lemah. Pria belang saja tidak mau berurusan denganku. Apalagi kamu." ucapnya tidak sengaja mengejekku.

"Kau tahu, kenapa aku bisa membaca pikiranmu?"

"Aku tidak tanya padamu, cabe." ucapku pelan memalingkan wajahku kepada wanita cabe.

"Pada zaman dahulu kala, ada seorang anak kecil yang sedang…." dongeng Bu Secondary.

Aku hanya mendengar ocehan yang tidak karuan itu. Dia sedang asyik sekali menceritakan dongeng itu. Menyebalkan sekali. Aku seperti anak kecil yang harus mendengar dongeng wanita cabe itu.

"... Setelah aku dan Elevert berteman, ia mengajariku banyak hal, misalnya menulis surat, merangkai kata, berpuisi, merangkai kata, telepati, bergosip, berpuisi, telepati, menulis surat, berpantun, eh tidak berpuisi. Lalu kami … " dongengnya panjang lebar.

"Argh. Sampai kapan cerita ini selesai?" pikirku yang diikat di ranjang dengan raut wajah yang cemburut.

".... Begitulah ceritanya. Apa kamu sudah paham?" tanya Bu Secondary bersemangat.

Aku pun tertidur akibat harus mendengarkan cerita Bu Secondary yang membosankan. Hari sudah mau malam, lampu LED pun menyala menerangi Akademi Militer Twelve. Bu Secondary kesal dengan sikapku itu dan segera mengambil ember untuk menyirami orang yang tidur.

"Hei, bangun!" seru Bu Secondary menyiram air kepadaku dengan deras.

"Ah. Ah. Ah. Ah." (aku menarik nafas.)

"Kalo aku lagi dongeng, dengarkan aku dulu. Karena suatu saat nanti kau akan menyesal. Pada zaman dahulu kala…. "

"Sudah cukup! Aku tidak mau mendengar ceritamu lagi." murkaku kesal dengan tingkah laku Bu Secondary dan memalingkan wajahku kepadanya ke kanan sambil berbaring.

"Hah? Tapi, Elevert selalu mendengar ceritaku dan dia memperlakukanku dengan baik." celotehnya.

"Siapa peduli dengan si P*****r itu.? ucapku tidak pikir panjang tanpa melirik.

"Betapa jahatnya kau. Kau tidak boleh berbicara seperti itu. Suatu hari…"

"Apa yang kau lakukan, dasar bodoh?" suara seseorang yang memegang rambut Bu Secondary dengan erat dengan tangan kirinya.

"Aww. Sakit. Lepaskan aku! Jangan tarik rambutku! Aku sudah ke salon seminggu yang lalu." teriak Bu Secondary menjerit kesakitan.

"Itu bukan urusanku." ucapnya tatapan dingin dengan kacamatanya.

"Kyaaa!!! Kak Guren, tolong lepaskan rambutku! Rambutku mau copot, nih." ujar Bu Secondary memohon.

"Kenapa kamu tidak mengajar di kelasmu, hah? Karena kau, kelas yang kamu ajarkan harus menjalani jam kosong." kata Dr. Guren dengan sedikit murka.

"Maafkan aku. Soalnya aku harus mengawasi anak pembangkang ini. Jadi. akan repot nantinya." jelas Bu Secondary.

"Kau benar." ucapnya melepaskan rambutnya.

"Rambutku." sambil terharu memegang rambutnya secara hati-hati.

"Cih, dasar cengeng." ucapnya membalas perkataan Bu Secondary dan memalingkan wajahnya.

Melihat orang itu yang berada di hadapanku. Amarahku langsung meningkat. Suhu tubuhku semakin naik setiap detik. Perasaan ini tidak dapat dikontrol dengan baik.

"Kau. Kubunuh kau!!" emosiku langsung melonjak.

"Argh!"

"Urgh!"

"Grr!"

"Aku akan menghajarmu, dasar pecundang." tekadku masih belum menghilang.

"Kau sudah kalah masih saja bilang begitu?" ucapnya memukulku dengan keras.

"Kak Guren! Jangan pukul dia!" seru Bu Secondary memohon.

"Jangan menghalangiku, anak cengeng!" ucapnya dengan tatapan dingin.

"Ahh. Kak Guren mengatakan itu lagi." ejek Bu Secondary ngambek.

"Dasar anak kecil." ejek Dr. Guren melemparkan Krabby Patty kepada Bu Secondary.

"Krabby Patty!!" seru Bu Secondary mata berkaca-kaca.

Bu Secondary melahap Krabby Patty dengan lahap dengan kentang goreng dan soda.

"Thank you. Sir! I'll accept this happily. (Makasih, Kak! Aku akan menerima ini dengan senang hati.)" seru Bu Secondary senang.

"Makanlah sana. Aku akan urus ini." ucapnya dingin sambil melirik Bu Secondary.

Ketika aku sedang ingin melepaskan diri untuk menghajar Dr. Guren, Bu Secondary sedang melirik Dr. Guren dengan sikap yang cukup labil. Dr Guren memandangku dengan tatapan yang sedingin es.

"Cih. Kenapa dia tidak bisa berhenti?" pikir Dr Guren menatapku.

"Hei, Nak! Stop this bullshit, otherwise I'll kill you! (Hentikan omong kosong ini, kalau tidak aku akan membunuhmu!)" ancam Dr Guren, namun aku tidak memperdulikan kata itu.

"Aku tidak peduli. Aku akan menghajarmu!" tekadku yang masih belum padam.

"Kau sudah kalah. Jadi, kau harus menerima kekalahan yang kamu berikan dan kau akan berada dalam kelas disiplin untuk keesokan harinya selama seminggu. Kalau kau masih belum saja berubah sikapmu, tidak ada pilihan lain untuk membunuhmu." jelas Dr. Guren menatapku dengan setajam silet

"Kill me if you can! (Bunuh aku selagi bisa!)" ucapku keras kepala bertengkar.

Sementara aku dan orang berkacamata itu bertengkar dengan adu mulut, Bu Secondary malah menghabiskan Krabby Patty sambil menonton pertengkaran. Ketika ia menghabiskan Krabby Patty-nya ia beranjak dan mengangkat suara.

"Kak Guren, Ferguso." panggil Bu Secondary.

"I'm not Ferguso. (Aku bukan Ferguso.)" teriakku.

"Si Diva menunggumu, lho." ujar Bu Secondary keceplosan.

"Aku tidak peduli dengan p*****r itu." seruku meneriaki Bu Secondary.

"Shigan Quartet : Rectangular Sword!" ucap Dr Guren mengeluarkan jurusnya.

"Plak! Plak! Plak! Plak!" (suara tamparan dari Dr Guren mengenai wajahku.)

"Aa! Aa! Aa! Aa! Aa!" (teriakku menjerit)

"Kak Guren, Jangan!" seru Bu Secondary memegang kaki Dr. Guren.

"Jangan halangi kau, anak kecil." menatap bocil dengan seram.

"Aku bukan anak kecil. Aku Secondary von Violetta." ucapnya sombong.

"Seharusnya aku menyuruh Elevert untuk menangani ini, bukan kau." ucap Dr. Guren meninggalkan UKS.

"Hei, jangan tinggalkan aku!" ucapnya manja mendekati Dr. Guren meninggalkan UKS.

Mereka meninggalku yang sedang terkapar di UKS. Aku yang terkapar oleh serangan dari Dr Guren yang sangat tajam. Suasana UKS menjadi hening. Hanya aku yang terkapar di UKS sementara kamar lainnya kosong.

Tengah malam, semua siswa tertidur dengan teman sekamarnya, kecuali Diva. Diva tidak terlalu memperdulikan aku dan sedang membaca buku di ranjangnya sebelum tidur. Ia tertidur tak lama kemudian.

Seseorang yang memasuki ruangan UKS itu dan menutup ruangan itu dengan rapat. Ia dalam kondisi prima dengan senyumannya yang tulus. Kemudian, ia meniupkan peluit dengan pelan agar orang lain tidak terganggu. Aku membuka mataku karena mendengar bunyi peluit itu dan segera menyadarkan diri.

"Halo Rizel-kun… Bagaimana kabar?? Sudah Sehat??" tulisnya ramah.

"Ini untukmu.... Kamu belum makan, kan?? Aku Ikhlas, kok." tulisnya sambil memberikan roti isi daging sapi buatannya buatanku.

Aku yang hanya berbaring disitu menerima pemberian Bu Elevert. Lalu, aku memakannya dengan pelan dan rasanya enak. Perpaduan adonan roti dan daging sapi yang matang bercampur menjadi satu. Masakan ini cukup untuk menjatuhkan hati sang kekasih. Ditambahnya dengan keberadaan Bu Elevert yang sangat menenangkan, tidak berisik seperti Bu Secondary yang suka dongeng.

"Aku temani…. Jangan lupakan besok…. Kelas Disiplin." tulisnya.

"Jangan khawatir!! Saya tidak sejahat…. Seorang monster." sambungnya dengan senyuman tulusnya.

Mendengar itu, aku merasa hal yang aneh dalam hatiku. Baru kali ini ada yang memperlakukanku seperti seorang ibu. Ia sangat baik kepadaku pada saat aku berada dalam situasi terburuk. Semua orang dengan pikiran yang jahat sementara dia sangat berbeda. Ia adalah seorang ibu yang berasal dari surga.

{{{•••}}}