12 Perasaan Rama dan Rian

Rian bangun pada pukul 9 pagi. Dia memijit kening, toleh kanan toleh kiri, dan menemukan Rama yang langsung pura-pura tidak tahu saat membuang sampah dari dapur.

Cowok itu dia panggil. "Rama!" Tapi samasekali tak menoleh dan tetap menyelesaikan pekerjaannya mencuci piring juga.

"Kakak mau makan apa? Di kosanku Cuma ada mie dan telur. Jadi pilih rebus atau goreng?"

Rian justru memandangi Rama lalu dirinya sendiri. "Aku semalem ke sini?" tanyanya. Bingung memikirkan baju yang dipakai sudah beda dan—rasa-rasanya tidak mungkin Leon teman sekamarnya yang melakukan itu.

"Iya, Kakak habis berantem sama orang ya?" tanya Rian. "Kakak juga sakit dan muntah terus sampe aku pusing gimana cara nanganinnya."

"Ahhh… sorry," kata Rian.

Rama justru meninggalkannya begitu saja.

Rama pun langsung turun dari ranjang dan coba memunguti barang-barangnya yang tercecer di lantai. Ada dompet, ponsel, sabuk, sepatu, dan bahkan kartu-kartu juga.

Untuk sejenak pikirannya berhenti. Bagaimana pun dia ke sini tanpa rencana, dan itu pasti sangat-sangat mengganggu Rama dan Leon—

"Kak, aku bikinin teh sekalian," Rama mendadak muncul lagi. "Tapi lauknya cuma telur. Aku malas repot-repot bikin mie pake rebus segala…"

Rian memandangi piring yang disodorkan di depan wajahnya. "Tunggu, aku pasti ganggu kamu banget," katanya. "Leon mana? Aku pake kasur kamu, tapi dia nggak ada…"

"Ck. Kakak emang ngerepotin," kata Rama. Dia menaruh piring itu langsung di pangkuan Rian daripada lama tidak disambut. "Dan jangan khawatirkan Leon. Temen kurang ajarku itu pergi ke rumah pacarnya dan nggak mau ikutan bantu-bantu. Jadi biarin. Cuma aku di sini dan Kakak bisa pergi kapan aja kalo udah ngerasa baikan."

"Aku bener-bener minta maaf," kata Rian. Dia meraba dompetnya dengan tangan gemetar. "Nanti Kakak kasih ganti ruginya. Mn, anggep aja aku nyewa kosanmu sehari di sini. Tapi jangan khawatir. Abis ini aku pasti akan pulang."

"Hm. Cepetan pulang, aku nggak bisa bikin PR dengan tenang," Rama langsung pergi lagi setelahnya.

Rian tercenung. Dia memandangi nasi hangat dan gorengan telur orak-arik separuh gosong di piring dengan tatapan sedih. Begitu selesai sarapan sedikit, dia pun segera bersiap-siap untuk pergi dengan meninggalkan tiga lembar uang seratus ribu di atas bantal.

Rama sedang mencuci motornya di depan kosan waktu itu.

"Rama, terima kasih udah ngurus Kakak semalem," kata Rian. "Aku pulang. Dan, kalau bajumu udah selesai dicuci, pasti kuanter ke sini pakai paket—"

"Kakak semalem ngigo nggak jelas," sela Rama. Dia mematikan keran air sehingga selangnya limbung langsung ke tanah. Separuh badannya basah. Dan itu membuat otot-otot perutnya yang samar tercetak jelas dari balik kaus putih.

"Eh? Aku emang bilang apa?" tanya Rian.

"Kakak masih suka sama aku?" tanya Rama balik. "Kalo jawabannya nggak, aku justru nggak percaya. Kakak bahkan nolak cewek namanya Bella cuma karena aku. Iya kan?"

Rian tampak gelagapan. "Anu, aku kemarin—"

"Kakak kenapa nggak muncul lagi di perpus kota abis aku tolak?" cecar Rama. "Sungkan ke aku? Kalo kakak bertingkah begitu aku yang malah sungkan ke Kakak. Bagaimana pun Kakak lebih tua. Nggak banget kalo bikin mahasiswa baru sepertiku kepikiran kayak gini."

"Aku bakal bikin kamu nggak nyaman kan kalo muncul terus?" kata Rian terang-terangan pada akhirnya. "Kakak udah nggak mau bikin kamu ngerasa aneh atau gimana. Aku ngerti kok kalo kamu straight—"

"Terus kenapa ke sini waktu ada masalah?" cecar Rama lagi. "Kakak harusnya punya banyak temen yang bisa didatengi. Kok aku? Merepotkan aku aja."

Rama tahu, Rian mengepalkan tangan saat itu untuk menahan perasaannya.

"Kakak nggak bakal ulangi lagi," kata Rian. "Kamu nggak perlu khawatir soal itu. Abis ini Kakak ada kerjaan lama di luar kota, jadi—"

"Kakak sadar nggak udah bikin aku jadi aneh tadi malem?" sela Rama lagi. Kedua matanya berkilat benci dan Rian pun tertegun mendengarnya.

"M-Memang aku ngelakuin apa sama kamu?" katanya panik. "Sorry kalo Kakak nggak sadar. Sumpah tapi kalo lagi biasa aku nggak ada maksud bikin kamu begit—"

"Damn it."

"Rama—"

Rama mendadak mengambil tangan Rian dan menyeretnya masuk ke dalam kosan.

Rian dibanting. Sofa buluk pun semakin terasa menyaksikan ketika Rama menduduki paha-paha lemas itu tanpa pikir panjang.

DEG

Jantung Rian nyaris melompat bersama dua matanya yang membola. Rama menjambak kerahnya dan mendekatkan wajah mereka hingga nyaris bertabrakan—

"Rama, kamu—"

"Denger, semua ini salah Kakak," kata Rama. "Sama mantan-mantanku aja aku udah nggak sudi make ngayal waktu coli, sial kenapa semalem cuma Kakak yang aku inget? Anjir racun! Kakak kalo homo, homo sendiri bisa nggak? Kenapa nyeret-nyeret aku ke sana?! HAH?!"

Kedua bola mata Rian pun berkaca-kaca.

Begitu Rian terbatuk, Rama baru melepaskan kerah yang mencekik setelah mendengarnya.

"Kakak sayang kamu, tapi nggak pengen rusak kalo kamu nggak mau," kata Rian pelan. Dia menatap kedua mata Rama, meski pancaran takut tercetak jelas di sana. "Tapi karena temen kamu ada yang seperti aku, kupikir kamu bisa lebih toleransi semisal denger soal ini. Kakak nggak pernah minta kamu terima. Jadi kalo emang benci itu wajar. Kakak nggak ngerasa gimana-gimana…"

"…"

"Oh, iya. Biar Kakak ulangi," kata Rian. "Abis ini aku ada kerjaan lama di luar kota. Mungkin kalo projek ini berhasil, Kakak juga mau ke luar negeri beberapa tahun. So, kamu nggak perlu khawatir. Untuk ngelupain, cowok-cowok gay yang sejalan sama Kakak pasti ada yang mau bantu biar lepas dari kamu. Kamu tenang aja soal itu."

Rama merasakan tarikan keras di ulu hatinya.

"Haha… jadi begitu rupanya," kekeh Rama. "Bajingan sekali mulut ini? Enak ya bilangnya setelah bikin orang bingung? Astaga… aku beneran nggak ngerti."

"Kamu ini sebenarnya pengen apa dari Kakak?" bingung Rian balik. "Bilang aja nggak papa, aku bakal usahain selama bisa. Kalo kamu pengen dikenalin cewek seumuranmu biar balik 'normal' lagi, Kakak akan—"

"Fuck!"

Rian terbelalak ketika bibirnya diraup semua ke dalam mulut hangat itu. Kelima jarinya gemetar hebat. Dengan keringat dingin mengalir deras, detak jantung tak karuan, dan hanya bisa berpegangan ke kaus separuh basah Rama dengan remasan kuat.

Gila. Rama bahkan menggigit bibir bawahnya agar mereka beradu lidah hingga seperti ingin memakannya bulat-bulat.

Tahu-tahu Rian merasakan kemejanya dilepasi dan ada tangan nakal yang menggerayangi dada datarnya secara agresif. Atas bawah… Rama menjelajah tanpa lupa mencubit dan memuntir putting mungil di sana hingga dirinya merintih dan terengah hebat.

"Rama—"

Rian merebahkan kepalanya ke punggung sofa ketika dijambak ke belakang.

Dia benar-benar nggak pernah membayangkan kalau cowok yang lebih muda darinya itu, menggigiti lehernya seperti kue cokelat favorit yang baru keluar dari panggangan.

Rakus. Dan itu seperti bukan jenis sentuhan dari seseorang yang 'sepenuhnya lurus'.

"Ahhh…"

Rian pun memejamkan matanya tanpa sadar. Dia mencakar balik punggung Rian karena sensasi gila itu.