Tatapan Rama seperti binatang liar kelaparan. Matanya menajam. Dia juga tidak menerima bantahan apapun.
"Aku enggak suka main tusuk di belakang," kata Rama, tegas. "Mending begini aja jelas. Oh, iya pacarku udah nolak kamu kan kemarin? Harga diri banget ya masih tetep begini?"
DEG
Wajah Bella serasa dikuliti dari tempatnya. Gadis itu membuang muka dan mengepalkan tangan diam-diam. "Well, aku enggak ada hak apa-apa sekarang," katanya, mengakui. "Tapi, Rama. Denger ya. Rian itu bukan cuma gebetan bagi aku. Tapi kakak, saudara, sahabat, senior, dan panutan bagi teman-teman kami juga. Maybe kamu enggak tahu, tapi dia berharga bagi banyak orang."
"Bella, wait—"
"Diem kamu, Rian," Bella menatap tajam ke Rian. Lalu kepada Rama. "Pacar bocilmu itu perlu dikasih tahu, ya. Biar dia enggak mentang-mentang sombong dan seenaknya kalo bertingkah. At, least… kalo dia udah nerima bareng sama kamu, aku juga enggak mau dia nyakitin kamu atau bagaimana. Tapi semisal iya, aku enggak bakal sungkan-sungkan seret semuanya untuk belain kamu dari dia."
Kali ini Rama merasa gentar. Namun dia membuang muka. "Apa-apaan omonganmu itu…" katanya. "Aku enggak ada niat nyakitin Kak Rian."
"Buktiin kalo begitu," kata Bella. "Omong doang mah mudah. Tapi cowok baru gede kayak kamu—straight pula. Emang apa yang mau diharepin? Lulus kuliah aja belum, uang masih minta orangtua, tapi udah terlatih tinggi hati."
"Bella, it's too much for him…" Rian segera menatap Bella nanar. Dia tak kuasa, dan menggenggam tangan Rama tanpa sadar. "Udah, hubunganku sama dia itu urusan aku. Makasih udah peduli, tapi… dia enggak ngelakuin apa-apa kok sampe sekarang. Don't judge him. Dia belum pernah kayak gitu. Please…"
Bella pun mendengus pelan. "Well, whatever…" katanya. Yaudah aku duluan. Tapi kalo ada apa-apa sama kalian nanti, dan itu disebabkan pacarmu, maybe aku bakal ketawa aja."
Bella langsung berlalu. Sementara Rian merasakan tangan keras yang dia genggam lembut kini semakin menakutkan saja. Rama ingin mengamuk. Sangat. Dan setelag Bella pergi, Rian sendiri tidak tahu mengapa badannya diseret paksa kembali ke dalam apartemen. Rencana keluar makan batal ketika Rama membantingnya ke ranjang. Pacar barunya itu mengeluarkan amarah tak berperi. Tahu-tahu celana Rian dibuka, dipeloroti, dan Rian tidak sempat melawan lebih jauh karena Rama meremas semua pergelangan tangannya.
"Arh! R-Rama! Wait—kamu…"
Rama membungkamnya dengan ciuman liar.
"Ummpphh! Umn! Ahh!"
Rian tidak terlalu melawan. Toh dia sudah terbiasa bersentuhan seperti ini dengan semua teman seks-nya di luar sana. Namun, amarah Rama sekarang sungguh membuat dadanya memberat. Gigitan cowok itu di bibirnya enggak berarti apa-apa. Dia memang merasakan sakit anyir darah yang terus merembes keluar. Tapi bukan berarti semua itu dapat dia tahan setelah Rama terus melanjutkan sesapannya di sana.
Sejujurnya Rian bingung.
Ketika dia melihat wajah gelap Rama, dia tahu… cowok itu kini sedang bingung. Perasaannya tak pasti, namun nafsu untuk memiliki dan menguasai sudah mendarah daging. Rama tidak berhenti menyentuh. Meskipun beberapa kali dia bingung, tapi dia cukup tahu cara mengoyak kemeja Rian sebelum menyesapi puting-putting keras di dadanya. Rian mengaduh di awal. Sakit. Gigitan Rian di sana hampir bisa membuat bagian itu terluka. Namun lidah pacarnya itu bergelut rakus setelahnya.
Rama hanya bisa merintih. Dia tak ingin membuat situasi semakin buruk kalau dia menolak disentuh. Dan saat setelah emosi Rama mereda, cowok itu sepertinya baru sadar apa yang dia lakukan.
Rian di bawahnya, nyaris telanjang bulat. Dengan badan menggiurkan yang terbaring di depannya. Kalau mengingat sebelumnya sang pacar teknisi selalu di posisi dominan, mungkin hal ini juga sangat membuatnya syok. Namun, aneh. Air matanya tidak keluar hanya karena Rama memperlakukannya begitu. Rian sangat bisa mengendalikan diri. Perasaan cinta yang tergambar dalam mata lelaki itu lebih besar daripada segalanya.
"Kakak—"
Rian membalas tatapan lurus sang kekasih. "Apa…" dia tersenyum meski Rama yakin, situasi saat ini lebih buruk daripada yang apapun.
"Aku…" Rama melirik sesuatu yang sudah mengeras bebas dengan miliknya yang masih di dalam celana. "Aku enggak bakal lepasin langsung!" tegasnya. Lalu mencengkeram pergelangan Rian lebih kuat. "Karena… kalo aku lakuin, maybe kakak nanti enggak bakal ngomong lama sama aku. Hubungan kita jadi aneh, dan ada hal yang enggak beres berhari-hari."
Rian terkekeh pelan meski kegugupan sangat kental dalam suaranya. "Aku enggak bakal ngelakuin hal kayak gitu sama kamu."
"Bohong."
Namun Rian cukup terkejut ketika Rama mengecup keningnya. Lalu bibirnya, pipinya, terakhir kembali ke keningnya. Cowok ini… kenapa dia sangat-sangat manis?
"Lalu, emangnya kamu mau apa sekarang?"
DEG
Rama berhenti mengecup. Sejenak otaknya blank karena kenyataan memang lebih sulit ditangani daripada apapun. "Aku—" dia meneguk ludah. "Kalo diizinin, aku pengen ngelakuin itu sekarang. S-Sama Kakak."
Rian terperanjat sejenak. Bukannya tidak mau, tapi kecemburuan memang dorongan yang besar untuk membuat sang kekasih enggak sanggup membendung. Dia sedang rakus saat ini. Dan—
"Kamu…" Rian menatap panik ke bawah celana Rama. "Kamu sendiri bawa pengaman?"
"Apa?"
"P-Pengaman—" Melihat wajah Rama, Rian sudah tahu anak kuliahan yang sudah lama enggak berpacaran seperti Rama enggak mungkin memilikinya. Dia pun tertular meneguk ludah. "Oke? Kamu…" Rian tanpa sadar merona hebat. "Kamu boleh, kalo enggak keberatan. I mean—umn… kamu belum pernah kayak gini sam cowok. Dan, ah… y-yang pertama justru masuk langsung—"
Rama sudah membungkam mulut Rian lagi dengan ciumannya. Cowok itu tidak lagi mencengkeram dia. Tangan dilepaskan, dan Rian memeluknya erat kala kakinya dilebarkan. Deg. Deg. Deg. Detak jantung mereka bersahutan seperti genderang festival. Dan Rian tidak pernah merasa segugup itu saat lubang lembutnya dipoles dengan jari hingga rasanya seperti baru digodai untuk pertama kali.
Mereka menatap ke bawah bersamaan. Lalu saling menatap juga bersamaan.
Rian tampak ragu, namun Rama berkata sekali lagi. "Aku enggak tahu, tapi aku bakal berusaha," katanya. "Kakak bisa ajarin aku sedikit? Aku enggak mau terlalu nyakitin nantinya—"
DEG
"A-Ah, yeah…" Rian membuang mukanya yang sudah terbakar. "Of course, Rama. Just keep going… umn… untungnya aku punya lubrikan di laci."
"Iya? Bagus…" kata Rama, senyum di wajahnya nampak sumeringah tanpa bisa dikontrol lagi. "Aku harap Kakak enggak kecewa sama aku di akhir."
Kecewa?
Tolonglah, Rian saja enggak pernah berani membayangkan ini terjadi. Dia terlalu takut menodai seorang Rama pada awalnya. Namun, sekarang sang pacar sendiri yang menguleni lubang mungilnya dengan lubrikan dingin. Rama tampak hati-hati kala memasukkan satu jari tangannya ke sana. Tiap detik dia mengecek raut wajah Rian, seolah-olah cemas apa yang akan terjadi ke sana apabila dia tak sungguh-sungguh membuat nikmat—
"Ahh… ahh…"
Rian mungkin salah lihat, namun dari sudut mata itu… dia melihat Rama tampak lega bisa membuatnya nyaman dengan sentuhan jari-jarinya.