"Kenapa sampai sekarang kamu belum punya pacar, Diandra?" Tawa Lukman terdengar menggelikan. "Belum menemukan lelaki yang cocok, hmm? Bukan aku, 'kan?"
Eh? 'Bukan aku'? Apa dia merasa seperti itu?
Aku dan Lukman sedang dalam perjalanan menuju RSPG, Bogor, tempat adikku dirawat karena penyakit TBC. Meski rintik gerimis menghiasi kota hujan ini, kami membiarkan jendela Jeep terbuka, menghirup sejuknya udara yang jarang kunikmati di Jakarta.
Lenganku memangku dagu yang berpaling ke luar jendela, menikmati indahnya pemandangan—tidak, aku bohong. Sebenarnya, aku sedang memalingkan wajahku yang mungkin sudah semerah tomat. Percayalah, aku belum mempunyai pacar sampai usia 27 tahun ini, bukan karena aku—.
"Dulu kamu pernah suka sama aku, 'kan?"
Deg.—menyukainya.
"Apa nggak ada lelaki lain yang lebih baik dari aku, Di?"
Emosiku menaik. Apakah pertanyaan seperti itu harus aku jawab? Percaya diri sekali dia, menggodaku seperti itu!
"Nggak ada lelaki yang dekat sama kamu selain aku?"
Jantungku terhempas berkali-kali mendengar pertanyaan Lukman yang terus dilontarkannya. Aku sudah membuang jauh-jauh pikiran itu sejak ia memilih adikku. Jangan mengingatkanku lagi!
"Nggak, Mas Lukman!" sanggahku akhirnya seraya menoleh ke arahnya. "Aku sudah memutuskan, nggak mau menikah."
Ciiitt.
Tubuhku terangguk karena ia menginjak rem mendadak, lantas menatapku tajam. Bola matanya hampir melompat ke luar dari kelopaknya.
"Kamu yakin, Diandra?"
"Iya, Mas."
"Kenapa?"
"Nggak ada lelaki yang sesuai dengan keinginanku."
"Memangnya, lelaki kayak gimana yang kamu inginkan jadi suami kamu, Di?"
"Lelaki yang nggak akan jadi penghambat karirku."
"Penghambat?"
"Ya, penghambat! Seorang suami yang akan menuntut istrinya untuk membagi waktu antara karir dengan keluarga. Mungkin juga, dia akan melarang istrinya bekerja supaya bisa mengurus anak. Intinya, suami yang nggak mau istrinya jadi sehebat dirinya. Itu namanya penghambat! Jelas, aku nggak mau!"
Sambil mendengarkan, Lukman menjalankan kembali Jeep-nya.
"Kalaupun aku harus menikah suatu hari nanti," lanjutku sambil menerawang rindangnya pepohonan di sepanjang tepi jalan. "Aku mau jadi istri yang bebas berkarir, nggak cuma menghabiskan waktu di dapur, istri yang bisa buat suami bangga pada kesuksesan karirku. Ada nggak lelaki kayak gitu di dunia ini?"
"Ada."
"Kayaknya, nggak ada," bantahku memotongnya, "Kecuali pecundang!"
"Pecundang?"
"Suami yang cuma mengandalkan uang hasil kerja keras istrinya, itu namanya pecundang!"
Mengapa? Agar istrinya tidak menagih gajinya untuk belanja bulanan. Atau, agar istrinya dapat membantunya mencukupi kebutuhan rumah tangga, tepatnya untuk meringankan tanggung jawab suami. Atau, agar suaminya dapat bersantai di rumah, sementara istrinya sibuk bekerja. Mungkin, hanya lelaki semacam itu yang mengharapkanku. Tentu, aku sangat membencinya!
"Bagaimana pun, pernikahan bisa menghambat karirku! Sudah lama, aku bertekat untuk nggak menikah seumur hidupku, Mas. Bukan mau menghindari lelaki pecundang saja. Aku nggak mau kesuksesanku terhambat, karena harus membagi waktu dengan urusan suami dan anak-anak."
Rasanya, aku sudah tidak perlu memiliki suami dan anak lagi. Aku bukanlah seorang wanita yang haus akan kebahagiaan membesarkan anak. Sudah cukup, aku merasakan sibuknya menjadi seorang ibu untuk Cassandra. Adikku baru lulus SD saat kehilangan ibunda, membuatku harus menjadi pengganti sosok ibu di rumah.
Aku juga tidak ingin ada pria lain yang bersaing dengan ayah di hatiku. Ayahku adalah pria terhebat bagiku.
"Kenapa kamu berpikir begitu, Diandra? Dalam kehidupan setiap orang, kegagalan dan hambatan pasti ada di balik keberhasilan. Kita nggak bisa memilih untuk tetap diam pada keadaan yang paling aman. Kita harus berani menjalani rintangan demi rintangan untuk dapat bergerak maju."
Oh, Tuhan! Dokter Lukman cerdas sekali? Sekali lagi, ia melawanku dengan pikirannya yang memang ada benarnya. Namun, bukan berarti aku salah atau harus mengalah. Jangan sampai keputusanku goyah!
"Kamu nggak bisa selamanya menghindari kesulitan berkeluarga, Di. Jangan menyalahkan kehidupan rumah tangga sebagai penyebab terhambatnya kesuksesan!Justru sebaliknya, kamu akan merasa lebih bangga, kalau kamu bisa meraih kesuksesan dalam keadaan yang sulit."
≈ ≈ ≈
Sesak hatiku, melihat kesesakan yang nyata dirasakan oleh Cassandra saat ini. Pipinya sangat tirus, hingga terlihat jelas tulang rahangnya yang lancip. Tidak ada lagi cahaya kegembiraan terpancar dari wajahnya yang pucat. Rambutnya yang panjang dibiarkannya kusut.
"Sandra! Maaf, kakak baru sempat datang. Sampai kamu sakit begini, kakak masih saja kurang perhatian sama kamu."
"Kak Dian ...."
Aku mendekatkan tubuhku ke atasnya untuk memeluknya, tidak dapat terlalu erat menindih tubuhnya yang hanya dapat terbaring lemas di ranjang. Bau obat terhirup penciumanku. Beberapa peralatan medis yang tersambung ke tubuhnya agak menghalangi kami. Tak lama, aku duduk di kursi di sisi ranjangnya.
"Maafin kakak yang sering marahin kamu, Sandra. Kakak sudah nyakitin hati Sandra, nge-judge Sandra yang gampang capek. Kakak bilang 'Sandra malas', 'Sandra manja', gara-gara Sandra yang alergi debu ini malas menyapu lantai. Ternyata, semua itu karena Sandra memang sakit."
Pandanganku mulai mengabur oleh cairan panas di mataku. Samar-samar, aku melihat wajah ibunda pada diri adikku. Kecantikan dan sifat Cassandra memang sejak dahulu sangat mirip dengan ibunda kami. Kenapa kemiripannya sampai sejauh ini? Penyakitnya juga sama persis.
Di usianya yang baru 22 tahun, Cassandra masih terlalu muda untuk merasakan penderitaan yang dialami ibunda. Masih panjang masa depannya. Masih banyak hal yang belum ia nikmati dalam hidupnya, terutama impiannya untuk menikah dengan Lukman.
"Maaf, kakak nggak sadar dari dulu. Kakak nggak tahu kalau Sandra beneran sakit. Seharusnya, kakak jadi orang yang paling ngelindungin Sandra dari penyakit ini, bukan marahin Sandra—"
Luapan penyesalanku terhenti karena Cassandra mengusap air mataku dengan jari-jari kurusnya. Mata cekungnya menatapku sendu. Rasanya, penyesalanku tidak cukup hanya dengan mengucapkan kata "maaf" berkali-kali.
"Nggak apa-apa, Kak Dian. Sandra ... nggak pernah ... membenci Kak Dian ...," lirihnya dengan nafas tersengal. "Sandra senang banget ... akhirnya ... Kak Dian datang. Sandra sudah lega ... kalau Sandra ... harus pergi ... setelah ketemu Kak Dian ...."
Apa? Pergi? Nggak, Sandra! Jangan pernah berpikir untuk pergi, Sandra! Jangan tinggalin kakak! Sandra pasti bisa sembuh! Kakak yakin itu! Semua kata-kata itu tidak dapat keluar dari mulutku. Leherku tercekik. Air mataku semakin deras.
"Cassandra, sayangku, jangan ngomong kayak gitu!" bujuk Lukman lembut.
Selama aku tak sanggup berbicara, aku memberi kesempatan untuk Lukman mendekati tunangannya. Ia duduk di tepi ranjang untuk memeluk Cassandra.
"Kamu harus yakin, Sayang, kamu pasti cepat sembuh. Terus, cepat selesaikan skripsinya, ya, Sayang. Kamu masih ingat 'kan, Sayang, janji aku mau nikahin kamu kalau kamu sudah lulus kuliah? Selama ini, aku sudah siapin semuanya, tinggal nunggu kamu wisuda, Sayang."
Dari sela-sela butiran air mataku, terlihat Lukman semakin mendekatkan wajahnya. Bibirnya mendarat pada bibir adikku yang kering, melembabkannya dengan lidahnya. Jarak sedekat ini, aku melihat mereka berciuman. Aku memalingkan pandanganku, tidak tahan melihat kemesraan mereka.
Apakah aku cemburu? Nggak! Ini bukan cemburu. Apa ini perasaan iri? Bukan juga! Aku tidak iri pada adikku. Lalu, perasaan apa ini?
≈ ≈ ≈ Bersambung ≈ ≈ ≈