Senja Berdarah

-CHRONOS : A Curse Continues-

1 April 20xx.

Daniel

Senja, kata sakral sekaligus mistis yang menandakan berakhirnya suatu hari yang lain. Warna jingga kemerahan yang memancar itu seperti membuka gerbang baru sebuah dimensi lain. Seperti darah yang mengantung di kaki langit.

Dunia yang di hadapi saat ini tidak ubah bak rongsokan tak berpenghuni. Jalanan dan gedung gelap serta tiang-tiang listrik melintang, terbengkalai.

Persis seperti daratan mati, bagaikan kiamat yang melanda. Hampir menghanguskan peradapan. Tidak ada manusia, tidak ada mesin dan bahkan hewan mamalia yang berkeliaran.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan di mana- mana. Tempat ini hanya berupa tanah kosong, rumput liar yang memanjang dan jalanan panjang yang membentang, putus-putus dengan retakan tak terhitung.

Tak jauh dari sana terdapat jalan kecil menuju pelabuhan, di apit oleh pilar-pilar jembatan beton yang membentang membelah di atasnya.

Lalu, di sekitarnya terdapat bekas rel-rel kereta api yang terbengkalai, batu bata, tumpukan beton pecah dan pecahan kaca dari gedung-gedung sekitarnya.

Jendela-jendela gelab tampak menyeramkan dengan ditumbuhi oleh semak belukar, popohonan yang dahan-dahannya saling memilit.

Terlihat jelas jika tempat itu sudah ditinggalkan sejak lama. Tidak ada yang peduli, bahkan tumpukan mayat yang hampir berupa tulang-berulang yang dibiarkan terjepit di antara bis yang saling bertabrakan. Rongsokan mobil di mana-mana.

Aroma darah tidak lagi tercium, sudah seperti debu yang berwarna coklat bercampur menjadi satu.

Langit senja kembali berteriak, menyuarakan keputus asakan persis saat kejadian bertahun-tahun yang lalu. Saat cahayanya dipaksa bercampur dengan raungan memekik telinga dan cairan merah lengket yang terciprat di mana-mana.

Senja berdarah yang mengubah peradaban..

Satu hari yang kacau… di mulai dari-

"Hantikan menonton itu, Daniel. Kau bukan anak kecil lagi yang selalu tengang saat menonton flim."

Seorang wanita dewasa meletakkan semangkok sereal dan secangkir susu di depan putranya, sebelum mengambil remot dan mematikan televisi.

"Ayolah Mom, ini bagian yang menegangkannya." Protes pemuda yang bernama Daniel.

"Bukannya kau mau kunjungan study? Jangan terlambat."

"Mom, ini masih terlalu pagi untuk kuliah. Selain itu aku bukan anak rajin yang kutu buku." Daniel menghabiskan sarapannya sambil berbicara. Wajahnya terketuk kesal.

Daniel Alexander, aku pemuda berusia Sembilan belas tahun itu saat ini sedang menduduki semestar empat di universitas bergengsi di pusat kota.

Ibuku seorang wanita baik, penyanyang dan terkadang menjengkelkan. Tapi aku menyanginya. Sedangkan ayahku, pria terbaik yang pernah kutemui dengan pekerjaannya sebagai karyawan tetap di salah satu pabrik tekstil.

Hidupku sederhana, dengan bangunan minimalis yang menemani masa-masa kecilnya sampai saat ini. Halaman berumput dengan dua pohon eks raksasa yang menaungi rumah kami. Dinding-dinging beton yang lembut serta langit-langit hijau mint yang kadang membuatku sakit kepala.

Aku selalu bertanya-tanya tentang memiliki rumah sendiri. hampir semua teman-temanku melakukannya, itu wajar terjadi pada usia kami, tapi Mom terlalu khawatir seakaan aku anak gadis saja.

"Bukan Zombie penyebabnya."

"Hah?"

Aku menoleh, menatap gadis kecil yang ikut berjongkok di sampingngku. Dia adik perempuannya, Zenna.

Kami sudah berada di teras depan seraya menatap halaman. Ia memasang sepatunya dengan cepat, dengan ransel kecil di punggungnya. Bis sekolahnya sudah menunggu di depan, mungkin itu yang membuatnya terburu-buru.

"Flim yang kau tonton, maksudku bukan zombie yang menyebabkan kerusakan itu."

Aku tertawa, "Yang benar saja."

Sejak awal selera kami hampir sama. Kami lebih menyukai tentang aksi dan juga sic-fi yang sering menjadi topik perdebatan. Adikku pecinta novel sedangkan aku hanya menyukai jenis praktis seperti flim.

Pengetahuanku tentang alur sedikit terbatas, apalagi dengan pesan tersembunyi di setiap flim yang ada.

Aku cenderung lebih menikmati apa yang tersaji di dalamnya. Seperti permaiann ataupun jalan tokoh utama yang penuh ketenganngan. Tidak pernah terpikir olehku untuk mengetahui apa yang tersembunyi di setiap gerak geriknya.

Terlalu menyakiti kepala.

"Itu terjadi karna kecelakaan bis." Zena memberi tahu, "Semuanya di awali dengan kecelekaan masal kemudian turun gen pembunuh yang mewabah kota seperti virus, itu baru kedatangan zombienya. Begitu urutannya. Apa kau lihat tumpukan mayat yang terjepit di antara ronsokan itu?"

Aku terdiam, alisku terangkat pelan membayangkan keadaan yang sebenarnya yang tidak di ceritakan dalam flim. Otakku langsung merespon saat keadaan kota aman, sebelum kerusakan itu terjadi.

Bis bertingkat yang dihuni anak-anak remaja. Lelocon dan juga nyanyian-nyanyian kegembiraan sebagai bentuk penyambutan libur musim panas.

Namun keadaan langsung berbalik, saat sebuah truk besar bermuatan penuh menghantam sisi trotoar, membanting stir tanpa terkendali menyimpang dengan decitan ban yang memekik telinga sebelum menghantam beberapa mobil di depannya.

Ini belum berakhir, mobil-mobil kecil yang ditabraknya mulai berterbangan kesana-kemari seperti kapas ringan yang membentur udara.

Brakk…

Salah satu mobil menghantam bagian depan bis, menutupi pandangan. Si supir langsung menginjak rem dan membanting stir ke kiri. Anak-anak remaja sudah tidak bernyanyi lagi.

Mereka beringsut dengan ketajutan yang menyusup menyaksikan setiap kejadian tepat di depan mata.

Kaca-kaca jendela pecah. Tubuh mereka terumbang-ambing, terbentur dan tertusuk besi tajam yang tidak sengaja mencuat. Cairan merah langsung terciprat ke segala arah.

Teriakan memecah gendang telinga bercampur dengan api yang berkobar di jalanan, suara serena dan juga warna merah yang bercampur dengan cahaya kekuningan di langit senja.

Aku menyeringai, sebelum menatap Zena yang sudah berlari ke arah bis yang sedari tadi menunggunya.

"Zena, kau memberiku ide yang sempurna." teriakku dan dibalas denggusan kecil dari Zena.

"Hati-hati dengan bisnya!!"

Zena melanyangkan tangannya menggarok leher dengan pandangan sadis, 'mati saja kau!!'

"Ini bukan senja!" teriak Zena kemudian tubuhnya menghilang saat pintu bis tertutup.

Aku menghela napas panjang, mengangkat bahu tidak peduli. Itu hanya flim, senja atau pagi tidak ada hubungannya.

Ini awalnya, aku mengambil ponselku dan menghubungi salah satu temanku agar dia menjemputku.Terlalu lelah untuk sekedar berjalan ke jalan utama.

Tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama, sebuh motor hitam sudah muncul tepat di depan halaman rumahku.

"Waktu yang tepat, eh." Aku berseru saat ia melemparkan helm hitam kearahku.

Dia Jenny, salah satu teman wanitaku yang sedikit ekstrim. Mungkin karna kami bersahabat dari kecil, hingga sikapnya lebih mirip anak laki-laki ketimbang anak perempuan.

"Siap untuk karyawista?" tanyanya.

Aku mengeling, terlalu tidak bersemangat untuk membahas yang satu ini. Profesor terlalu membanggakan satu desa yang menjadi tempat kami bermalam nantinya.

Kalau boleh jujur aku tidak menyukai desa. Hidup di kota membuatku tercukupi, dan itu sudah cukup. Aku bukan ilmuan ataupun relawan yang menjelajah dan menemukan banyak hal.

Aku lebih suka diam di tempat. Zona aman..

"Kenapa?"

"Tidak, aku hanya sedikit berpikir." Ucapku. Tatapanku terhenti saat melihat jeket hitam kulit yang membalut tubuh Jenny, "Kau mau balapan?"

"Tidak."

"Bagus, karna kau akan celaka nantinya."

Ia memutar matanya bosan, "Yang benar saja!!" Jenny melemparkan ranselnya ke arahku. "Dalam hal apa kali ini?"

Aku mengangkat bahu, mengambil alih motor Jenny. "Liburan musim dingin kemaren, aku mengunjungi nenekku di Arizona."

"Lalu?"

"Yah, aku rasa aku memiliki kekuatan supranatural seperti melihat takdir seseorang saat pertama kali bertubrukan dengan mataku."

Jenny terdiam dalam beberapa saat sampai ia menaikan alisnya bingung, "Wow.. luar biasa."

"Aku serius, aku melihat kau menabrak trotoar dan terseret kereta saat balapan."

"Haruskah aku menyiapkan asuransi?" Jenny menyimpulkan.

"Sepertinya..."

"Bagus, sekarang ayo berangkat dan tolong singkirkan ranselmu."

Aku sama sekali tidak puas dengan reaksi Jenny, aku mengikuti langkah kakinya dan kembali berbisik ke telinganya.

"Asal kamu tahu, besok akan menjadi hari yang mengerikan, lebih tepatnya sesuatu yang buruk akan terjadi. Bis yang kita naiki akan mengelami kecelakan, langit senja berubah jadi sekelam kolam darah. Teriakan dimana-mana, dan kau. Mati mengenaskan."

Jenny menghentikkan gerakannya, ia menatap kesal kearahku. "Kau bilang aku akan mengalami kecelaakan dan terseret kereta api saat balapan, jadi yang mana yang benar?" ketusnya.

"Dua-duanya.." ucapku asal.

Jenny mennghela berat. "Ok, jadi bagaimana dengann takdirmu sendiri? kau hidup apa mati tuan superhero."

'Mati terpanggang api..'

Deg...

Apa yang tadi terlintas?

Bersambung…