Simbiosis Mutualisme

Karena rumah Fathan dan Fanya berhadapan, cowok itu dapat melihat dengan jelas sahabatnya yang duduk dimeja belajar tengah mengacak-acak rambutnya. Sepertinya gadis itu frustasi tidak bisa mengerjakan tugas sekolahnya.

Fathan tertawa geli sebelum memulai panggilan telepon dengan Fanya, namun panggilan itu ditolak. Akhirnya ia memilih untuk mengirimkan pesan lewat sebuah aplikasi.

Cowok itu mengamati Fanya yang membuka ponselnya, membaca pesan darinya kemudian menaruh ponsel tersebut di laci meja belajar.

Selang beberapa menit Fanya memberanikan diri melihat rumah diseberang jalan, cowok itu tidak ada di kamarnya, padahal tadi dia menyuruh Fanya melihat kearahnya.

"Tok, tok, tok!!"

Pintu kamarnya terbuka, Fanya langsung menengok kearah pintu. Mamahnya berdiri disana dan mempersilahkan orang dibelakangnya untuk masuk ke kamar Fanya.

"Mah, jangan biarin cowok itu masuk!"

Dini mengerutkan keningnya, keheranan mendengar penuturan anak gadisnya. "Ada apa Fanya? tumben sekali. Bukannya Fathan mau bantu kamu belajar."

Belum sempat Fanya menjawab, cowok itu menjawab ucapan Dini lebih dulu. "Bener Mah, barusan Fanya telepon minta tolong ke Fathan."

"Udah mamah gak usah khawatir, Fathan bakal bantuin Fanya belajar." Sambungnya.

Dini tersenyum tenang, "ya sudah kalau gitu mamah mau lanjut kerja ya. Nanti mamah bawain cemilan."

"Oke Mah, semangat kerjanya." Tutur Fathan sambil tersenyum penuh kemenangan dan memamerkannya kepada Fanya.

Apa yang mamahnya pikirkan, membiarkan anak gadisnya berduaan dengan seorang laki-laki. Yah meskipun Fanya dan Fathan sudah terbiasa begini, namun hari ini Fanya protes keras.

Setelah Dini pergi, Fathan langsung menghampiri sahabatnya. "Hemm, fisika yah. Gue jawaban lo yang nomer 1 dan 2 itu salah."

Fanya menatap tajam sahabatnya, "gue gak butuh pendapat lo dan gue gak minta bantuan lo!"

"Oke, oke. Gue gak bakal gangguin lo belajar, cuma mau baca komik disini. AC kamar gue mati, disana gerah."

Fanya tahu, cowok itu berbohong soal AC nya, tapi ia malas berdebat dengan Fathan, jadi ia biarkan saja cowok itu duduk di kasurnya sambil membaca komik. Sesekali Fanya melirik sahabatnya saat ketahuan gadis itu berkilah, dirinya sedang melihat jam bukan melihat Fathan.

Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam, cemilan dan susu coklat yang dibuatkan mamahnya bahkan sudah habis, namun Fanya baru bisa mengerjakan lima soal dari total tiga puluh soal. Untuk kesekian kalinya gadis itu mengacak-acak rambut.

"Pusing yah? Perlu dibantu?" Fathan menawarkan diri, namun Fanya menolaknya mentah-mentah.

Hingga pukul sembilan, Fanya belum bisa menyelesaikan tugasnya. Gadis itu mengerang frustrasi sambil menutup mata. Saat membuka mata, buku tugasnya telah pindah ke tangan Fathan. Cowok itu menuliskan sesuatu dibukunya, tak berselang lama Fathan mengembalikannya lagi.

"Dua hari ngerjain pun gak bakal selesai, karena rumus yang lo pake salah."

Fanya mendelik jengkel kearah Fathan karena telah mengambil bukunya tanpa izin, namun ketika gadis itu memeriksa rumus dari Fathan, gadis itu tersenyum malu hingga pipinya memerah. Ternyata benar rumus yang ia gunakan salah.

"Makanya kalau gak bisa itu tanya, gue tau lo gengsi minta tolong karena masih kesal. Tapi gue bakal tetep bantuin lo kok apapun keadaannya."

Gadis itu tidak menggubris ucap sahabatnya, ia sibuk mengerjakan tugasnya karena kini ia mulai mengantuk.

Sepertinya bukan hanya Fanya yang mengantuk, disampingnya Fathan menguap lebar. Cowok itu kemudian berdiri lalu mengusap puncak kepala Fanya, "jangan ngambek lagi dong. Hari-hari gue serasa mimpi buruk setiap kali lo marah kayak gitu."

Fathan menguap lagi sebelum menyelesaikan ucapannya. "Gue pulang ya Fan, good night baby girl."

Setelahnya Fathan benar-benar pergi dari kamar Fanya. Ia menutup pintu kamarnya perlahan-lahan agar tidak menimbulkan bunyi berisik, sebisa mungkin cowok itu tidak menggangu sahabatnya yang tengah fokus belajar.

Jantung Fanya berdetak dengan irama lebih cepat, rasanya seperti akan meledak. Pipi gadis itu memerah sampai terasa panas. "Baby Girl katanya." Tutur gadis itu lirih sambil membenamkan wajahnya ditelapak tangan. Fanya rasa, ia tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini.

—🌼—

"Tin, tin!!"

Itu suara klakson motor Fathan. Fanya bergegas keluar rumah dan berpamitan pada mamahnya yang tengah menyiram tanaman dihalaman depan.

"Mah, Fanya berangkat yah."

"Iya, hati-hati dijalan sayang."

Fanya mengangguk kemudian berlari menghampiri Fathan dan langsung naik ke motornya.

"Pegangan, nanti lo jatuh." Tutur Fathan sambil menarik tangan Fanya dan melingkarkan ke tubuhnya.

Lagi-lagi pipi Fanya terasa panas, Fathan selalu berhasil membuat ia salah tingkah. Gadis itu tidak mau Fathan melihat pipinya yang bersemu merah, ia menundukkan kepalanya disepanjang perjalanan hingga mereka sampai disekolah.

"Fanya lo kedinginan kah? Pipi lo merah banget." Ucap Fathan sambil menyentuh pipi sahabatnya, tapi Fanya menangkis tangannya.

"Gue gak papa, jangan sentuh!" Setelah mengatakan itu, Fanya segera berlari menjauhi Fathan. Ia benar-benar malu.

Dari kejauhan couple goals SMA Pelita Bangsa sedang memperhatikan interaksi dua sahabat yang banyak drama itu.

"Fathan konyol banget ya Lis, dia gak sadar-sadar juga." Ucap Nico sambil tertawa pelan, kemudian ia menggenggam tangan gadisnya, mengajaknya pergi kekelas.

Sementara itu—Fathan bergeming ditempat dengan ekspresi wajah sedih menatap kepergian Fanya.

"Kayaknya dia belum bisa maafin gue." Tuturnya bergumam lirih.

—🌼—

Jam istirahat, Fathan menghabiskan waktunya sendirian didalam kelas. Tidak—sebenarnya cowok itu menunggu Fanya datang kekelasnya. Gadis itu biasanya datang untuk mengajaknya makan dikantin. Fathan takut sahabatnya itu tidak datang menemuinya, namun ia tangkis pikiran buruk itu dan meyakinkan diri bahwa Fanya hanya datang terlambat.

Cowok itu tidak bisa menerima jika Fanya tidak mau menjadi sahabatnya lagi. Dua hari Fanya marah saja ia sudah uring-uringan sampai berat badannya turun.

"Ahgg!" Fathan mengerang kesal. Sudahlah ia akan menemui Fanya duluan saja.

Dilain sisi, Fanya tengah menyusuri setiap sudut perpustakaan sekolahnya yang sangat luas itu. Mencari sosok yang berhasil membuat jantungnya berdetak lebih cepat setiap kali berada didekatnya.

"Kok Fathan gak ada di perpustakaan. Apa mungkin—Fathan menghindari gue karena kejadian tadi pagi."

Fanya menyesal telah berteriak saat Fathan menghawatirkannya. Padahal maksud cowok itu baik, namun Fanya terlanjur baper sendiri. Apa kini gantian, giliran Fathan yang marah padanya?

Oh tidak, tidak. Ini tidak boleh terjadi, Fanya tidak bisa apa-apa tanpa cowok itu, bahkan mengerjakan soal fisika saja ia masih memerlukan bantuan Fathan.

Gadis itu harus mencari sahabatnya dan meminta maaf atas kejadian tadi pagi. Jangan sampai Fathan tidak mau lagi menjadi sahabatnya karena Fanya terlalu banyak merajuk dan merengek seperti anak kecil.