Akhir pekan di hari kedua memang menyenangkan. Setelah mengerjakan tugas, mereka bisa keluar dari sangkar dan pergi ke suatu tempat yang mereka inginkan. Bahkan, ada dari mereka yang meneruskan hobinya di akhir pekan.
Misalnya, taman, perpustakaan umum, toko permen, stand makanan, dan tempat lainnya. Mereka berpergian ketika matahari belum menaiki kepala. Ada yang membersihkan rumah setiap minggu dengan kain pel, sapu dan kemoceng.
Di Restoran Zveda, sebuah restoran yang ditujukan pada kaum elit. Butuh waktu lama untuk merapikan pakaian yang dikenakan sebelum pergi.
Seorang resepsionis restoran yang mengenakan seragam warna putih dan rapi, datang dan penasaran dengan kemeja yang ku kenakan. Terasa seperti berhadapan dengan seorang elit.
"Ada yang bisa dibantu, Ser?"
"Aku ingin bertemu dengan Cherry Spyxtria di meja nomor 7."
"Tolong tunjukkan kartu identitas anda!"
Kedua tanganku mengeluarkan kartu identitas dan memberikan pada maid tersebut. Dia menerimanya dan memeriksa kartu itu dengan sesaat.
Kartu identitas Kerajaan Roshan didapatkan setelah menginjak usia 16 tahun. Biasanya, kartu ini digunakan untuk memberikan izin pada situasi tertentu. Misalnya, menyetir pada kendaraan industri, menikah dengan pasangan, bekerja di kota, berkarir di bidang seni, dan lain sebagainya.
Berbeda dengan murid Akademi Spyxtria, mereka mendapatkan kartu identitas lebih awal dengan lambang Klan Spyxtria, sehingga kami menikmati sedikit keuntungan dan bisa masuk ke dalam restoran elit sudah cukup.
"Ini kartunya. Identitas anda diterima. Anda boleh masuk ke dalam sekarang."
"Baiklah. Terima kasih atas kerjasamanya."
Aku meninggalkan resepsionis itu dan bergegas masuk ke dalam. Senyuman manisnya serta lambaian tangan menenangkan suasana. Alhasil, dia menjadi resepsionis yang baik.
[***]
Di dalam restoran, terdapat 2-3 lantai dengan banyak jendela dan 2 pintu masuk. Ruangan itu dihiasi dengan karya seni yang hanya untuk pajangan dan keindahan, sementara yang lainnya
Lukisan yang indah dipandang dan menenangkan, serta cahaya matahari menyinari ruangan agar tidak perlu menyalakan lentera.
Ketika sudah melihat meja 7, suara lembut seorang wanita dan panggilan yang disertai dengan rayuan. Pakaian warna ungu terlihat indah dan anggun, mendukung suasana restoran kelas atas.
"Rivandy! Sini!" Panggilan itu tertuju padaku.
"..."
Tanpa pikir panjang, langkah kakiku tertuju ke meja 7 yang sudah dipesan oleh kepala sekolah. Dia memandang sambil membayangkan memiliki keluarga yang baik.
"Maaf, aku terlambat."
"Tidak apa-apa. Aku baru saja memesan meja ini. Jadi, kamu tidak usah khawatir tentang keterlambatanmu." Kedua tangannya menyentuh meja sambil membalas perkataanku sikap pemaaf.
Wanita itu mempersilahkanku untuk duduk di hadapannya. Tatapan kami berdua memandang satu sama lain. Namun, aku masih belum memulai pembicaraan ini.
Tak lama kemudian, seorang Waitress mendatangi kami sambil memegang menu restoran dan bolpoin. Dia dengan ramah menyambut pelanggan sambil menanyakan pesanan yang diinginkan tamu restoran.
"Silahkan." Dia memberikan selembaran menu dan menunggu sebelum mencatat pesanan.
Kami menerima pesanan itu, membaca sejenak hidangan berkualitas tinggi disertai dengan bumbu masakan yang mewah. Namun, porsinya cukup kecil untuk menjaga kualitas hidangan itu sendiri.
Itu adalah Hidangan Hausseka, hidangan kualitas tinggi yang terdiri dari daging dan sayuran dengan porsi kecil.
"Tuan dan Nona memesan makanan apa?"
Beberapa saat kemudian, kedua mataku tertuju pada hidangan yang menarik perhatian dan langsung menjawab kepada pelayan."Aku ingin Hidangan Hausseka Kedua ditambah dengan Dailante Coffee."
Dengan respon cepat, Cherry melanjutkan,"Hidangan Hausseka Ketiga dan Cherry Tea gelas kecil."
Waitress sudah mencatat pesanan. Dia mengambil kembali menu restoran lalu memberikan perhatian kami untuk menunggu sebelum hidangan siap saji.
"Aku sudah mencatatnya. Pesanan kalian akan tiba 30 menit lagi. Mohon ditunggu sebentar!"
Waitress meninggalkan kami dengan langkah kaki yang rapi lalu bergegas menuju dapur untuk melayani hidangan meja lain.
Aku tidak bisa berbicara pada wanita yang sudah dianggap sebagai kakakku. Dia mengenakan gaun indah dan menawan dengan bibir merah yang dewasa. Dia menghilangkan kepercayaan diriku.
"Kamu kenapa? Kamu diam belakangan ini." Cherry memulai pembicaraan karena kau tidak bisa melakukan inisiasi.
"Tidak apa-apa. Aku ..."
"Tidak usah malu! Kamu tidak terbiasa pada suasana ini."
"Tidak ada pilihan lain. Kau malah mengajakku ke tempat ini. Aku harus merapikan kemejaku sebelum pergi."
Aku malah menjadi seorang gadis remaja, pemalu dan tidak percaya diri. Setiap berhadapan dengan Cherry, pikiranku tidak bisa dikontrol.
"Cie. Adikku seperti seorang perempuan."Rayuan dan ejekannya tidak bisa direm.
"Jangan seperti itu! Aku bukan anak kecil lagi." Wajah dan pipiku memerah, tidak bisa kembali tenang berhadapan dengan wanita itu.
"Tapi, kamu sama saja seperti anak perempuan."
"Sudahlah. Ini pertama kalinya aku berada di restoran yang mewah ini. Aku belum pernah mencicipinya."
Suara tawa terdengar sampai 3 meja sekaligus. Namun, mereka mengabaikan tawa itu dan fokus dengan hidangan di atas meja.
"Santai saja. Aku tidak memintamu secara formal."
"Oo. Begitu yah. Kalau begitu, pertemuan ini dianggap ajakan pertama kalinya."
"Anggap saja ini kencanmu untuk pertama kalinya. Kamu akan terbiasa dengan kencan di hari selanjutnya."
"Kau benar. Ini sudah saatnya untuk membahas sesuatu." Meskipun berusaha beradaptasi, keringat dinginku membasahi kemeja, tidak mau mengecewakan Cherry.
[***]
Beberapa saat kemudian, seorang Waiter berpakaian rapi datang membawa hidangan yang lezat. Obrolan kecil kami teralihkan oleh Waiter itu.
"Satu Hidangan Kedua dan Ketiga Hausseka dengan Cherry Tea dan Dailante Coffee."
"Iya. Itu yang kami pesan." Cherry meyakinkan Waiter, memeriksa hidangan yang diantar.
Waiter itu meletakkan sebuah pesanan di atas meja. Aku merapikan hidangan yang dipesan dan memandang asing kepadanya karena belum kenal terhadapnya.
Setelah meletakkan hidangan, Waiter itu mengundurkan diri dan pergi, meninggalkan kami dan melayani pesanan di meja lain.
Hanya kami berdua yang tersisa, hanya menyisakan keheningan dengan sebuah hidangan yang baru disajikan. Terdapat hidangan kecil yang bisa disantap secara perlahan, bukan dengan rakus seperti binatang buas.
Itulah cara menikmati hidangan berkelas.
Kedua tanganku mulai memegang garpu dan pisau, memotong hidangan kecil menjadi potongan , lalu menyantap secara perlahan. Menikmati makanan diperlukan juga.
"Bagaimana? Enak tidak?" Cherry melakukan hal yang sama.
"Terasa mahal. Mungkin aku harus mencoba membuat masakan ini. "
Kaerena respon yang datar, Cherry mulai berinisiasi untuk mebgalihkan topik yang lebih serius."Jadi, apakah kamu menganggapmu sebagai kekasih atau kakak perempuan?"
"Oh tidak! Pertanyaan itu lagi." Pertanyaan itu memaksaku berpikiran dua kali, menghentikan menikmati hidangan kelas atas hanya karena pikiran.
"Kalau menganggapnya sebagai kekasih, aku belum siap. Jika Kalak perempuan, boleh saja. Tapi, ..."
Aku tidak bisa berpikir. Wajah Cherry penuh tanda tanya, menunggu jawaban dari lawan bicara. Namun, .....
"Ja-Jadi Kakak Perempuan saja. Tidak apa-apa." Respon yang dilontarkan membuat Cherry terdiam, mengucapkan kata dengan mudah.
Dia membalas dengan senyuman, tanpa maksud tertentu. "Aku senang dengan jawaban itu. Mulai sekarang, ... Panggil aku Cherry-neesan. Ok?" Memberikan isyarat cincin kepadaku.
"Iya, Neesan. Aku terima." Wajahku merunduk dan fokus dengan hidangan mewah.
"Ara-Ara. Kamu memang seperti itu, Rivandy."
Setelah menghabiskan hidangan dan minuman, kami beranjak dari meja dengan piring dan gelas kotor.
Kedua tangan kami berpegang. Kemana pun kita pergi, kita selalu bersama. Terkadang orang lain menganggap kita adalah pasangan yang serasi, meskipun berbeda umur.
Rasanya, berhadapan dengan perempuan lebih memalukan daripada dihukum di lorong kelas.32
Setelah Cherry membayar tagihan restoran, kami keluar dari restoran dengan bergandengan tangan. Pandangan kami tertuju satu sama lain, menikmati akhir pekan dengan jalan kaki dan mengelilingi Roshan Capital.
"Terima kasih. Neesan. Aku sedikit lebih baik lagi."
"Tidak apa-apa. Hari ini hari libur. Aku tidak ingin bekerja hari ini."
"Tersenyumlah! Aku tidak ingin kamu bersedih lagi." Kakakku merayuku, menyentuh pipiku dengan santai.
"Neesan! Jangan seperti itu!"
"Kalau begitu, kalau aku bisa membuatmu tersenyum, kau harus menikahiku."
Candaan itu cukup meresahkan. Setidaknya, hubunganku dengan kakakku berjalan mulus dan berkembang secara perlahan.