Manda turun ke ruang makan. Di sana sudah ada Kian yang duduk di kursi biasanya. Hidangan makan malam sudah Bibi Rona siapkan, lezat dan mengguguah selera. Manda perlahan mendekat, langkahnya seolah sebagai kuda-kuda siap menanggapi sikap kian yang susah ditebak.
Kian menatapnya dengan seulas senyum. Kedua tangannya yang menaut bertumpukan siku di atas meja makan membuatnya terlihat arogan seperti biasa.
Manda duduk di sisi Kian, seperti malam yang sudah-sudah. Kini ia yakin seratus delapan puluh sembilan persen jika suaminya itu tak membawa gadi-gadis penghiburnya ke rumah, sedari tadi, hanya ia seorang sejak Manda pulang.
"Ayo, makan."
Tak ada percakapan selama makan malam, yang ada hanya sentuhan sendok dan garpu beradu di atas piring. Manda berkutat dengan pikirannya, mengapa suaminya jam segini sudah pulang?
"Ini masih pukul enam bahkan belum genap. Tetapi, Kian sudah di rumah dan sendirian."
Kian makan dengan lahap seperti biasanya. Bibi Rona memasak makanan kesukaannya, itu faktor yang mempengaruhi seleranya malam ini. Manda juga melihat bahwa rambut suaminya basah, dipastikan itu adalah sisa mandinya.
"Ini tak biasa. Sungguh, aku merasa bahwa Kian sengaja pulang cepat dan di rumah sendirian. Tapi, untuk apa? Biasanya dia pulang malam bersama wanita-wanita sundal."
Manda menghabiskan makan malamnya lebih lambat daripada Kian. Membuat Kian bertanya-tanya.
"Apakah masakan Bibi Rona tak enak lagi?" tanya Kian.
"E, enak kok." Manda menjawab.
"Kenapa lama sekali kau makan? Sakit?" tanya Kian melipat lengannya di atas meja, menatap Manda.
"Tidak, aku baik-baik saja." Manda menjawab.
Kian tersenyum. Ia mendorong piring bekasnya ke samping, tanda bahwa ia sudah selesai. Ia menyeruput teh hangatnya tak beranjak dari meja makan seolah menunggu Manda menyelesaikan makanannya.
"Aku tidak suka ditipu oleh wanitaku. Apapun alasannya."
Manda bukanlah tak suka jika Kian menemaninya makan malam, hanya saja tindakannya ini tak biasa di mata Manda.
"Apa aku salah duduk di sini? Kau terlihat tak nyaman?" tanya Kian santai.
"Tidak juga," jawab Manda.
"Apakah kau baru merasa nyaman jika ditemani oleh pria lain?" tanya Kian yang sukses menohok Manda.
Manda menelan gumpalan makanan di mulutnya susah payah. Mata bulat Manda menatap Kian seksama. Kian tersenyum menatap Manda.
"Apa maksudmu, Kian?" tanya Manda pada Kian.
Kian tersenyum. Ia mengubah posisinya menghadap Manda yang duduk kaku menatapnya.
"Apa kata-kataku tidak jelas di telingamu? Jangan main di belakangku, Manda. Tunjukkan saja di hadapanku," kata Kian mantap menatap Manda.
Kian bangkit dari meja makan dan beranjak. Manda merasa tak adil jika ia diintimidasi sepihak oleh sikap Kian.
"Mengapa kau menikah denganku?" tanya Manda.
Kian berhenti berjalan dan berbalik. Ia menghadap Manda yang masih duduk di meja makan.
"Mengapa kau menikah denganku jika kau sama sekali tak menginginkanku?" tanya Manda pada Kian. Pertanyaan yang sering kali berputar di benaknya selama ini.
"Kita sudah menikah selama satu tahun, kau belum tahu jawabannya?" tanya Kian.
"Pernikahan bisnis yang tak menguntungkanmu, kenapa kau tak menceraikanku saja?" tanya Manda.
Kian tertawa. Sedetik kemudian ia melangkah nyalang menggebrak meja makan hingga piring-piringnya bergetar.
"Kau sekarang pintar bicara, Manda. Apa sejak bertemu pria itu?" tanya Kian menebak.
"Bukan. Tapi aku sudah tak tahan diam lagi mendapatkan sikapmu seperti ini!!" Manda menjawab.
Manda merasa tubuhnya seperti melayang. Kursi yang didudukinya terguling ke belakang. Tangan Kian yang seringan kapaslah penyebabnya, ia menampar keras pipi Manda hingga terjengkang. Manda merasa punggungnya sakit, belum sempat ia bangun Kian menjambaknya sampai Manda berdiri.
"Aku akan melepas wanitaku jika aku merasa puas. Jika tidak, sampai kau memohon ingin mati saja dari pada hidup denganku, tak akan kuberikan, ingat itu Manda!!" Kian melempar tubuh Manda membentur meja makan.
Acara makan malamnya tak lebih baik dari sebuah acara pemakaman. Ia masih hidup namun mati secara bersamaan.
"Sedari awal kau tak pernah menginginkanku. Bodohnya aku jatuh cinta padamu, Kian. Aku jatuh cinta, dan kini aku jatuh ke jurangmu yang paling dalam."
Bibi Rona mendekati Manda tanpa suara, ia membantu Manda duduk di kursi yang dibetulkannya. Bibi menatap majikan wanitanya ini sungguh malang, ia mengambil salep luka untuknya.
Manda menyudahi makan malamnya yang pahit. Ia naik ke kamarnya, ia terduduk di balik pintu kamar. Menangis tanpa suara seraya bertanya pada Tuhan, namun ia merasa Tuhan tak pernah menjawab do'anya.
"Manda, puteri papa yang manis. Manda harus jadi wanita tangguh dan tak mudah menyerah, harus tetap tersenyum dan raih kebahagiaan dengan kedua tanganmu."
Ia teringat ucapan papanya semasa kecil itu. Tak banyak membantu masalah rumah tangganya tapi sedikit membuatnya semangat.
"Jika tak ada yang memberiku kebahagiaan, akan kucari bahagiaku sendiri."
Manda mengusap air matanya, bangkit dari duduknya dan mendekati meja rias. Ia mengoleskan salep luka di ujung bibirnya dan tesenyum.
-
Alenia mengunci pintu utama Anugerah, Lia teman kerjanya pamit lebih dulu karena sudah dijemput kekasihnya. Pesan Lia terngiang di benak Alenia sepanjang jalan pulang. Ia paham betapa Lia sebagai teman yang peduli padanya, menyarankan agar bicara tegas pada Davis soal masa depan mereka.
"Dia itu kepala rumah tangga, tulang punggung mengapa menyandarkan hidupnya pada tulang rusuk? Gajimu tak seberapa, tapi kau membayar segalanya! Kesal aku sama pria model Davis! Kalian belum punya anak, coba kalau punya dua atau tiga, mau dikasih makan apa anak-anakmu, Al!"
Perjalanan pulangnya menjadi semakin buruk saat bus yang ia tumpangi biasanya tak kunjung datang. Arlojinya sudah menunjuk angka sembilan lebih dua puluh menit, tetapi bus tak kunjung datang.
Ia menunggu di halte bus, berharap ada bus lewat mengantarnya pulang. Duduk sendirian dan termangu memikirkan gambaran masa depan yang Lia berikan. Hidup di tahun maju seperti ini tak hanya cukup mengandalkan cinta.
"Hey, manis! Duduk sendirian saja di sini?" tanya seorang pria asing menyapa Alenia.
Alenia acuh. Ia tak mau dan tak ingin diganggu oleh siapapun termasuk pria asing berkumis tebal dan gondrong.
"Loh, kok diem saja? Ngomong donk? Apa sakit gigi? Sini biar Abang sembuhin," kata pria asing itu mencolek dagu Alenia. "Wuihh, mulus amat, Cantik?"
"Jangan kurang ajar!" Alenia tak diam saka melihat sikap kurang ajar pria gondrong di sebelahnya.
Ia menghindar. Namun pria itu pun mengikutinya, seolah ada magnet berlawanan. Alenia menghindar, sialnya ia akan jatuh jika terus menepi.
Alenia berdiri, ia marah pada situasi ini, mengapa tak ada satupun bus yang datang segera membawanya pulang. Do'anya terjawab sebelum pria gondrong di belakangnya melancarkan aksinya. Dari kejauhan ia melihat bus datang, ia segera naik. Nasib buruk tak berhenti di situ, pria gondrong yang sudah tertarik pada Alenia ikut naik. Hanya ada lima penumpang di bagian depan saat Alenia naik.
Alenia memilih tempat duduk di belakang, hampir saja ia duduk tapi tangan si Gondrong merengkuh lengan Alenia. Tentu saja Alenia berontak, ia tak suka ada pria lain menyentuhnya.
"Jangan jual mahal lah kau, sini sama Abang saja." Pria gondrong itu memojokkan Alenia di bangku kosong bagian belakang bus.
"Lepaskan!" teriak Alenia.
"Tidak, Cantik!"
Pria gondrong itu memajukan wajahnya, ditahan oleh lengan Alenia. Tangan kekar pria gondrong itu menarik lengan Alenia hingga ia hampir mencium pipinya. Alenia menendang selangkangan pria gondrong, ia kesakitan dan merobek kemeja Alenia, mencengkeramnya tak ingin wanita incarannya lolos begitu saja.
Alenia meminta tolong. Baru saja ada yang ingin menolongnya pria gondrong mengayunkan pisau lipat di leher Alenia. Penumpang lain yang ingin menolong Alenia pun duduk kembali takut dilukai. Bus berjalan melambat, si Gondrong berteriak jika jangan ada yang turun. Alenia tak kurang akal, ia menginjak keras kaki si Gondrong dan mundur di pintu bus.
"Ke marilah, Sayang. Kamu nanti jatuh, ayo sini, datang pada Abang!"
Alenia sudah gila jika ia mau menuruti keinginan pria setengah sinting itu. Bus yang berjalan tentu saja cepat, jika ia melompat dipastikan akan terluka. Tapi, ia tak peduli.
Ia melompat dari bus begitu saja, ia berguling di jalanan aspal malam hari dengan tubuh terluka. Klakson mobil menulikan telinganya, matanya menatap sorot lampu mobil yang berhenti mendadak sebelum ketidaksadaran merenggutnya.