Siapa Kamu?

Lampu hias berwarna-warni menggantung di langit-langit. Di sana terlihat gadis yang sedang menikmati kebersamaan dengan teman-temannya. 

"Diana mau ikut aku?" tanya pemuda yang hendak meraih tangan Diana. Diana segera menyingkirkan tangannya. Pemuda itu merasa malu. 

"Ke mana Han? Jam 9 aku harus pulang," jawab Diana sedikit malas. 

"Sekali-kali ikut lah. Pulang larut malam dikit nggak papa lah," ujar pemuda itu sambil menggerakkan kedua jaringan, menyuruh teman-temannya pergi. 

"Aku ke toilet dulu," pamit seorang gadis.

"Aku ikut," ujar salah satunya. Mereka semua beranjak meninggalkan Diana dan pemuda itu bersama.

"Aku tahu itu semua modus 'kan?" Diana yang tidak suka cara bertindak pemuda itu. Diana segera berdiri. Laki-laki itu meraih tangan Diana.

"Sudah sejak lama aku mencintaimu. Kamu jutek terus. Kita pacaran ya."

"Jangan percaya sama si kucing garong," sahut pemuda yang duduk di belakang Diana. Diana menoleh, mengamati pemuda yang seakan tidak asing bagi Diana.

"Siapa kamu?!" seru pemuda yang baru saja menyatakan perasaannya kepada Diana kesal. 

"Aku Gibran. Gibran. Kurang jelas, G I B R A N." Pemuda bernama Gibran itu memancing emosi.

"Rehan. Hiraukan dia." Diana, menahan lengan Rehan yang hendak maju menantang Gibran. Rehan menatap Diana. 

"Kita pergi dari sini." Diana menarik tangan Rehan. "Dasar rempong," kata itu keluar dari mulut Diana untuk Gibran. Gibran tersenyum dan minum.

Rehan sangat senang ketika Diana menggandeng tangannya. Menatap Diana dari belakang dan penuh makna. Dia melangkah dan berjalan di samping Diana, kemudian merangkul bahu Diana. Diana terkejut, langkahnya melambat dan matanya memandang Rehan.

"Jangan seperti ini aku tidak suka. Kamu menyentuhku."

"Kamu itu selalu! Apa-apa tidak suka! Aku sentuh dikit kamu marah!" Rehan berkata dengan suara meninggi. 

'Aku dalam bahaya,' batin Diana yang kemudian menginjak kaki Rehan dengan sekuat tenaga. Diana lari.

Melihat pemuda yang hendak naik ke motor yang lalu memakai helm, Diana dengan cepat naik di boncengannya.

"Ayo cepat cepat cepat!" Diana menepuk bahu pemuda itu.

"Memang aku ojek." Ternyata dia Gibran.

"Please kali ini bantu aku." Diana memohon. Gibran tidak mengatakan apapun dan segera melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. 

"Woiii!" Diana yang merasa jantungnya akan copot. Terpaksa memeluk Gibran.

Ngikkk!

Gibran menghentikan motornya di atas jembatan.

"Kamu ini wanita murahan atau apa?" tanya Gibran membuat Diana murung. 

"Tidak usah berkata seperti itu jika tidak ingin menolongku!" Diana turun dari motor itu, dengan menahan tangis dia berjalan cepat. 

"Lah kamu tiba-tiba naik.

Ngeng! 

Gibran melajukan motornya tanpa memperdulikan nya. 

Diana teringat. "MURAHAN! MURAHAN!"

Kalimat itu ternyata menyimpan luka untuknya. Diana menangis sesak. Meringkuk kedua kaki dan merunduk menangus.

"Teganya ... ditinggal sendiri. Tidak punya hati. Padahal aku percaya dia adalah orang yang baik. Mana juga ini orangnya Mas Alfito. Heh ... jadi ingin nangis kan! Malah bicara sendiri pula," gumam Diana. Sambil sesenggukan ia lalu berdiri sambil menghapus air matanya.

Diana memutuskan untuk menikmati pemandangan sejenak di jembatan itu. Dia menghubungi Alfito. Namun panggilannya tidak terjawab. 

"Kamu tidak bisa lari dariku Diana?! Sudah sejak lama aku menginginkan kamu." Tiba-tiba Rehan hadir, dia datang bersama empat orang. Diana terkepung. 

'Ya Allah tidak menduga. Kenapa di saat aku terkena masalahku sendiri aku tidak dapat petunjuk. Tapi kalau orang terdekat pasti sudah ada isyarat buruk yang muncul dibenakku. Bagaimana cara mengecoh mereka. Orangnya Mas Al juga kemana lagi?!'

"Sini Diana. Kamu sudah tersudut, jadi ... kamu tidak bisa lari dari ku," ujar Rehan yang mendekat dan yang lain tertawa.

"Pokok gantian ya Bos, ini nanti!" seru salah satunya dengan wajah mesumnya.

Dengan cepat Diana menendang barang kepunyaan Rehan. 

"Aaa!!!" Rehan sangat kesakitan. Kedua pemuda menolong Rehan.

"Tolong ...." teriak Diana untuk pengendara lain. Salah satunya segera menutup mulut Diana. 

Jek!

Diana menginjak kaki laki-laki yang menutup mulutnya.

"Ohhh!"

Diana segera berlari, kedua laki-laki sedang mengejarnya.

Ngikkk! 

Brokkk!

Gibran datang melempar helm ke salah satu pemuda yang mengejar Diana. Gibran turun dari motor garley, tersenyum kepada Diana menunjukkan ketampanannya.

Diana melihat mobil berhenti. "Kemana saja sekalian?! Aku laporin nanti."

"Salah siapa; ganti nomer nggak bilang. Kami kehilangan jejak kan."

"Sekarang bantu tuh!" Diana menunjuk Gibran yang sedang mengeluarkan beberapa jurus.

Bugh! 

Diana meihat Gibran yang sangat lihai berkelahi. Melihat gerakan Gibran yang cepat dan menyerang. Kedua Bodyguard Alfito menggantikan Gibran. Dengan gaya sok keren nya Gibran membersihkan telapak tangannya, sambil menaikkan alis. Diana merasa ilfil dengan pemuda itu. Gadis cantik ini membuang wajahnya ke arah kiri kemudian menggerakkan bibirnya, pertanda tidak suka.

"Cie ... bilang saja terpesona." Gibran mengatakan itu sambil mengambil helmnya.

"Hehe ...." Diana menaikkan bahunya.

"Jangan hehe ... nanti kamu suka beneran sama aku kan repot. Ganti nih." Gibran menunjukkan helmnya yang retak.

"Iya, iya besok jangan sekarang." Diana terlihat malas dan tidak berani menatap pemuda itu.

"Gantinya aku mengantarmu pulang dan minta nomer WhatsApp mu, bukan membelikan helm baru untukku." Gibran berbicara dengan sangat mudah. Diana yang mendengar itu hanya nyengir heran.

Ngeng!

Bhemmm!

"Cepat naik!" Gibran sudah mengegas-ngegas motornya.

"Kamu modus 'kan, agar tahu alamat rumahku?" tanya Diana yang baru itu menatap mata Gibran.

"Kok tahu sih, kok pinter banget sih. Ya jelas lah ...." Gibran menjawabnya dengan penuh semangat. Diana merasa semakin aneh dengan pemuda yang berada di depannya itu.

"Kenapa ingin tahu rumahku?" tanya Diana sambil melipat kedua tanganya di depan perut.

"Agar mudah melamarmu!" jawab Gibran refleks membuat Diana menatapnya. Diana ternganga.

"Hahaha. Bercanda, naik gih!" pinta Gibran. Diana terpaksa karena Gibran sudah menolongnya.

"Pak Supri aku sama dia!" teriak Diana ke salah satu Bodyguard. Diana naik, dia merasa canggung. "Kamu sebenarnya siapa sih?"

"Aku Gibran. G I B R A N." Gibran memberikan helm lain. "Nih, pakai. Kamu adalah amanah, jadi aku harus membawamu pulang dengan selamat." 

Diana merasa aneh dengan semua perkataan Gibran yang ceplas-ceplos. Diana memakai helm. Diana tersenyum dan Gibran melihat itu dari spion. "Cie ... tersenyum, aku manis ya?" goda Gibran. 

Cuit!

"Au ... tlaktir!" protes Gibran setelah dicubit tangannya oleh Diana.

"Baik. Aku akan mentlaktirmu epuasnya. Tapi antar aku pas jam 9." 

Ngenggg! 

Diana hampir terjungkal ketika Gibran menarik gas motornya melaju. Dia refleks menarik baju Gibran sampai kancing bajunya terlepas. 

"Kamu mau membunuhku?!" teriak Diana.

"Kamu mau memperkaosku?!" tanya balik Gibran. Diana terlihat sangat kesal. "Pegangan yang erat agar tidak terjungkal lagi!"

"Lebih baik aku berpegangan di besi belakang, daripada pegangan sama kamu." 

"Oke ...!" Gibran dengan jahilnya menarik gas motornya melaju secelat kilat.Di situ mau tidak mau dengan rasa canggung Diana akan memeluknya namun tidak jadi. 

"Aku tidak mau dibilang murahan lagi!" ujar Diana. Gibran melajukan motor dengan kecepatan sedang. 

"Maafkan aku. Jadi dinner kan?" pertanyaan Gibran membuat Diana melotot.