"Bas, aku pingin makan sate kambing, beliin yah," ucap Gisel kepada Bastian di kantornya.
Gisel bilang, jika ia bosan sendirian di rumah. Nayara juga masih di luar negeri, dan akhirnya Bastian mengajak Gisel untuk ke kantornya.
"Aku pesenin ya?" Tanya Bastian.
"Iya, buruan ya Bas kaya biasa," jawab Gisel lalu pergi ke dekat jendela. Gisel melihat banyak orang berlalu lalang. Ada satu hal yang menyita perhatiannya.
"Bas, lihat deh keluarga itu kelihatannya serasi banget yah?"
"Mana?" Bastian mendekat ke arah Gisel dan memeluk Gisel dari belakang. Bastian meletakan dagunya di bahu Gisel.
"Itu, yang bawa kereta bayi. Aku harap nanti aku bisa jadi Mama yang baik," kata Gisel sambil mengusap perutnya.
"Kamu pasti jadi mama yang baik, kan semua itu perlu di pelajari."
Gisel menghadap Bastian dan menatap mata Bastian lekat. Bastian melirik bibir Gisel sekilas, lalu mendekatkan bibirnya perlahan.
"Permisi pak… maaf pak," seorang karyawan yang ditugaskan membeli sate kambing untuk Gisel tiba-tiba saja masuk dan membuka pintu ruangan Bastian.
"I-ini sate pesanan bapak," kata karyawan itu sambil menunduk.
"Taruh saja di atas meja saya. Setelah itu kamu keluar ya," ucap Bastian.
"Baik pak, permisi."
Karyawan itu akhirnya pergi dari ruangan Bastian. Bastian menyenderkan kepalanya di pundak Gisel dan menarik napas.
"Males banget ah, padahal dikit lagi aku bisa cium kamu."
"Emang sekarang nggak bisa?"
"Udah hilang vibes nya. Tahu ah kesel banget!" Bastian masih menunduk.
"Yang hamil itu aku atau kamu sih? Kok malah jadi kamu yang moodyan?" Tanya Gisel sambil terkekeh.
"Kamu juga sering moodyan kok. Ayo makan satenya dulu," kata Bastian lalu menggandeng tangan Gisel menuju sofa.
"Apa yang kamu rasain selama hamil, Sayang?" Tanya Bastian sambil menyuapi Gisel.
"Aku ngerasa takut kadang-kadang. Kaya mau ke kamar mandi selalu mikir gimana nanti kalau aku jatuh? Terus pas keluar aku selalu pake hoodie atau baju oversize supaya aku bisa jagain bayi kita."
"Terus juga aku nggak suka kalau ada orang lain yang ngelus perut aku kecuali kamu."
"Pingin ke suatu tempat nggak?" Tanya Bastian dan Gisel menggeleng.
Drrt…Drrt…Drrt…
"Nayara nelphone nih," kata Bastian lalu mengarahkan kamera handphonenya ke wajahnya dan Gisel.
"Nayara." Panggil Gisel.
"Gimana kabar Lo di sana? Asik nggak?" Tanya Gisel lagi.
"Hai, Gisel."
"Loh, Wiiliam? Nayara mana? Kok kamu nelphone pake handphone Nayara?"
"Tuh dia," William mengarahkan kamera handphonenya ke wajah Nayara yang masih tertidur.
"Astaga udah siang masih aja molor. Bangun kek! Nayara bangun!" Teriak Gisel.
"Ngghhh…." Merasa tidurnya terganggu, Nayara perlahan membuka matanya.
"Sayang, Gisel nelphone," ucap William lalu mencium kening Nayara.
"Will aku naked," kata Nayara sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Kayanya Lo mau pamer ke kita kalau kalian udah beneran jadi suami istri deh. Lanjutin deh kegiatan Lo di sana. Gue udahin ya panggilannya," kata Bastian lalu memutus sambungan telphonenya.
"Sayang, ayo bangun. Nanti kita nggak bisa jalan-jalan," William menggoyangkan tubuh Nayara sambil mengecup bahu wanita itu berkali-kali.
"Will, lima menit lagi."
"Nggak! Bangun sekarang!"
"Sayang ayo bangun! Aku gendong kamu ya!"
Tanpa persetujuan Nayara, William langsung menggendong istrinya itu ke kamar mandi. Tubuh Nayara masih terbalut selimut.
"Will, dingin," kata Nayara lalu memeluk leher William saat badannya menyentuh air di bathup.
"Mandi dulu kita, nanti aku ajak kamu ke suatu tempat yang cantik."
"Sshhhh….Dingin William. Pake air hangat aja," kata Nayara.
"Nggak bisa, kalau pake air hangat kamu ngantuk lagi. Tahan ya sebentar," ucap William.
Nayara dan William sudah selesai bersiap-siap dan akan menuju ke tempat yang William bilang.
"Nayara bakal hamil kapan ya?" Tanya Gisel.
"Kenapa nanya kaya gitu coba?" Tanya Bastian.
"Ya kan biar bisa kaya bestie-bestie lain yang hamilnya barengan. Kita bisa ke mommy spa berdua, belanja kebutuhan bayi juga."
"Sabar dulu lah, baru juga masuk."
"Huwekk…"
"Bastian kamar mandi dimana? Huwek…"
Tiba-tiba Gisel merasakan mual yang sangat buruk.
"Di sana, ayo aku bantu."
Bastian membantu Gisel memutahkan seluruh isi perutnya di wastafel. Mungkin ini efek hamil.
"Bas, kepala aku pusing," ucap Gisel. Bastian memeluk erat tubuh Gisel, dan gadis itu tengah menangis di pelukan Bastian.
"Cup cup cup, maaf ya," kata Bastian sambil membelai rambut Gisel.
"Bastian….Hiks…"
"Kita pulang aja ya?"
Bastian lalu membawa Gisel ke mobilnya dan mengajak Gisel untuk pulang ke rumah mereka. Bastian membaringkan tubuh Gisel di atas kasurnya dan memijit kaki Gisel.
"Masih sakit kepalanya?" Tanya Bastian dan diangguki oleh Gisel.
"Kamu tidur ya sekarang, aku temenin," Bastian kemudian naik ke atas kasurnya dan memeluk Gisel. Perlahan Gisel mulai ngantuk dan tertidur.
Bastian perlahan meneteskan air matanya. Dia melihat sendiri bagaimana Gisel menangis menahan sakit di sekujur tubuhnya. Dirinya tak henti mengucapkan maaf dan mengelus kepala Gisel.
"Bastian, kok tumben nggak di kantor? Gisel mana?" Tanya Renata yang sedang memasak.
"Bastian pulang lebih awal Bun," jawab Bastian lalu duduk di meja makan sambil meminum air.
"Gisel mana?"
"Lagi tidur di kamar," jawab Bastian.
"Kenapa kamu? Habis berantem ya sama Gisel?"
"Nggak Bun, Bastian cuma ngerasa bersalah sama Gisel karena udah bikin dia hamil."
"Kenapa gitu? Kamu nyesel nikah sama Gisel?!"
"Nggak Bunda, nggak gitu. Bastian setiap hari ngelihat Gisel nangis nahan rasa sakitnya. Bastian pingin supaya Bastian aja yang ngerasain semua rasa sakit Gisel."
"Harusnya sih gitu yah, tapi apa boleh buat? Yang bisa hamil itu Gisel. Nanti jangan lupa temenin Gisel check kandungan ya Bastian."
"Kamu nggak cukup kalau cuma merasa bersalah, kamu harus rawat Gisel dan bayi kamu. Itu satu-satunya cara kamu untuk bisa bermanfaat bagi Gisel untuk saat ini."
"Bun, Bunda kan ditinggal papa sebelum hamil aku. Terus aku anak siapa dong?" Tanya Bastian tiba-tiba.
"Kamu anak Bunda sama Papa lah! Setelah dua minggu Papa ninggalin kamu, Bunda hamil. Itu anak Papa beneran. Mau tes lagi?"
"Nggak hehe."
"Sempet telephone Nayara nggak?"
"Tadi di kantor dia sempet vc. Tapi William yang nelphone, Nayara masih tidur. Mereka keliahatan baik-baik aja kok."
"Kamu sama Gisel nggak ada niatan ke luar negeri gitu buat honeymoon? Ajak Gisel bepergian gitu."
"Gisel nggak mau Bun, katanya dia takut nanti terjadi sesuatu sama bayi kita."
"Bastian…" panggil Gisel lirih dengan wajah bangun tidurnya.
"Loh, Sayang kok udah bangun?" Tanya Bastian lalu menghampiri Gisel dan mengajak untuk duduk di meja makan.
"Nggak nyenyak kalau nggak ada kamu di samping." Gisel menelusupkan kepalanya di celuk leher Bastian.
"Mualnya makin parah ya, Sayang?" Tanya Renata.
"Iya Bunda, dari tadi pagi setiap habis makan selalu muntah terus pusing. Bunda juga gitu nggak waktu hamil Bastian?"
"Nggak, tapi kan semua orang beda-beda pas lagi ngidam. Emang gitu kamu nggak usah khawatir ya Gisel."
"Kalian mau nggak liburan ke London? Sekalian supaya Gisel nggak suntuk di rumah terus." Tanya Renata.
"Nggak deh Bun, Gisel takut nanti terjadi sesuatu di sana sama kandungan Gisel." Gisel mengelus perutnya yang sudah mulai membesar.
"Nanti Bunda nyuruh dokter kandungan kenalan Bunda untuk ikut bareng kalian yah. Dia yang bakal ngurus semua keperluan kamu dan akan ngerawat kamu kalau seandainya terjadi sesuatu."
"Bener kata Bunda Sayang. Kita harus liburan supaya kamu nggak stress. Kasihan nanti bayinya sedih kalau ngelihat Mamanya stress," kata Bastian sambil mengelus rambut Gisel.
"Tapi…"
"Nggak usah khawatir Gisel, Bunda nggak bakal ngizinin kalian liburan kalau itu ngebahayain kalian berdua. Besok pagi kalian berangkat yah."
"Mendadak banget Bun," kata Bastian.
"Sebenernya, udah dari seminggu yang lalu Bunda beli tiket itu buat kalian. Maunya buat hadiah atas kehamilan Gisel. Tapi kalau dilihat-lihat Gisel takut kemana-mana."
"Makasih ya Bunda."
"Iya sama-sama. Gisel mau makan apa? Biar Bunda bisa pesenin atau buatin."
"Gisel nggak mau makan Bunda, nanti malem aja."
"Ya udah kalau gitu Bunda mau lanjut masak aja."
"Bunda masak apa? Biar Gisel bantu," Gisel berdiri dan menghampiri Ibu mertuanya.
"Masak opor, soalnya ada ayam banyak banget di kulkas. Gisel bisa kupas bawang kan?"
"Iya bisa Bun, berapa buah?"
"Lima aja cukup, bawang putih tujuh siung, cabai sepuluh biji, sama kemiri tiga."
"Sayang, kalau gitu aku mau mandi dulu ya." Bastian mengecup kening Gisel sebelum meninggalkan istrinya.
"Nggak nyangka Bunda kalau kamu bakalan sampe sejauh ini hubungannya sama Bastian. Bunda beruntung kamu yang jadi menantu Bunda sekarang."
"Iya Bun."
"Fokus banget ngupas bawangnya, hati-hati loh nanti matanya bisa perih kalau di pelototin kaya gitu. Santai aja nak," kata Renata sambil sedikit terkekeh.
"Permisi." Sherina dan Adele sudah ada di hadapan Renata saat ini.
"Ehh Rina sama Adele." Renata menyambut Sherina dan Adele yang berkunjung ke rumahnya.
"Halo Gisel," sapa Sherina.
"Halo Tante."
"Tumben Lo kesini? Ada apa?"
"Gue mau jenguk calon mama lah. Gimana keadaan kandungannya?" Tanya Sherina.
"Sehat Tante."
"Jangan di elus ya," bisik Renata.
"Lagi masak ya?" Tanya Adele.
"Iya Tante, Tante mau minu apa? Biar Gisel buatin dulu."
"Nggak usah, Tante udah minum tadi. Susah ya Gisel?" Tanya Adele lagi.
"Ha?"
"Susah ya hamilnya? Semangat yah, kamu pasti bisa! Jangan ragu buat minta tolong ke keluarga tante kalau kamu ada masalah ya Sayang."
"Makasih tante," kata Gisel sambil tersenyum.
"Bastian mana, Re?" Tanya Sherina.
"Lagi mandi tadi dia. Gue denger perusahaan Nicholas udah go internasional yah? Nyusul perusahaan Lo."
"Iya puji tuhan, Nicholas emang akhir-akhir ini selalu sibuk di kantor. Kadang seminggu pun nggak pulang."
"Terus istrinya gimana?"
"Gue juga nggak ngerti sama hubungan mereka. Mereka bilang baik-baik aja tapi kenyataannya nggak kaya gitu."
"Bun, tante ini opornya di coba dulu. Tante Adele yang bantuin Gisel buat."
"Loh maaf ngerepotin ya Adele. Kok Gue bisa nggak nyadar sih kalau Adele nggak ikut ngobrol di sini."
"Iya gapapa, aku dari tadi ngelihat Gisel kesusahan soalnya jadi aku bantu. Maaf ya kalau rasanya nggak mirip sama buatan kamu," kata Adele lalu bergabung di meja makan.
"Mmhh… ini udah enak kok. Kamu pinter masak ternyata," kata Sherina.
"Bener, ini lebih enak dari pada buatan aku. Maaf ya ngerepotin kamu," kata Renata.
"Sore Tante," sapa Bastian yang baru saja selesai mandi.
"Sore Bas."
"Wah ini Bunda yang masak?"
"Bukan, Tante Adele. Bunda tadi sibuk di ajak ngobrol sama Tante Sherina."
"Gisel sih yang berkontribusi paling banyak di makanannya," kata Adele.
"Oh ya? Wah, kelihatannya enak nih. Bastian cobain ya," Bastian lalu memakan opor buatan Gisel dan Adele.
"Mmhh… enak banget ini. Wah harus masak lagi sih kamu."
"Nenek oh nenek, dimana engkau nenek?" Teriak Tania saat memasuki rumah Renata.
"Nenek di sini sayang!"
"Nenek!!!!!!"
"Hai, cantik. Dari mana ini kok pada pake gaun?" Tanya Renata lalu menggendong cucunya.
"Habis ke ulang tahun temen Nek. Kok Oma ada di sini? Tante Naya mana, Oma?" Tanya Sania.
"Tante Naya lagi jalan-jalan ke luar negeri sama Om William. Sapa dulu Tante Gisel."
"Bunda kalian mana?"
"Lagi di luar ngobrol sama ibu-ibu."
"Bunda." Sapa Freya saat baru saja masuk ke dalam rumahnya.
"Nah ini dia ibu-ibunya."
"Heh! Siapa yang kalian panggil ibu-ibu? Mau Bunda hukum kalian?"
"Kalau Bunda mau hukum kita hukum aja. Tapi yang enak ya kaya yang Papa bilang," ucap Tania dengan wajah polosnya.
"Astaga! Freya apa yang udah kamu ajarin sama anak-anak kamu?" Tanya Renata.
"Kayanya ini ulah Nathan deh Re." Sherina menerka-nerka.
"Bunda Nathan bawain oleh-oleh buat Bunda. Akkhhh! Ma! Mama apa-apaan sih? Baru dateng langsung di jewer." Nathan mengusap telinganya yang panas akibat jeweran Sherina.
"Apa yang udah kamu ajarin sama anak-anak kamu Nathan?! Jangan seenaknya ngomong!"
"Apaan sih Ma? Nathan emang ngomong apa sih?" Nathan memasang ekspresi membingungkan.
"Apa yang di maksud hukuman enak sama anak-anak kamu?"
"Oh itu, itu loh Ma masak Mama nggak ngerti sih?" Nathan menaik turunkan alisnya.
"Ihh kamu tuh ya!" Sherina memukul lengan Nathan secara brutal.
"Ampun Ma, ampun."
"Udah dewasa tapi tingkah kaya anak kecil! Mama nggak mau tahu ya, balikin kepolosan cucu Mama!"
"Wah, Sherina marahnya serem yah?" Kata Adele yang terkesima melihat Sherina.
"Mmhh ayamnya enak!" Kata Sania saat memakan opor buatan Gisel.
"Makan yang banyak yah," kata Gisel lalu mengelus rambut Sania dan Tania.
****
"Gimana? Seneng nggak selama seminggu di Paris?" Tanya William yang sedang menemani Nayara ke salon.
"Seneng lah, makasih ya Will."
"Masih juga manggilnya pake nama." William menghela napasnya lalu memutuskan untuk menunggu di mobil. Nayara sudah selesai mengurus rambutnya.
"Hei, Will? Kenapa ngambek? Biasanya juga manggil pake nama kan?" Nayara langsung masuk ke mobilnya.
"Tapi aku juga pingin di panggil pake panggilan istimewa kaya yang lain. Kamu masih aja manggil pake sebutan nama." William menyuruh supir nya untuk melajukan mobilnya.
"Terus mau dipanggil apa? Jangan kaya gitu dong, Will aku jadi ngerasa bersalah." Nayara terus menggoyang-goyangkan badan William. William masih setia menoleh ke arah jendela, melihat pemandangan.
"Iya deh iya manggilnya sayang. Sayang jangan marah ya?" William menahan senyumnya.
"Sayang, lihat aku dong. Sayang…"
"Iya iya aku noleh, kenapa?" William menoleh ke arah Nayara dengan senyum bahagianya.
"Seneng? Jangan ngambek lagi yah." Nayara mengecup kening William.
"Kamu tuh! Aku nggak ngambek ya!"
"Terus tadi langsung lari ke mobil itu bukan ngambek? Kaya anak kecil aja kamu!"
"Biarin!"
Nayara dan William saling diam sambil menggenggam tangan satu sama lain. William menyenderkan kepalanya di bahu Nayara.
"Besok kita harus udah balik ke Indonesia karena urusan bisnis aku."
"Iya gapapa, lain kali kita bisa kesini lagi sama anak-anak."
"Nggak maul ah, kan harus berdua doang." William mengangkat kepalanya dan menatap Nayara.
"Anak-anak kita maksudnya William. Denger dulu makanya," kata Nayara sambil menangkup wajah William.
"Ihh kamu mah bisa aja!" William menggeliat di sebelah Nayara sambil menutup wajahnya yang memerah.
"Grey, kamu jangan ketawa ya!" Teriak William kepada Grey, supir pribadi William sekaligus teman baru William.
"Maaf Tuan, hanya saja kalian begitu lucu bagi saya," kata Grey sambil mengulum senyumnya.
"Tuan, setelah ini saya ingin meminta izin untuk membeli aksesoris menara eifel untuk keluarga saya."
"Silahkan, kalau perlu Gue yang bayarin."
"Terimakasih Tuan."
"Kita berangkat sekarang!"
Rencana awal yang harusnya mereka baru akan kembali ke Indonesia harus di ubah. Mendadak kondisi Nayara memburuk dan mengharuskan William untuk membawa Nayara kembali ke Indonesia.
"Tolong check kondisi istri saya." Kata William kepada Dokter.
Beberapa lama kemudian, Dokter keluar dan mengajak William ke ruangannya.
"Tidak ada yang perlu di khawatirkan dengan kondisi Nona Nayara. Kabar baik untuk Tuan William," dokter itu menatap William yang terlihat panik.
"Selamat, karena Anda akan menjadi calon Ayah."
"Dokter, Dokter bercanda?" Dokter itu menggeleng.
"Tentu tidak tuan, saya permisi dulu."
Senyuman merekah di wajah William.
"Grey!!!" William langsung melompat ke pelukan Grey.
"Ada apa Tuan?" Grey menahan tubuh William yang memeluk William seperti koala.
"Gue bakal jadi ayah Grey! Nayara hamil!" William berteriak di gendongan Grey. Banyak pasang mata yang menatap mereka.
"Maaf Grey," William turun dari gendongan Grey.
"Tuan akan jadi seorang Ayah? Selamat Tuan." Grey memeluk tuannya dan tersenyum untuk William.
"William! Ada apa dengan Nayara?" Tanya Thomas yang kebetulan mengadakan meeting di dekat sana.
"Nayara hamil Pa," kata William dengan air mata yang membasahi pelupuk matanya.
"William, kamu jangan bercanda! Papa lagi nggak mood bercanda sekarang!" Thomas melepas pelukan William.
"Ngapain William bercanda Pa? Mama mana? Mama harus tahu tentang ini!"
"Tuan, kata suster Nona Nayara sudah sadar," ucap Grey mendekat ke arah William dan Thomas.
Dengan segera William masuk ke ruangan Nayara dan memeluk Nayara.
"Sayang, are you okay?" Tanya William sambil mengelus rambut Nayara.
"Hmm."
"Aku kenapa Will?" Tanya Nayara.
"Kamu hamil sayang."