Vega: Lo mau macam-macam ama gue?
Atlas: Mau sekarat atau langsung mati?
Batara: Gue tahu lo cowok, tapi jangan brengsek!
Draco: Pulang lewat mana lo?
Rigel: Mau masuk rumah sakit mana? UGD atau ICU?
Banyu: Lo siap untuk nggak balik lagi ke dunia?
Samudra: Amal lo udah sebanyak apa?
Seperti itulah seorang Damayanti Vega Rianto ditreatment untuk menjadi ratu pada circle Bimasena.
---
"Selamat pagi papaku sayang." Mendengar hal itu Irza hanya bisa memperbanyak sabarnya saat mendengar apa yang dikatakan oleh sang putri semata wayang.
"Sekali papa bilang tidak ya tidak, Vega!" Irza cukup peka atas apa yang menjadi keinginan dari Vega saat ini.
"Aku sudah 17 tahun, Pa." Tak peduli apa pun yang dikatakan oleh Vega, jawaban Irza tetaplah tidak.
"Mobil banyak di carport, Ga. Kenapa harus motor sih?" Rara datang dan tanpa pikir panjang dia langsung mengambil posisi di kubu sang suami.
Vega cukup yakin untuk hal ini sang mama akan berpihak pada lelaki yang sangat dia cintai itu.
"Atlas boleh kok punya motor masa aku nggak?" Vega adalah Vega gadis berusia 17 tahun dengan sifat keras kepala yang dia miliki.
"Ya beda dong, Ga. Setelah perbedaan kamu dan Eca, apa perlu juga mama menjelaskan tentang perbedaan kamu dana Atlas?"
"Eca?" ulang Irza dengan sebelah alisnya yang terangkat naik. Dia tak mengerti ke mana muara dari percakapan istri dan putri semata wayangnya.
"Anak ketua Oscar angkatan pertama masih kurang jelas, Pa?" Irza hanya bisa terpelongo tak percaya saat mendengar apa yang dikatakan oleh Rara. Wanita dengan segala keterbatasannya, tapi masih dicintai dengan teramat sangat oleh Irza.
"Eca kenapa lagi sih?" tanya Irza sambil memandang Vega dan juga Rara secara bergantian. Iya, salah satu dari mereka harus memberikan Irza penjelasan yang sangat jelas tentang ini semua.
Rara tidak menjawab apa yang dipertanyakan sang suami lewat sebuah kata-kata, tapi lewat isyarat yang mau tidak mau membawa kedua manik mata Irza menuju pada Vega saat ini.
Kini Irza dapat mengerti dengan baik apa yang saat ini sedang menjadi perdebatan ibu dan anak itu.
"Vega? Kamu masih suka ama Eca?" Atas pertanyaan yang dikatakan oleh sang papa Vega tidak tahu apakah dia harus menjawabnya dengan jujur atau justru mengambil jalan ninja. Tapi sayang pria yang sedang menatapnya saat ini adalah pria yang tidak mudah untuk dikibuli.
"Kalau kamu masih suka ama Eca papa ada tiga jalan yang mungkin bisa untuk kamu coba." Vega tak bisa menyembunyikan binar bahagia dari kedua manik matanya saat mendengar apa yang dikatakan oleh sang papa.
"Apa, Pa?" tanya Vega dengan sangat antusiasnya.
"Yang pertama, kamu ikut ke agama yang Eca anut. Tapi papa dan mama tidak akan mungkin menyetujui hal itu." Untuk menelan salivanya Vega sudah tampak kesulitan kala mendengar apa yang dikatakan oleh sang papa. Tapi untuk saran yang pertama juga Vega akan menolaknya dengan sangat tegas.
"Yang kedua, kamu bawa Eca ke dalam agama yang kamu anut," jelas Irza dengan nada yang penuh penekanan di setiap katanya.
"Tapi tidak mungkin, Pa. Om Raka adalah seorang pendeta, dia mana mungkin mau melepaskan Eca untuk melakukan hal itu." Irza hanya menganggukkan kepalanya saat mendengar apa yang dikatakan oleh Vega. Iya, opsi yang kedua juga bisa digolongkan sebagai hal yang mustahil untuk dilakukan.
"Kalau yang ketiga?" tanya Vega pada sang papa dengan nada yang terdengar ragu-ragu. Tapi terlambat untuk mundur dia sudah terlanjur penasaran atas apa yang akan menjadi opsi ketiga dari sang papa.
"Akhiri sampai di sini."
DEG!
Lidah memang tidak bertulang, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Vega merasakan perihnya dikuliti secara hidup-hidup.
"Harus, Pa?" tanya Vega dengan nada yang tak kuasa menahan tangis. Saat ini air bening di kedua pelupuk matanya telah tergenang air mata, dan hanya butuh satu kedipan saja untuk itu luruh membasahi pipinya.
"Jodoh itu di tangan Tuhan, Pa. Kita nggak ada yang tahu akhirnya akan seperti apa, 'kan?" Dejavu itulah yang saat ini sedang Irza rasakan saat mendengar apa yang dikatakan oleh Vega. Kalimat yang 17 tahun yang lalu juga dikatakan Raka padanya saat Laskar meminta ketua Oscar Geng itu untuk jujur tentang perasaannya pada wanita yang saat ini menjadi istrinya.
"Iya, kamu memang benar jodoh itu di tangan Tuhan. Tapi yang menjadi pertanyaannya bagaimana kamu dan Eca bisa bersama kalau Tuhan kalian saja berbeda. Ingat Ga, kamu dan Eca itu memiliki Tuhan yang berbeda." Vega kembali tersentak atas apa yang dikatakan oleh sang papa. Vega tak punya pilihan kali ini, papanya telah mengepung dia dari segala arah sehingga yang bisa dia lakukan hanya mundur teratur.
"Cinta kalian terlarang, dan itu bukan karena orang sekeliling kalian yang menentangnya, tapi karena iman yang kalian miliki. Apakah kamu berani meninggalkan Tuhanmu demi Eca? Ataukah kamu berani mengambil Eca dari Tuhannya?"
"Kamu dan Eca seperti Mesjid Istiqlal dan juga Gereja Katedral. Ciptakan hanya untuk berhadapan bukannya bersisian lalu selaras dalam langkah. Lagian Atlas kurang apa sih? Apakah menjadi ratu di Bimasena masih kurang sehingga kamu juga menginginkan untuk menjadi ratu di Oscar?"
Atas tuduhan yang diberikan oleh sang papa, Vega dengan cepat menolaknya. Dia juga tak mau untuk memungkiri kalau selama ini Atlas dan Bimasena menjaga dan mentreatmentnya menjadi seorang ratu dengan cara yang sangat baik.