Masalah Erka

Malam itu, Arka dan Erka duduk di depan di sofa tepat di depan sang Ayah. Sebuah meja menjadi penghalang di antara mereka.

Hector, dia melipat tangan di depan dada sambil menilik wajah kedua anak kembarnya itu.

'Mereka sangat mirip,' batin Hector dalam hatinya.

"Siapa yang menyuruh Kezy untuk ke kampus?" tanya Hector dan terus mengintimidasi Arka dan Erka. Seolah ini adalah persidangan.

Hector sudah mendengar apa yang telah terjadi kepasa putri bungsunya itu. Dan kejadian itu sangat membuatnya marah luarbiasa. Untung tidak terjadi hal yang fatal. Jika itu terjadi, maka Hector pastikan lelaki yang berani menyentuh putrinya itu akan hidup di neraka dunia sebelum mendapatkan penyiksaan di neraka kematian.

Arka menghela nafas dan menjawab, "Aku Ayah, yang menyuruh Kezy ke kampus." Sementara Erka hanya diam dalam seribu bahasa. Ada sesuatu hal lain yang tengah dipikirkan lelaki itu.

"Begitu? Apa kau tahu kesalahanmu ini hampir membuat adikmu celaka?" Lagi Arka mengangguk dengan sendu. Ia benci kepada dirinya yang hampir membuat Kezy celaka.

"Aku tahu Ayah. Maafkan aku. Aku berjanji tidak akan melakukan itu lagi."

Pria paruh baya itu bangkit berdiri menghampiri Arka. Ia mengelus lembut kepala Arka. "Lain kali, jangan melakukan ini. Kamu bukan saja menyelakai adikmu. Juga membuat Ayah menjadi seorang pembunuh. Bagaimana jika emosi Ayah tidak terkontrol dan membunuh lelaki itu?"

Arka mendongak menatap Hector. "Maaf ... lain kali aku tidak akan melakukannya."

Hector tersenyum dan memeluk Arka. Juga tatapannya menatap Erka yang sedaritadi diam. Ia tak habis pikir dengan putranya yang satu ini.

"Erka," panggil Hector membuat Erka terbangun dari lamunannya.

"Ya, Ayah," jawab Erka dan kembali menatap ke depan dengan kosong.

"Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya Hector.

Erka mengangguk dengan sedikit senyum tipis. "Iya, Ayah," jawabnya dengan singkat.

Tiba-tiba Maria datang membuat ketiga pria tersebut memangdang ke arah wanita itu. Maria menyambut mereka dengan senyum.

"Dia sudah tertidur," ujar Maria, lalu duduk di samping Erka. Tangannya terulur mengelus rambut Erka. Sedang Erka, hanya tersenyum tipis membalas perlakuan baik sang Ibunda.

"Bagus. Besok dia tidak Ayah izinkan ke sekolah dulu. Takutnya itu akan membuat rasa traumanya kembali."

"Kalo kami berdua, Ayah?" Sebenarnya, jika ditelusuri lebuh lanjut, Arka itu sangat baik. Di balik sifat savagenya, ia juga bisa bersikap layaknya seorang bayi.

Arka belajar dari hari ini. Bahwa waktu sudah berlalu begitu lama. Ia menjadi sungkan untuk menangisi Kezy lagi. Entahlah, ia memiliki sesuatu di balik jeruji hatinya itu. Yang ia kunci dan tak akan bisa terbuka lagi.

"Kalian? Akan tetap ke kampus." Hector tersenyum meremehkan.

"Ayah ... aku malas ke kampus." Arka menghela nafas kasar.

"Dasar!" Dengan satu jitakan mampu membuat Arka meringis sakit.

"Ayah, kenapa di geplak sih kepala Arka?" Rengek Arka tak terima.

"Karena kamu, suka membantah." Bukan Hector yang menjawab melainkan Maria.

"Mamah! Malah ikut-ikutan. Menyebalkan!" gerutu Arka.

Erka tersenyum memperhatikan wajah kesal Arka. Entah kenapa, begitu lucu baginya jika kakaknya itu merasa kesal.

"Kau lucu sekali, Arka."

Semua membelalakan mata tak percaya dengan ucapan Erka. Mereka menatap Erka dengan horor membuat lelaki itu bergidik ngeri.

"Erka, lo sembuh." Arka merangkul Erka dengan spontan.

"Putraku akhirnya bisa tersenyum." Maria ikut menimpali.

"Erka, lupakanlah masa lalu menyeramkan itu. Jangan terus terpuruk di dalamnya. Kau bisa sayang." Hector menarik Erka dalam pelukannya. Memberi kehangatan lewat pelukan itu.

"Aku tahu Ayah." Hanya itu yang diucapkan oleh Erka.

Selepas pelukan hangat itu. Hector mulai berbicara soal pemilihan CEO di perusahaan. Terkadang ia heran, kedua putranya itu tak ada minat membicarakan perusahaan. Ia juga tidak ingin menekan, tapi apa dayanya. Ini semua sudah menjadi ketentuannya.

Salah satu dari mereka harus menjadi penerus perusahaan.

"Ayah, ingin membicarakan hal penting kepada kalian." Hector bangkit berdiri dan duduk di sofa yang berhadapan dengan Arka dan Erka.

Dua lelaki tampan itu terlihat menunggu sang Ayah kembali berbicara.

"Ini tentang perusahaan."

"Perusahaan? Aku tidak minat Ayah. Aku ingin menjadi seorang Astronout." Arka tak bisa basa-basi. Ia memang dari dulu tak ada niat untuk menjadi penerus perusahaan sang Ayah yang mencapai kesuksesannya itu

"Aku juga, Ayah. Aku masih harus merawat putraku. Aku ingin kembali ke Australia."

Hector tidak terkejut atas jawaban kedua putranya itu. Ia sudah tahu, tapi ia hanya ingin memastikan.

"Kalau bukan kalian yang meneruskan perusahaan Ayah, terus siapa?"

"Aku tidak mau Ayah. Aku menyukai langit. Jadi, aku ingin ke sana. Bosen tinggal di bumi mulu." Hector menggeleng kepala menanggapi ucapan konyol dari Arka.

"Ck, bertemanlah dengan Alien." Decak Hector kesal.

"Kamu juga Erka, kenapa kamu masih memikirkan anak itu. Dia sudah tinggal di panti asuhan. Dia akan baik di sana." Maria menatap lekat Erka. Yang ditatap justru memalingkan wajahnya.

"Dia pasti merindukan aku, Mah. Tolong mengertilah."

"Erka, bisakah jangan bicarakan anakmu itu. Ayah tidak suka." Semua menjadi diam kala melihat raut wajah tak mengenakan dari Hector.

"Kenapa Ayah? Apa salah anak itu? Aku Ayahnya dan akan selalu menjadi Ayahnya." Erka sedikit meninggikan intonasi suaranya. Ini yang membuatnya sangat marah dan selalu ia pendam. Kenapa orangtuanya memisahkannya dari putranya? Apa mereka tidak mengerti bagaimana perasaan seorang Ayah dijauhkan dari putranya? Mereka sangat egois.

Hector yang di tengah ambang batas emosinya mencoba menenangkan dirinya. Niat membicarakan perihal perusahaan malah mereka membicarakan hal ini. Karena ia tak ingin membicarakan ini lagi, Hector bangkit berdiri.

"Ayah tidak bisa mengandalkan kalian," ujarnya, lalu pergi begitu saja.

Arka menatap kepergian sang Ayah yang kemudian di susul oleh Erka yang pastinya saat ini diserang oleh amarahnya.

"Mah," panggil Arka.

"Ya, sayang."

"Aku akan memutuskannya besok." Arka pun berlalu pergi meninggalkan Maria. Wanita itu hanya menatap sendu tiga lelaki kesayangannya itu pergi.

•••___---

Tok tok tok

"Jangan ganggu aku, Arka."

Arka menghela nafas. Sudah berulangkali ia mencoba untuk masuk ke kamar Erka, tapi lelako itu tetap tidak mau membukakan pintu.

Arka mengerti perasaan Erka. Alasan mereka kembali ke Indonesia sebenarnya karena Erka. Lelaki itu harus menghadapi kehidupan buruk di Australia. Menceritakannya pun sangat sulot untuk Arka. Terlebih, putrnya Erka yang terpaksa ditinggalkan di panti asuhan di Australia.

Arka mengerti perasaan Erka. Ini adalah hal yang sangat sulit untuk ia jalani. Menjadi seorang Ayah di usia muda ini bukanlah hal yang mudah. Apalagi dirinya dijauhkan dari putranya.

Bayangkan betapa sakitnya itu.

"Gue ngerti perasaan lo, Erka. Buka pintunya. Gue ingin masuk."

"Mereka tidak peduli Arka. Aku juga seorang Ayah, tapi kenapa Ayah tidak mengerti perasaanku." Terdengar tangisan dari dalam sana.

Arka menghela nafas. Kenapa adiknya mendapat masalah sebesar ini? Kenapa tidak kepada dirinya saja? Mungkin, ia akan kuat karena ia seorang kakak. Arka tidak tega melihat kembarannya menangis seperti.

"Mereka hanya belum menerima keadaannya Arka. Mereka juga orangtua, tahu betapa sulitnya mengurus anak. Mereka tidak ingin kamu menjadi Ayah tunggal. Setiap orangtua ingin yang terbaik untuk anak-anaknya."

"Sama saja! Mereka tidak pernah mengerti. Putraku pasti sedang merindukanku saat ini. Ini berat Arka. Berat! Aku menyayangi putraku. Dan di sisi lain aku juga menyayangi mereka. Seharusnya mereka mengerti. Namun, mereka tidak pernah mengerti."

"Dengar Erka, kita akan melakukan ini bersama-sama. Dia putramu juga putraku. gue janji akan membawa kembali putramu. Percaya sama gue. Untuk itu, gue mohon buka pintunya. gue selalu menuruti keinginan lo. Jadi, turuti keinginan gue sekali ini saja. Buka pintunya."

Ceklek!

Pintu terbuka. Dengan cepat Arka menarik saudaranya itu ke dalam pelukannya.

"Jangan merasa sendiri Erka. Gue saudara lo. Percaya sama gue. Gue gak akan ninggalin lo."

"Gue sayang sama lo."

"Arka, aku juga sayang sama kamu. Jadi, jangan jadi Ayah bodoh sepertiku."

"Lo bukan Ayah yang bodoh. Lo Ayah yang baik."

Pelukan itu terlepas. Keduanya saling tatap menatap dan tersenyum. Seolah setengah beban dari Erka lepas begitu saja. Arka adalah kakak yang baik meski kentara lebih menyebalkan.