Marvel pergi?

Erka dan Kezy sekarang sedang dalam perjalanan sesuai dengan apa yang dijanjikan lelaki itu. Yaps! Tentunya untuk membeli toko ice krim. Namun, yang membuat Erka merasa gelisah adalah, dimana ia akan membeli toko ice krim keinginan adiknya itu?

Entahlah, apapun dan bagaimanapun caranya ia akan mewujudkan keinginan Kezy sesuai dengan janjinya.

"Kamu beli toko ice krim, yakin gak lagi ngidam, nih?" Erka membuka suara setelah begitu lamanya menghening.

"Ihkk, apaan sih?! Gue gak hamil, ya." Kezy menggelembungkan pipinya kesal. Enak saja dirinya dikatain hamil.

"Yah, terserahmu. Gue sih apa." Erka menaik-turunkan alisnya menggoda menatap Kezy.

Sedangkan Kezy, ia hanya mengangkat bahu dengan acuh.

•••

"Erka!" panggil Kezy sedikit berteriak. Gadis itu menggerutu dengan kesal ketika Erka meninggalkannya menuju sebuah toko ice krim.

Kezy segera berlari menghampiri Erka.

"Kenapa ninggalin gue, sih?" tanya Kezy kesal.

Erka menarik tali baju kodok gadis itu dan melepaskannya membuat Kezy meringis kesakitan.

"Apaan sih?!" Kezy mengelus dadanya.

"Beli toko ice krim," jawab Erka santai dan melangkahkan kakinya menuju toko ice krim yang berwarna serba pink.

Melihat itu, Kezy bergidik ngeri. Ini bukan toko ice krim kesukaannya. Kezy sangat membenci warna pink. Menurutnya, warna pink itu terlalu lebay dan hanya untuk orang-orang lebay.

Kezy menyukai warna biru dan toko ice krim kesukaannya juga berwarna biru. Dirinya begitu kesal melihat Erka sudah masuk ke dalam toko itu. Dirinya segera bergegas masuk ke dalam toko itu.

Sesampainya, Kezy menarik lengan baju Erka. Lelaki itu menatapnya. "Kenapa?" tanya Erka.

Kezy menggeleng. "Erka ...," panggilnya manja. Erka mengangguk.

"Gue gak suka toko ice krim ini," ujarnya pelan.

Erka mencoba menahan kesalnya. Apa sih yang diinginkan gadis ini? Ia sudah mengabulkan untuk membeli toko ice krim, tapi kenapa gadis itu malah memilih.

"Kamu maunya toko ice krim seperti apa?" tanya Erka berusaha lembut semaksimalkan mungkin.

"Gue gak suka warna tokonya." Kezy menggeleng dengan pipi menggelembung.

Erka tersenyum tipis melihat wajah imut Kezy. Bukannya bikin jelek, tapi gadis itu makin cantik saja. Tanpa sadar, Erka mencubit pipi Kezy yang sukses membuat Kezy mengerang sakit.

"Hei, sakit!"

"Hehe. Sorry, gue kelepasan." Erka menyengir tak berdosa.

Kezy tak menanggapi. Gadis itu sibuk mengelus pipinya yang begitu kenyal. Bahkan, Erka masih bisa merasakan kenyalnya pipi Kezy di tangannya.

"Yaudah. Kamu suka warna apa?"

"Biru."

Erka menghela nafas. Mencoba berpikir. Membeli toko ice krim bukan hal yang gampang. Ia harus membongkar kartu kreditnya.

Kezy yang melihat Erka melamun ikut menghela nafas sambil tertunduk. Tak lama ia kembali menatap Erka.

"Ya, Erka ... please ...."

Erka tersenyum, lalu mengangguk. "Oke, tapi lo harus jadi gadis penurut. Gak boleh banyak tingkah. Jadi cewek yang sebenarnya, ya?" Kezy mengangguk dan menggandeng tangan Erka keluar dari toko ice krim tersebut dan terus bersenandung kecil membuat Erka tersenyum tipis.

•••___---

Di sekolah Kezy tepatnya di kantin. Kezy bersama tiga sahabatnya sibuk makan di kantin. Mereka saling bercanda ria. Terlebih Kezy yang begitu semangat memberitahukan bahwa sekarang ia sudah punya toko ice krim.

"Gila! Gak nyangka abang lo bisa sebaik itu. Seandainya gue punya abang mungkin gue bisa jadi anak termanja sama kayak lo," ucap Elsa sambil terus mengaduk mienya dengan sambal. Elsa adalah penyuka makanan pedas.

Rani ikut menimpali, "Sama, gue juga pengen banget kayak lo. Dibeliin toko uce krim sejarga 1 miliar. Wow!" Rani menggelengkan kepalanya masih tak percaya.

Kezy hanya bisa tersenyum. Sedangkan hatinya berkata lain. 'Seandainya, kalian tahu gimana perjuangan gue buat beli toko ice krim ini."

Kezy kemudian memandang Marvel yang diam seribu bahasa. Makanannya pun tak di makan sama sekali. Merasa ada yang beda dari Marvel, Kezy memegang tangan Marvel. "Hei, vel. Lo baik-baik saja, 'kan?"

"Hah?" Marvel cengo dan menaiki alisnya seolah bertanya 'ada apa.'

"Gue tanya lo baik-baik aja, 'kan?" tanya Kezy sekali lagi.

Marvel tersenyum. "Gue baik-baik aja, Key. Gausah sedih."

Kezy terpaksa percaya akan ucapan dari Marvel. Namun, entah kenapa hatinya malah berkata lain bahwa Marvel itu sedang menyembunyikan sesuatu.

"Gimana kalo malam ini kita nongkrong di toko ice krimku?" Kezy tersenyum menggoda ketiga sahabatnya itu.

Elsa dan Rani saling tatap-tatapan, kemudian mengangguk mantap.

"Gimana dengan lo, Vel?" Kezy menggoyangkan bahu Marvel karena lelaki itu kembali bengong.

"Ah, iya," jawab Marvel singkat.

"Oke. Nanti malam."

Kezy kini sedang berduaan dengan Marvel di taman sekolah. Gadis berwajah imut dan cantik itu merangkul Marvel seraya memainkan rambut tebal lelaki itu.

Marvel dan Kezy memang hampir sama dengan orang yang pacaran, tapi hubungan mereka hanyalah sebatas sahabat. Kezy tak memiliki perasaan yang lebih kepada Marvel. Yah, meski ia tak bisa memungkiri kecemburuannya jika Marvel didekati gadis lain.

Ia sayang sama Marvel dan sudah menjadikan Marvel sebagai abang kesayangannya.

"Vel, kok lo dari tadi diam aja, sih?" tanya Kezy.

"Gue baik-baik aja, kok." Marvel menatap Kezy lekat. "Sekarang lo gak harus pake uang gue buat beli ice krim lo."

"Ihkk! Kok, gitu? Toko gue, kalo ada yang beli harus bayar. Gak gratis. Apalagi sama lo."

"Hei! Dasar lo. Jarang lo punya sahabat baik kek gue. Beli lo ice krim. Ngasih waktu gue ke elo. Baik, 'kan gue?"

"Baik, tapi nyebelin." Kezy memonyongkan bibirnya ke depan.

"Oaaccuucu. Anak gue kezel, nih. Mau, apa? Ayah beliin nanti." Marvel menggoda Kezy. Memangku gadis itu.

Kezy menggelengkan kepalanya. "Gue hanya mau sahabat gue tersenyum. Lo ada masalah, 'kan? Gausah bohong deh, Vel. Gue paling ngerti lo."

Marvel terdiam sejenak. Jujur saja, lelaki itu mempunyai masalah. Hanya saja ia takut untuk menceritakan ini kepada gadis yang sekarang sedang ia pangku.

Matanya menilik wajah Key yang begitu cantik. Apa ia bicara saja?

"Key."

"Hmm?"

"Gue harus pergi."

Mata Kezy melotot sempurna. "Mau pergi kemana? Jangan bilang mau ninggalin gue, ya?"

Marvel menghela nafasnya. "Ayah gue sakit, Kezy. Dan pengobatannya harus di Australia. Mau tak mau gue juga harus ikut ke pengobatan sang Ayah. Gue juga tentu pindah sekolah. Gue sedih, Key. Gue gak mau ninggalin lo, Rani dan Elsa."

Kezy terdiam beberapa saat. Kenapa ini harus terjadi? Kezy tidak mau ditinggalin sama Marvel. Dia pasti merindukan lelaki itu. Mereka bukan berempat lagi, tapi cuma bertiga. Tidak ada Marvel yang sering nasehati dia bak kakaknya sendiri. Dia pasti merindukan lelaki itu.

Berat! Tentu saja. Menahan rindu adalah hal yang fatal bagi dirinya.

"Marvel ... gue gak mau lo pergi. Gue pasti rindu sama lo. Rani dan Elsa juga bakal rindu sama lo."

"Gue juga begitu, Key, tapi lo tahu gue juga sayang sama ortu gue. Gue harus gimana? Ini berat Key, tapi gue yakin lo pasti baik-baik saja tanpa gue. Ada abang lo. Mereka pasti akan menjaga lo seperti gue menjaga lo." Marvel memaksakan senyumnya.

"Tapi tetap sama aja, Marvel. Semua beda kalo gak ada lo!" teriak Kezy bangkit berdiri. Mengelus setetes airmata yang mengalir.

"Jangan nangis dong, Kezy." Marvel bangkit berdiri. "Gue juga gak mau ninggalin lo. Lo harus mengerti, Kezy."

"Tapi, 'kan kenapa lo juga harus ikut ke Australia?"

"Siapa yang menjaga Bunda aku, Kezy. Dia terpuruk melihat keadaan Ayah gue sekarang. Gue gak bisa ninggalin mereka begitu saja pergi ke Australia."

"Lalu bagaimana dengan gue?!"

"Kezy ...."