" Sejak kapan ada yang jual makanan seenak ini di dekat rumah sakit?"
Pedagang Martel dan aku saling bertatapan sesaat setelah Dokter mengatakan kalimat yang tidak perlu itu. Aku memberikan isyarat 'maaf' dengan mengangkat alis kepada pedagang Martel itu.
Dokter benar-benar terlihat seperti orang yang belum makan seharian.
Aku memberikan bagian martelku kepadanya, dan dia langsung menghabiskannya dalam beberapa detik. Pedagang martel itu lalu memberikan lagi 2 buah martel yang sebelumnya kami pesan, Dokter mengambil keduanya dan langsung memakannya.
Dia tersedak.
Aku langsung membuka tutup botol mineral ditanganku dan langsung mendekatkan ujung botol mineral itu di mulutnya. Dia meneguk air di dalamnya dengan tergesa-gesa. Itu membuatnya kembali tersedak.
" Dok, kamu belum makan pagi tadi?"
Dokter berhenti mengunyah dan menatapku dengan ekspresi jeda dan makanan yang masih penuh di mulutnya itu. Apa seharusnya aku tidak menanyakan itu kepadanya tadi?
" Aku akan membuat ini dirumah nanti." Ucapnya dengan wajah polos lalu kembali melanjutkan mengunyah martel di mulutnya.
Huh. Aku sangat senang mengajaknya keluar. Pemandangan seperti ini benar-benar tentram. Sesuatu dari dalam diriku terasa pulih. Tapi aku tidak tahu apa itu. Mungkin, jika dulu aku menemui situasi serupa, aku tidak akan berusaha keras untuk mencari tahu agar aku mengerti. Tapi kali ini, aku rasa aku baru saja melakukannya.
Sesuatu itu. Aku akan mencari tahunya.
" Kenapa makanan ini membuat ketagihan? Mas, resepnya apa? Kasih tah dong! Ya?" Dokter mendekati pedagang martel dan mulai mendesaknya agar mau memberi tahu resepnya.
Jika aku perhatikan, pedagang itu terlihat kerepotan karena sikap agresif Dokter. Walaupun dia seperti hendak mengatakan apa resep dagangannya itu.
Sebaiknya aku harus mengambil alih dari sini.
" Berapa totalnya mas?" Pedagang itu menatapku dengan tatapan lega.
" 30 ribu aja mas." Jawabnya tenang, dan masih kerepotan dengan desakan dari Dokter.
" Tadi kami mesan 4 lho, bukannya 40 ribu m—"
" 30 ribu aja mas!" Pedagang martel itu tersenyum dengan mata yang sengaja ia kedipkan berkali-kali.
Oh, aku mengerti.
Aku menarik bahu Dokter dan langsung menyeretnya menjauh setelah membayar martel kami dengan uang pas. Dokter hanya menatapku heran saat aku tiba-tiba menyentuh bahunya tadi.
Gila. Ini pertama kalinya aku memegang bahu seorang wanita. Selain Rani, walaupun aku tidak menganggapnya seorang wanita. Karena dia lebih terlihat seperti Google Translate bagiku.
Kami mulai menyusuri trotoar untuk mencari lagi jajanan yang menarik. Aku hanya mendengarkan Dokter yang menebak-nebak apa saja bahan-bahan untuk membuat martel tadi. Semua tebakan yang ia katakan benar, kecuali dia yang curiga dan sangat yakin pedagang tadi menggunakan micin di dalam resep pembuatannya tadi.
" Tadi kamu ngelihat sesuatu yang kayak garam halus atau apa gitu gak dimasukin kedalam martel? Aku rasa ada deh, tapi kalu kuingat-ingat, hmmmm.." Dokter mengerutkan alisnya dan berusaha keras mengingat-ngingat kejadian yang belum ada 4 menit yang lalu kami saksikan bersama.
" Kamu bisa buat makanan emangnya?"
Dokter langsung menatapku dengan tatapan terkejut. Kedua matanya seperti membara-bara karena terpancing dengan pertanyaan sederhana dariku.
" Kamu menantangku?" Sudah kuduga,
" Gak, bukan itu. Aku hanya menayakan apa kamu bisa membuat—"
"—Nada suaramu seperti meragukan kalau aku bisa memasak. Sama seperti kamu meragukan lisensi kedokteranku tadi!"
"...."
Dia mengingat kejadian satu jam yang lalu tapi melupakan apa yang baru saja dia lihat beberapa menit yang lalu.
" Hei, ada batagor di depan." Aku spontan menunjuk pedagang yang menjual batagor tak jauh dari hadapan kami.
Dokter menoleh seklias, lalu kembali menatapku.
Aku kira dia akan teralihkan, ternyata tidak.
" Jika aku membuatkan makanan, apa kamu mau untuk memakannya nanti?"
Umm,...
Aku sedang berpikir.
Ini pertanyaan sederhana atau pertanyaan jebakan.
Perempuan sangat sulit ditebak.
Dokter mulai memalingkan tatapanya dariku dan dan langsung berjalan menuju tempat pedagang batagor di depan kami. Aku langsung mengikutinya hingga kami berjalan saling beriringan seperti sebelumnya.
" Ya, tentu saja."
Dokter tidak merespon jawaban dariku selain memperhatikan deretan ruko yang berada di kanan kami. Itu benar-benar membingungkan. Apa dia masih kesal? Tapi apa yang membuatnya kesal?
Kami sampai dan langsung duduk, aku langsung memesan 2 porsi batagor kepada penjualnya. Sedangkan Dokter, dia tidak mengatakan apapun selain memperhatikan lalu lintas yang cukup sepi. Dia seperti menolak untuk menoleh kearahku dan memilih menatap lalu lintas dari sebelah kanannya.
Ini benar-benar membuatku tidak tenang.
Sebelumnya aku sudah ditolak satu orang dan dihajar hingga hidungku patah oleh satu orang lagi. Kali ini, aku tidak ingin kejadian serupa terulang lagi. Terutama jika itu Dokter. Aku benar-benar tidak bisa membayangkannya lagi.
Jadi, aku diam-diam mengangkat kursi plastik yang sedang aku duduki. Kemudian aku memindahkannya ke sebelah kanan Dokter, dimana sebelumnya aku duduk di sebelah kirinya.
Saat aku memindahkan kursi ke sisi sebelah kanan Dokter, batagor pesanan kami sudah selesai dan penjual itu memberikannya ke kami.
"...."
Jadi begitu. Aku mulai mengerti kenapa dia memalingkan wajahnya dan tidak merespon jawabanku tadi.
Aku memegang piring batagor milikku dan Dokter lalu mengedipkan sebelah mataku untuk respon 'terima kasih' kepada penjualnya.
" Kamu tidak perlu khawatir, Dok. Walaupun makananmu terasa hambar atau membuatku muntah. Aku akan tersenyum dan mengatakan 'enak' saat kamu menanyakan bagaimana rasanya."
"...."
Dokter perlahan membuka matanya dan ekspresi mulu dengan wajah yang memerah itu mulai berubah menjadi bingung.
"—!!"
" Aaaaaaaaaaaaah—!!!"
Ini akan menjadi terakhir kalinya aku mengejutkannya. Dokter lansung mencubit lenganku dengan tenaga penuh dan teknik professional yang mebuat daging di lenganku hampir membiru.
Tapi itu tidak buruk, dan aku senang mengejutkannya.
Kami berdua tertawa setelah aku membuka sweater dan Dokter memeriksa bekas luka akibat cubitannya di lenganku. Penjual batagor itu entah kenapa meninggalkan gerobaknya dan memilih pergi mengobrol bersama tukan parkir yang berada di seberang jalan setelah Dokter mengoleskan minyak kayu putih di lenganku.
Bagaimanapun, aku tidak tahu kenapa dia mengoleskan minyak kayu putuh untuk luka seperti itu. Tapi aku membiarkan dia melakukan itu.
" Dok, kamu tahu?" Aku mengatakan itu setelah dia memasukkan minyak kayu putih ke tas kecilnya dan mulai meraba-raba sweaterku.
" Terima kasih, aku akan menjaga sweater ini seumur hidup." Dia langsung memakai sweaterku yang kebesaran itu. " Ini untukku kan?" lanjutnya setelah mengambil bagian batagor di piringku. Entah kenapa batagor di piringnya sudah habis begitu saja tanpa kusadari.
" Aku hanya memilik 2 baju untuk saat ini. Dan itu sudah 2 hari belum dicuci."
" Apa kamu diusir dari rumahmu? Tenang saja, aku kan mengembalikannya setelah menghabiskan ini." Dokter kini mengambil alih semua batagor di piringku dan memakan semuanya.
Aku hanya diam memperhatikan Dokter yang menghabiskan batagor milikku.
Perlahan, aku mengamati wajahnya. Wajah yang selalu ingin aku lihat. Wajah yang saat ini tidak mengenakan riasan. Natural apa adanya, dan dia terlihat seperti tidak mempedulikan hal itu. Jilbab yang berantakan dan membuat beberapa helai rambutnya kelihatan. Sweater milikku yang sedang ia kenakan. Sepertinya dia mengatakan sesuatu yang terdengar sweater itu sudah menjadi miliknya tadi.
Ini terasa seperti De Javu. Aku pernah melakukan dan memikirkan hal yang serupa sebelumnya.
Ini semua sudah membuatku pasrah. Jadi aku tidak akan bertaruh apa-apa lagi.
Itu benar-benar menyakitkan. Dan, aku sudah tidak memiliki banyak waktu lagi.
DON'T QUIT TOO EARLY
Perkataan itu tiba-tiba masuk dan memenuhi pikiranku. Membuatku kembali memikirkan baik-baik apa yang sebelumnya ingin aku lakukan.
Itu ada benarnya juga. Selama ini, tidak. Sejauh ini, segala sesuatu belum pernah berjalan dengan baik. Segala sesuatu berjalan membingungkan. Aku terjebak dengan jawaban yang menggantung selama 10 tahun terakhir.
Aku, juga ingin. Merasakan itu.
DON'T EXPECT TOO HIGH
Lagi, kalimat baru datang dan menggantikan kalimat yang sebelumnya menguasai pikiranku. Dan itu membuat semuanya terlihat jelas.
Kalau dipikir-pikir, aku terlalu berharap dan memasang ekpektasi yang berakhir bahagia untuk hubungan seperti ini sebelumnya.
Apa, ini tidak apa-apa? Untuk mempercayainya?
DON'T TRUST TOO FAST
Kenapa makin kesini kalimat yang memenuhi pikiranku makin meruntuhkan harapan?
Apa memang seperti ini nasibku dalam menjalin hubungan?
Memang, aku terlalu takut untuk menjalin hubungan lebih dalam denga seseorang selama ini. Buktinya, hanya ada 3 nomor kontak yang aku simpan di Handphone ku.
DON'T LOVE TOO SOON
Serius?
Jadi memang mengarah kesini semua pada akhirnya?
Sebenarnya siapa sih yang mengatur kalimat ini muncul dipikiranku?!
" Jadi, apa yang ingin kamu katakan tadi?"
Dokter mengambil tisu dan mengelap sisa makanan yang berlepotan di mulutnya setelah menghabiskan dan membuat bersih sepiring batagor milikku tadi.
YOU RESERVE RIGHT TO BE HAPPY. GOD REGULATES EVERYTHING FAIRLY. AND YOU RESERVE RIGHT TO GET OPPORTUNITY TO FEEL THAT.
Seharusnya aku masuk Fakultas Psikologi saja dulu.
" Kamu tahu? Aku menarik perkataanku sebelumnya tentang meragukan lisensi kedokteranmu. Setiap orang, memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dan aku gak berhak meragukan sesuatu seperti itu."
Dokter hanya menyipitkan kedua matanya setelah mendengarkan perkataanku.
" Apa kamu menyindirku karena aku mengolesi minyak kayu putih untuk meredakan luka lebam tadi?"
Sebenarnya apa yang dia katakan barusan ada benarnya juga.
" Maaf, aku tidak jadi menarik perkataanku tadi."
Dokter hanya tersenyum lembut mendengar jawaban spontan dariku barusan.
Ada apa ini? Padahal aku sudah bersiap-siap menghindar jika dia mencubitku lagi. Tidak seperti sebelumnya, aku sudah tidak memakai sweater dan pertahananku sangat lemah. Aku yakin rasa sakit yang diterima akan lebih besar jika dia langsung mencubitku.
" Tidak apa, jika kamu memang mengatakan itu aku mengerti karena aku juga merasakan hal yang sama." Aku melihat Dokter yang diam-diam menggigit bibirnya.
Dia kemudian memain-mainkan jari ditangannya. Terlihat seperti sangat gelisah. Oh, sialan.
" Tidak, kamu tidak perlu memikirkan itu. Aku hanya bercanda."
Dokter hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, menolak penjelasan sebenarnya dariku dan membenarkan apa yang sebelumnya aku katakan tentangnya.
" Sebagai Doktermu, aku benar-benar gagal. Dan memang seperti itu kenyataannya. Kamu selalu datang selama 5 tahun terakhir dengan penyakit yang sama ditiap pertemuannya. Seharusnya aku sangat tertekan saat kamu kembali datang setelah sebelumnya kuberikan resep dan terapi pengobatan."
Dokter menatapku dalam diam. Sesekali, dia mengalihkannya matanya menatap jalanan atau piring batagor yang sudah habis. Begitu juga denganku, aku melakukan hal yang sama dengannya.
" Jika biasanya setelah pertemuan berakhir aku mendoakan agar kamu sembuh dan tidak datang lagi untuk kembali. Tapi itu tidak, dan itu yang membuatku merasa gagal."
Kini, tatapan dimatanya sangat dalam dan kuat menatapku. Entahlah aku yang terlalu buruk mendeskripsikannya atau bukan itu yang sebenarnya terjadi. Dokter kemudian menurunkan pandangannya kebawah. Membuat sweater dongker milikku yang ia kenakan sangat cocok dengan tindakannya.
Menurutku, warna biru gelap melambangkan kesedihan.
Namun apa yang ia katakan tadi tidak sepenuhnya benar.
" Jika kamu sudah melakukan semuanya dengan baik, tapi pasienmu masih tidak sembuh berarti bukan kamu yang salah. Tidak perlu menanggung dan menganggap semua yang terjadi menjadi tanggung jawabmu. Terkadang, memang ada pasien yang seperti itu."
Aku masih tidak tahu kenapa dia bisa murung karena aku meragukan lisensi kedokterannya. Namun, saat dia kembali menatapku dengan senyuman yang disembunyikan itu. Benar-benar membuatku senang.
" Si Pasien, mungkin saja berhasil dengan pengobatan yang kamu berikan. Mungkin, karena beberapa alasan yang cukup malu untuk dikatakan, pasien secara tidak sadar membuat dirinya kembali rusak. Tidak ada orang yang ingin sakit dengan penyakit yang sama selama 5 tahun...."
Sialan, aku mulai mengerti.
Saat aku melihat senyuman yang sebelumnya disembunyikan itu muncul, aku mulai mengerti. Tentang semua yang aku lakukan selama 5 tahun terakhir. Tentang semua yang terjadi. Kali ini aku mengerti, dengan perasaan yang sebelumnya membingungkan ini.
Jadi begitu.
" Tak perlu dengan banyak alasan yang rumit. Terkadang, kita melakukan hal-hal bodoh hanya untuk alasan yang sederhana."
Apa ini ilusi atau memang terjadi. Pipi Dokter mulai memerah setelah aku mengatakan itu. Dan itu membuatku tidak berani lagi menatap matanya dan langsung memanggil penjual batagor tanpa pikir panjang.
Oh, sepertinya aku merasakan sebuah resonasi.
Kami langsung bergegas berdiri. Aku spontan memberikan botol mineralku kepada Dokter tanpa menatapnya, dan dia langsung menenggak semua airnya sampai habis dalam satu tenggakan.
Setelah membayar kami langsung pergi, berjalan menuju Rumah Sakit.
Tidak ada kalimat yang terucap dari kami berdua setelah aku mengatakan kalimat idiot tadi.
Saat aku melihat pantulan bayangan kami dari sebuah kaca di toko pinggir jalan, aku menyadari kalau Dokter yang mengenakan sweater miliku saat ini terlihat sedang tersenyum dengam mata yang tertutup. Dan, dia juga menyadari kalau saat ini aku sedang melihat ekspresi bodohnya melalui pantulan kaca toko. Kedua tangan Dokter langsung menutup mukanya dan dia langsung terduduk di tengah trotoar.
Beberapa orang yang lewat memperhatikan tingkah aneh Dokter. Sebagian ada yang tertawa dan merasa aneh dengan tingkahnya itu. Bagaimana pun, Aku penyebab semua ini terjadi.
" Hei, tunggu disini sebentar. Aku akan membelikan obat sembelit."
" Diamlah, kamu yang memulainya dari awal!"
Jadi seperti ini penampakan anak kecil yang sedang merajuk kepada orang tuanya.
Saat melihat penampakan yang sangat langka ini, aku tiba-tiba teringat sesuatu dan langsung melihat Jam di tanganku. Itu membuatku terkejut dan panik karena waktu yang kami habiskan berdua tak terasa sudah selama ini.
" Dok, sepertinya kamu akan kena masalah. Kamu enggak lanjut kerja?"
Dokter bangkit dengan jilbab yang kusut dan beberapa rambut yang kelihatan di poninya.
" Aku akan mengambil cuti mulai hari ini." Dia mengatakan itu dan lanjut berjalan tanpa mempedulikan jilbab dan rambutnya yang berantakan.
Aku mengikutinya dan menunjuk keningku untuk memberitahu jilbabnya yang berantakan. Dokter berhenti untuk membenarkan posisi jilbabnya. Dia melepas jilbabnya dan melakukan itu tanpa mempedulikan orang-orang yang melihatnya. Sepintas, aku melihat rambutnya yang diikat sanggul. Sebelum akhirnya dia kembali memasang jilbab kain bermotif banyak bunga itu.
" Apa kamu merasa bersalah karena mencubit, dan meluruskan hidungku dengan paksa tadi?" Aku memberikan jarum yang sebelumnya terjatuh dari tangan Dokter untuk memasang jilbabnya. Ngomong-ngomong, sampai saat ini aku tidak tahu apa kegunaan dari jarum itu dalam pemakaian sebuah jilbab.
" Aku mengingat sesuatu yang sedih, jadi aku tidak bisa bekerja lagi." Jawabnya tenang sebelum akhirnya menendang kakiku karena aku dengan sengaja menjatuhkan jarum yang kupegang.
" Andi."
Aku menatapnya setelah Dokter yang tiba-tiba menyebut namaku.
" Kamu, ada acara setelah ini?" lanjutnya dengan nada yang cukup pelan dan sulit untuk di dengar.
" Gak, aku senggang selama 3 hari kedepan."
—?!
Dokter terlihat seperti terkejut saat aku mengatakan itu.
" Aku kira kamu sangat sibuk, dengan pekerjaanmu, dan hal-hal lainnya(?)." Kalimat itu terlalu membingungkan karena itu juga terdengar seperti dia sedang bertanya saat mengucapkannya.
" Ini liburan pertamaku sejak 5 tahun terakhir."
" Benarkah?"
" Ya, kenapa aku harus berbohong denganmu?"
Dokter menghentikan langkahnya dan langsung menatapku dengan menyipitkan mata kanannya.
" Jadi, kamu benar-benar tidak melakukan apa-apa setelah ini?"
Apa yang sebenarnya ingin dia katakan?
" Ya, mungkin aku akan kembali dan mencari penginapan, lalu tidur-tiduran hingga sore. Kemudian malamnya pergi keluar mencari makanan."
" Jadi, seperti itu liburanmu?"
" Hmm, ya. Tidak ada yang benar-benar ingin aku lakukan saat ini. dan juga, tidak ada orang yang bisa aku ajak untuk pergi jalan-jalan saat ini."
" Benarkah? Tidak ada satupun?"
" Segala sesuatu berjalan buruk beberapa hari yang lalu, dan aku tidak tahu cara terbaik untuk menikmati liburanku selain tiduran."
" Jadi, ini liburanmu setelah 5 tahun terakhir?"
" Yap. Terakhir kali aku berbohong denganmu kamu mengancam akan menyuntikkan sesuatu ke pantatku."
" Apa benar seperti itu?"
Ada apa dengan Looping pertanyaan ini?
Oh!
Apa ini, memang seperti itu?
" Kebetulan, aku ingin memburu makanan yang belum pernah kumakan."
" Ummm.."
Dokter hanya menggumamkan suara aneh dan tidak melanjutkan percakapan.
Percakapan diantara kami berdua tiba-tiba menjadi tidak tentu arah. Ini memang sering terjadi, tapi tidak pernah secanggung ini.
Sepertinya ini akan menjadi kacau jika aku tetap meneruskan suasananya menjadi seperti ini. jadi lebih baik aku mengatakan sesuatu atau suasana akan semakin buruk.
"Dok,—"
" Andi—".
Jadi seperti itu, resonasi yang aku rasakan tadi berasal dari dia.
" Ayo?"
Aku mengepalkan kedua tanganku kearahnya.
Dok, itu adalah senyuman paling ceria yang pernah aku lihat darimu.
" Kali ini, kita patungan, oke?"
Dokter meninju kepalan tanganku dan kami berdua tersenyum setelah melakukan hal idiot seperti anak-anak itu.
RESONASI.
Sebuah kata kembali bergema dalam pikiranku. Kali ini, aku tidak perlu berusaha keras memikirkan makna dari kata itu.
Aku pernah membaca sebuah buku. Rani menyarankan buku itu kepadaku saat akhir masa SMA dulu, tepatnya 10 tahun yang lalu. Dimana aku baru membaca buku rekomendasinya itu beberapa bulan yang lalu.
Itu bukanlah buku yang begitu serius, itu hanya sebuah Novel. Jadi aku awalnya hanya menerima buku yang ia beri itu dan tidak pernah menyentuhnya selama 10 tahun terakhir.
Novel itu menceritakan bagaimana 2 orang yang sangat berlika-liku dalam membangun sebuah hubungan. Bayangkan, Si Karakter Utama yang cowok membangun hubungan sejak SMP hingga akhir SMA hanya agar bisa menyatakan perasaannya kepada SI Karakter Utama Cewek.
Sialnya, Si Cewek juga selama itu terus menunggu dan mempunyai perasaan yang sama dengan SI Cowok.
Lalu cerita terus berjalan, dimana mereka terpaksa terpisah karena tujuan masing-masing. Namun, tiap detik dan hari yang mereka lalui, itu tergambarkan sangat kokoh. Begitu kokoh, seakan-akan hubungan mereka tidak akan bisa runtuh. Kemudian mereka memutuskan untuk bertemu setelah sekian lama berpisah.
Mungkin, karena naluri alami seorang manusia juga perasaan rindu yang terlalu lama di tahan, mereka melakukan hal yang terlarang setelah bertemu dan sekian lama tidak berjumpa.
Dari kesalahan fatal itu, walaupun beberapa orang mengatakan hal terlarang itu juga menggambarkan perasaan cinta yang begitu dalam. Hubungan yang katanya tidak bisa runtuh itu mulai terlihat sebuah retakan kecil.
Di saat terdesak, manusia hanya memiliki 2 pilihan. Menerima atau menolak kenyataan. Mungkin karena kesalahan kecil itu awalnya mendatangkan kebahagiaan, namun Si Karakter Utama mengira itu sebuah tanggung jawab yang begitu besar dan memilih untuk menolak kenyataan. Lari, dan tidak ingin menanggung perbuatan yang ia lakukan itu.
Aku tidak akan melanjutkannya karena cerita itu berakhir sangat buruk. Juga aku sangat buruk dalam menyampaikan sesuatu. Namun, di akhir cerita. Si Tokoh Utama akhirnya menerima kenyataan yang telah ia perbuat walaupun itu sudah terlambat baginya.
Cerita yang sangat rumit, namun penuh dengan nilai kehidupan. Tidak heran aku menolak dan menunggu 10 tahun untuk membacanya.
Namun, di situ letak kesalahanku.
Novel itu, sebenarnya diberikan Rani bukan untuk dibaca. Rani, memberikan itu hanya untuk menegurku secara halus tentang hubunganku dengan Laura .
Rani, hanya ingin aku menyadari jika aku ingin meneruskan dan menjalin hubungan yang dalam dengan Laura, aku harus menerima konsekuensi dan kerumitan yang akan terjadi. Dengan kata lain, dia hanya ingin menyuruhku melupakan Laura.
Itu pesan yang sebenarnya ingin dia sampaikan kepadaku 10 tahun yang lalu. Dan kini, kami berdua sedang tidak berbicara karena kesalahan yang aku perbuat.
Bukannya aku tidak ingin menghubunginya, hanya saja aku tidak bisa melakukan itu sekarang. Aku akan membuat kesalahan yang begitu fatal jika aku melakukannya. Semua yang aku lakukan akan terlihat sia-sia, itu benar.
" Oi, itu makanan kalau kamu diamin lama-lama bakalan pindah ke piringku."
Sebenarnya, aku sudah melakukan kesalahan yang jauh lebih fatal daripada itu.
" Dok, sebenarnya aku masih kekenyangan—"
"—Hei, aku baru tahu kalau beberapa batagor tadi bisa membuat orang kenyang. Perutmu tidak sekecil itu kan?"
Tidak-tidak, sebelumnya kita berdua memang sudah banyak memakan tiap jajanan yang kamu anggap enak. Sejauh ini, kalau kuingat sudah 12 makanan yang aku makan sejak kita makan batagor di Rumah Sakit tadi.
Dokter, dia berhenti mengunyah ketoprak yang sudah 2 piring ia makan itu. Dan kini dia menatapku sambil meminum es teh di tangannya.
" Kamu lapar atau doyan sebenarnya?" aku mengambil tisu dan menunjuk pipiku untuk memberi tahu kalau di pipinya ada beberapa kuah yang menempel.
" Entahlah, nafsu makanku tiba-tiba naik." Jawabnya cuek menghiraukan sebelum akhirnya menarik piring ketoprak milikku dan memakannya.
Hingga Dokter menghabiskan ketoprak milikku, aku hanya terus menatapnya dan memperhatikannya dengan serius. Sampai dia bertingkah aneh dan menyuruhku untuk membayar makanan dan menuduhku bertanggung jawab membuat perasaannya jadi gelisah.
Lalu kami berkendara keliling kota mencari tempat yang bagus untuk duduk agar kami bisa mencerna makanan dengan tenang. Dokter seperti tidak bisa mengatakan apa-apa saat berada di dalam mobil. Aku hanya memberi dia selimut agar bisa ia gunakan. Namun itu membuat suasana di dalam mobil ricuh karena Dokter menuduh aku berpikir dia akan muntah.
" Dok,."
Aku memberhentikan mobil ke pinggir jalan dan memanggilnya untuk memastikan kalau dia tidak tertidur.
" Sejak tadi, kamu terus memanggilku seperti itu. Kita sudah bukan Pasien dan Dokter lagi, jadi panggil aja nama asliku." Jawabnya lesu, mungkin perutnya kesakitan karena terlalu banyak makan.
" Sebenarnya, aku sudah terbiasa."
" Tolong panggil aku Lily untuk selanjut— Hik!! Atau ak— Hik!!"
Dokter tiba-tiba cegukan dan membuat kalimat yang ingin ia katakan terputus-putus. Aku langsung memberinya air mineral agar cegukannya hilang.
" Hikk!— Hik!!— Hik!!—"
Cegukannya enggak hilang-hilang!
Aku mencoba mengambil botol air mineral yang berada di kursi tengah karena Dokter sudah menghabiskan semua air yang ada di kursi depan.
" Kamu bisa menganggap itu semacam panggilan sayang. Seperti, hanya aku yang memanggil kamu seperti itu." Ucapku spontan setelah berhasil mendapat satu-satunya botol air mineral yang tersisa.
" Tolong ambilkan selimut itu sekalian." Dokter mengatakan itu setelah aku hendak berbalik badan.
" Bukannya tadi kamu menyuruhku membuangnya?"
" Sudah berikan saja sini!"
Dokter langsung menarik selimut yang baru saja kupegang dan langsung menutupi seluruh badannya dengan selimut. Dan, cegukan dia langsung menghilang setelah melakukan itu.
Sepertinya dia sudah baikan. Lantas aku kembali menginjak pedal dan melanjutkan pencarian tempat bersantai untuk mencerna makanan kami.
Jalanan sudah mulai ramai, dipenuhi banyak kendaraan dari pengendara yang baru saja pulang bekerja. Jika dalam 15 menit kedepan kami belum menemukan tempat mungkin ini akan menjadi petaka. Kalau hanya aku sendiri mungkin itu tidak masalah untuk terjebak macet, namun kali ini ada Dokter yang bersamaku.
" Dok, ini serius bakalan gawat kalu kita gak nemuin tempatnya."
Sebenarnya sejak tadi kami berdua tidak ada memutuskan tempat bersantai manapun selain memikirkan makanan apa yang akan kami makan nanti malam. Ide mencari tempat duduk untuk bersantai dan mencerna makanan itu sebenarnya berasal dariku. Jadi, sepertinya aku yang harus memutuskan tempatnya.
Tempat bersantai. Hmmm, dimana ya?
Tunggu sebentar, aku sudah sangat lama semenjak terakhir kali jalan-jalan bersantai seperti ini. Mungkin 5 tahun yang lalu, itupun aku sebagai nyamuk saat Fadil berdua dengan pacarnya. Jujur, aku berpengetahuan minim tentang tempat wisata di kota ini.
Huh, lagian ini sudah petang. Matahari dalam beberapa menit lagi akan sepenuhnya tenggelam. Dan sebentar lagi akan masuk waktu ibadah. Apa kami singgah saja ketempat ibadah terdekat?
" Hei, kita akan singgah ke masjid sebentar. Bagaimana?"
"...."
Tidak ada tanggapan dari Dokter yang saat ini menyembunyikan tubuhnya di balik selimut. Apa dia tertidur atau semacamnya dibalik selimut itu?
" Sejak kapan kamu menemukan metode itu?"
Masih tidak ada respon darinya selain gerak gerik aneh di dekat kepalanya.
" Metode apa?"
Dia akhirnya menjawab, walaupun suara yang kudengar terdengar gugup. Aku benar-benar tidak tahu apa yang membuatnya gugup.
" Kamu menemukannya selama ini bukan? Menyembunyikan badan di balik selimut untuk menghilangkan cegukan."
" Apa yang sebenarnya kamu katakan?"
Eh? Aku kira dia melakukan itu untuk menghilangkan cegukan.
" Apa aku salah? Kamu menyembunyikan tubuhmu dibalik selimut dan cegukanmu hilang semenjak itu bukan?"
" Diamlah, ini karena kamu mengatakan hal-hal tidak perlu."
Hm?
Apa, aku mengatakan sesuatu yang aneh tadi?
Ah, akhirnya kami sampai. Aku sengaja memilih tempat ini karena parkirannya sangat luas.
MASJID AGUNG AN-NUR
" Hei, keluarlah, kita sudah sampai."
Aku membuka pintu dan segera keluar dari mobil. Membiarkan Dokter sendiri agar bisa menemukan mood untuk keluar dari balik selimut itu.
Kutarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan santai.
Sialan, indera penciumanku lagi rusak. Tapi aku tahu aku sedang menghirup asap polusi.
Suara pintu terdengar terbuka dari sisi kiriku,. Dokter akhirnya keluar dengan pipi yang memerah. Aku tidak tahu kulit dia sesensitif itu. Aku ingin menanyakan tentang sesensitif apa kulitnya itu namun segera mengurungkan pertanyaan bodoh itu. Sepertinya aku tahu apa yang terjadi pada Dokter.
" Aku kira kamu seorang Atheis."
Perkataan blak-blakan itu membuatku tekejut.
Aku juga bingung mau meresponnya seperti apa. Namun sesuatu tiba-tiba datang di kepalaku dan aku langsung mengeluarkannya.
" Apa kamu sedang datang bulan dok?"
Dokter spontan menatapku dengan wajah yang heran. Dia mengerutkan kedua alisnya dan perlahan mulutnya menganga dengan sendirinya.
" Kamu mengigau?"
" Benarkah?"
" Ya, kamu mengigau. Ah, tidak, kamu sedang mabuk!"
Dokter menggeleng-gelengkan kepalanya dan segera berjalan duluan ke Masjid.
Jadi bukan itu penyebab dia bertingkah aneh tadi. Lalu apa? Seingatku Rani bertingkah sama sepertinya dan lebih menjengkelkan saat sedang datang bulan. Terkadang, Rani menutup tubuhnya dengan selimut dan meringkuk di sofa. Saat dia keluar dari bungkusan selimut itu, pipinya pasti akan memerah. Bukannya gejalanya sama?
Aku segera menyusul Dokter dan kami berjalan beriringan.
" Hei, aku minta maaf sudah mengatakan hal seperti itu."
Dokter menatapku sekilas, dan dia mulai berjalan melambat. Bagaimanapun, aku mengikuti tempo berjalannya agar kami tetap saling beriringan.
" Sudahlah, itu memang salah kamu. Tapi lupakanlah."
Di bagian mana aku menjadi salah sekarang? Aku ingin menanyakan itu tapi kutahan karena sadar, itu akan makin memperburuk mood nya.
" Apa kamu sudah menemukan tempatnya?" Lanjut dokter sambil memandangi tenda yang menjual makanan di seberang Masjid.
" Ya, tentu saja."
Dokter tiba-tiba berhenti melangkah, membuatnya beberapa langkah berada di belakangku. Aku memandanginya untuk memastikan apa yang sedang ia lakukan.
" Ada apa?"
Dokter masih menatapku, kali ini aku melihat. Dia sedang tersenyum,. Sangat lembut, seperti dia melakukan itu tanpa dia sadari.
" Tidak apa-apa." Dia kembali melangkah dan kami kembali berjalan beriringan.
" Kamu menjadi aneh beberapa menit ini."
" Apa kamu bilang?!"
" Tidak ada."
" Kamu kira pendengaranku rusak?!"
Butuh waktu sekitar 30 menit agar kami bisa kembali bertemu. Aku memutari bangunan yang luar biasa besarnya ini untuk mencari-cari Dokter. Aku menemukannya di deretan tenda penjual makanan yang ia pandangi tadi. saat ini, Dokter sedang duduk dan terlihat sedang menungguku. Dan ketika aku mendekatinya, Dokter langsung memesan makanan yang dijual didekat kami. Kali ini, dia hanya memesan satu mangkuk parfait. Ini pertama kalinya aku tahu ada yang menjual parfait selain di cafe.
" Hei, bantu aku menghabiskan ini."
Aku melihat 2 buah sendok yang menancap es krim di dalam mangkuk itu.
" Aku yakin salah satu molekul yang membentuk lambung kamu itu karet." Ucapku bercanda lalu mengambil sendok yang masih tertancap di eskrim itu.
" Aku benar-benar tidak bisa menahan saat melihat makanan seperti ini." Dokter mengambil satu sendok yang masih tertancap dan menyuruhku memegang mangkuk itu.
Dia langsung memotong bagian eskrim vanila, cukup besar. Bahkan terlalu besar, dan langsung melahapnya.
Aku berpikir 2 kali sebelum akhirnya mengambil sedikit bagian dari es krim itu. Aku teringat, terakhir kali aku memakan es krim, tenggorakanku terasa sakit selama seminggu. Tapi setelah aku mencobanya, itu terasa sangat lembut. Dan tidak terlalu dingin. Sepertinya, tidak apa-apa untuk terus memakan ini.
" Ya, aku pikir kamu benar. Tidak heran kamu sangat ingin memakan ini walaupun tahu sudah sebanyak apa makanan yang kita makan sebelumnya."
" Bener kan? Aku dari ngelihat sama ngecium baunya aja udah tau kalo teksturnya bakalan selembut ini."
Ini belum ada satu menit kami memakan es krim dan Dokter sudah menghabiskan setengahnya. Dia menatapku untuk meminta izin menghabiskan bagianku. Dan aku memberi izin hanya dengan memainkan kedua alisku.
Walaupun aku baru memakannya 3 sendok, itu tidak masalah Dokter yang menghabiskan sisanya. Sepertinya mood dia kembali membaik.
" Ah, iya. Kamu mengatakan tidak bisa tahan melihat makanan seperti ini. Kenapa kamu tidak memesannya saja lebih dulu tadi?"
" Hm?" Dokter hanya melirik kearahku sambil menjilati dengan santai es krim di sendoknya.
" Aku hanya ingin memakan ini bersamamu. Jadi aku sengaja menunggumu sampai datang tadi."
"..."
"..."
SIALAAAAN!!!!!
Sesuatu terasa mekar di dada dan kepalaku.
Jadi..
Ini pertama kalinya aku mendengar seorang perempuan mengatakan hal seperti itu kepadaku.
Oh, aku menjadi gelisah.
" Andi, kamu kenapa?"
Dokter meletakkan mangkuk yang sudah bersih itu di atas meja dan menatapku dengan bahu yang bergetar.
" Ti-Tidak, Tidak apa-apa."
Bahunya masih bergetar dan kini aku melihat dia seperti sedang mengunyah sesuatu karena kedua pipinya menggembung.
" Baguslah, aku akan membayar ini dulu."
" Oh, hei berapa harganya?"
" Sudah, kamu sudah membayar ketoprak milikku tadi. Tidak apa-apa."
Dokter kemudian berbalik, segera berjalan menuju tenda penjual. Aku melihat kedua tangannya memegang mulut dan dia seperti meneriakkan sesuatu sampai membuat kedua bahunya bergetar makin hebat.
Sedangkan aku, masih tidak percaya Dokter mengatakan kalimat sederhana yang hampir membuatku jantungan itu.
Kami kembali mencari tempat untuk bersantai. Kini, kami hanya ingin duduk bersantai dan menikmati malam. Dan aku masih berusaha mengingat tempat-tempat yang cocok untuk duduk dan dikunjungi. Karena Dokter tidak menyarankan tempat apapun.
Dia hanya duduk dengan mulut mingkem. Terkadang, dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu tertawa dengan suara sekecil mungkin. Aku tidak tahu apa yang membuatnya seperti itu. Tapi yang jelas, aku masih berusaha menenangkan diriku akibat kalimat yang dia ucapkan tadi.
" Hei, bagaimana kalau di depan sana?"
Aku menunjuk sebuah taman yang tidak terlalu ramai di seberang kiri kami. Dokter hanya mengangguk dengan senyuman kecil dan kami akhirnya menemukan tempat bersantai untuk menikmati malam ini.
" Hmm, sudah lama aku tidak ke tempat ini." Ucap Dokter begitu dia turun dan berjalan melihat-lihat sekeliling.
" Aku baru tahu ada tempat seperti ini di kota."
RUANG HIJAU TERBUKA | 20.21
Aku baru menyadari kalau tempat ini berada tepat di depan kediaman Walikota. Dan itu benar-benar membuatku terkejut karena aku pernah mengambil proyek bersama Fadil untuk Walikota tahun lalu. Dan aku sama sekali tidak menyadari adanya taman ini.
" Seingatku,." Aku berhenti dan mencoba mengingat sesuatu.
" Hm?"
" Bukannya dulu di tempat ini ada beberapa bangunan? Juga bukannya perempatan di sana tidak ada?" Aku menunjuk ke arah sebuah perempatan yang tak jauh dari tempat kami berdiri.
" Apa kamu baru keluar dari gua atau semacamnya?" Dokter tertawa dan langsung menarik lenganku untuk masuk kedalam taman. " Ayo."
Kami berjalan, memutari jalanan yang sama selama lebih dari 5 kali. Sebuah jalan setapak yang di kiri kanannya terdapat halaman kecil yang memiliki papan peringatan 'Dilarang menginjak rumput' namun tetap diinjak Dokter. Entah dia mengetahui larangan itu atau tidak, aku tidak ingin menegurnya. Karena dia terlihat sangat menikmati malam ini. Begitu juga denganku, aku menikmati setiap detik aku memperhatikannya.
Aku teringat suatu pelajaran yang pernah aku benci dulu saat SMA. Namun hanya bagian ini yang masih aku ingat dari pelajaran itu. " Saat seseorang sedang bahagia, hormon-hormon mengalir dengan sangat lancar keseluruh tubuh. Itu mengakibatkan sesorang melakukan suatu tindakan atas responsif dari hormon itu. Mengakibatkan mereka tidak terlalu peduli dengan keadaan disekitar." Kurang lebih seperti itu, aku tidak pernah memperhatikan pelajaran itu soalnya.
Seperti anak kecil yang kegirangan diajak ke taman oleh orang tuanya, Dokter bertingkah seperti itu saat ini. Dia melentangkan kedua tangannya dan berputar dengan perlahan. Terkadang dia bersenandung tidak jelas namun terdengar begitu lembut di telingaku. Kami bertemu beberapa anak yang lewat dan Dokter mengajaknya bermain, melompat-lompat dan tertawa. Bahkan dokter sampai membelikan anak-anak itu es krim. Kemudian orang tuanya yang mengira anak mereka hilang itu menemukan anaknya. Mereka berterima kasih kepada kami dan kami saling melambaikan tangan saat mereka mulai menjauh. Kemudian aku melihat orang tua itu memarahi anaknya.
Dokter menatapku untuk memastikan kami melihat hal yang sama. Kemudian kami tertawa seakan bersalah membuat cemas beberapa orang tua yang mengira anaknya hilang.
" Woah!" Aku berteriak terkejut karena seseorang tiba-tiba melintas didepanku menggunakan sesuatu seperti skateboard.
Orang itu sepertinya menyewanya, karena aku melihat beberapa orang juga menggunakan alat yang sama. Aku tidak tahu apa nama benda itu namun itu berjalan seakan memiliki gas atau semacamnya. Penggunanya hanya perlu berdiri dan menggerakkan sedikit untuk berbelok. Berbeda dengan skateboard yang harus di dorong agar bisa berjalan.
Dokter terlihat sangat tertarik dengan alat itu. Dia menatapku dengan wajah yang sangat penasaran. Wajahnya seakan mengatakan, 'Aku juga ingin mencoba itu'. Dan terus menatapku seperti itu selama beberapa saat.
Apa? Dokter meminta izin, kepadaku? Ya, dia memang meminta izinku.
" Berikan sini tasmu." Dokter tersenyum sangat lebar saat aku mengatakan itu dan segera memberikan tasnya kepadaku.
Kemudian dia berlari seakan-akan alat itu tinggal tersisa satu dan harus berebut dengan orang lain untuk menyewanya.
Aku duduk di pinggir pembatas antara jalan setapak dan halaman rumput. Memanjangkan kaki yang cukup pegal karena kami terus mengelilingi tempat ini selama berkali-kali. Dari sini, aku dapat memperhatikan Dokter yang baru saja menaiki alat itu. Dia terlihat percaya diri dan menghiraukan perkataan penyewa alat itu. Dokter kemudian menjalankan alat itu, perlahan dan cukup lambat. Itu berhasil. Aku bisa melihat senyum kemenangan di wajahnya.
Dan, dalam beberapa menit Dokter sudah menggunakan alat itu dengan sangat lincah. Aku tidak percaya dia bisa menguasai alat itu dengan begitu cepat.
" Hei, hati-hati!" Aku meneriakkan itu setelah dia sengaja lewat di depanku dengan niat ingin menabrakku.
Dia tertawa puas setelah melakukan itu. Kemudian memamerkan beberapa trik yang baru saja dia pelajari dari pengguna lain kepadaku.
Aku harus mengabadikan ini.
Bagaimanapun, aku ketahuan diam-diam merekam Dokter dan dia langsung mengejarku karena itu. Aku tertangkap dan dia merebut hpku. Entahlah apa yang mendorongnya, namun Dokter tiba-tiba mengembalikan hpku dan menyuruhku merekamnya menggunakan hp miliknya.
" Hei, kenapa terdapat begitu banyak filter disini?"
" Sudahlah, rekam saja!"
Dokter benar-benar terlihat gugup saat mengetahui kalau aku sedang merekamnya. Dia terjatuh dari alat itu dimana beberapa menit lalu dia menyombongkan diri seperti seorang pro kepadaku. Namun itu tidak berlangsung lama, dan dia kembali lincah mengendarai alat itu.
Jujur, aku tidak berhak mengatakan ini. tapi melihatnya yang terus memamerkan banyak trik dengan sempurna membuatku kesal. Seperti, dia melakukan semua trik yang baru ia pelajari dengan lancar dalam 1 kali percobaan.
Bahkan aksinya itu mengundang beberapa orang untuk menontonnya. Senyuman di wajahnya makin lebar ketika anak-anak yang melihatnya bertepuk tangan dan menggumam "woah" karena kagum. Perlahan, dia bahkan melupakan kalau aku yang sedang merekamnya.
Lebih baik aku mencari minuman dan jajanan ringan untuk kami makan nanti.
Mungkin, aku hanya berjalan sejauh 40 meter untuk mencari jajanan ringan. Namun ini pertama kalinya aku berjalan dengan mulutku yang bersenandung. Menggumamkan suatu hal yang tidak jelas menggunakan irama. Dan langkahku beriringan dengan nada-nada rusak yang dikeluarkan dari mulutku.
Ini, sangat menyenangkan.
Aku menikmatinya.
Bahkan, saat aku duduk sendirian di kursi taman dan memperhatikan Dokter yang masih memiliki tenaga bermain skate itu aku masih menikmati tiap detik aku memperhatikannya. Dan, bahkan aku tidak memakan makanan yang baru saja aku beli tadi dan memilih untuk memakannya bersama Dokter. Ini pertama kalinya aku melakukan hal-hal sederhana dan memperhatikannya.
Entahlah, aku masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada diriku lagi saat ini.
Namun, kali ini aku ingin mengetahuinya.
Perasaan bahagia yang meledak-ledak di dalam dada ini, juga perasaan senang dan pertama kalinya waktu berjalan begitu cepat tanpa kusadari saat bersamanya. Aku ingin mengetahui kenapa aku mengalami ini.
Udara malam yang kuhirup menusuk dingin jauh kedalam hidungku. Angin malam mulai berhembus, menandakan akan terjadi hujan dalam beberapa jam kedepan. Bahkan bulan memilih untuk bersembunyi dibalik pekatnya awan hitam yang mengambang di langit.
Hanya lampu taman yang menjadi sumber cahaya disekitarku saat ini. tentu saja dengan cahaya dari hp pengunjung taman yang lainnya, walau hanya sekedar kemerlap kecil. Tapi itu semua sudah cukup.
Apa ini? aku terlihat seperti seseorang yang ingin membuat sebuah novel. Memperhatikan hal-hal sederhana seperti ini adalah pengalaman baru bagiku. Sebelumnya, hidupku hanya diputari dengan pekerjaan dan bersosialisasi dengan para klien. Terus seperti itu seperti looping waktu yang tidak tahu kapan akan berhentinya.
Apa angin malam yang terlalu dingin membuatku berhalusinasi?
Oh, jadi begitu.
" Ah, kamu kedinginan kan?!" Dokter berlarian menuju tempatku sambil berteriak. Namun kali ini pengunjung lain tidak teralihkan, karena mereka sibuk dengan ceritanya masing-masing.
" Sepertinya, tapi lupakanlah. Ini, aku membelikannya untukmu."
Aku memberinya minuman yang baru saja aku beli tadi kepada Dokter.
" Boba?"
" Kamu tidak menyukainya? Atau tukar saja dengan punyaku." Aku menyodorkan Teh Botol yang aku beli dari penjual asongan di dekat parkir tadi.
" Kamu tahu, Boba itu kepenuhan jelly-jelly hitam ketimbang airnya. Jadi meminum-minuman seperti ini gak efektif sebenarnya. Namun, aku menyukainya.tenang saja."
Ucap Dokter seperti itu walau tetap mengambil Teh Botol milikku dan meminum keduanya.
" Ucapan dan perbuatanmu berlawanan."
Dokter duduk disampingku dengan mengatakan " Aaahh~" seperti nenek-nenek yang baru saja dipijat punggungnya dan merasa enakan.
" Aku hanya mengatakan Boba tidak efisien. Bukan berarti aku menolak pilihan kamu. Sialan! Jadi Boba rasanya seperti ini?!"
"Jadi, kita sama-sama pertama kali mencobanya." Aku menggumam lega.
" Kamu tadi beli lagi?"
Dokter menatapku tenang dengan pipet yang menempel di mulut dan menyeruput boba dengan santai.
" Tidak, aku hanya membelinya satu."
Aliran air dari dalam pipetnya tiba-tiba berhenti. Begitu juga dengan ekspresi Dokter yang tiba-tiba membeku.
" ggggghh—"
Dokter tiba-tiba mengeluarkan suara aneh saat sedang menyedot minuman dengan pipet.
" Hei, boleh mencobanya sedikit?"
" Bukannya kamu sudah mencobanya tadi?"
" Aku mengatakan kita sama-sama pertama kali mencobanya tadi."
Mata Dokter yang menatapku lembut perlahan mulai menyipit. Seakan perkataanku tadi memang membuatnya salah paham. Kemudian dia menyodorkan boba ditangannya kepadaku. dengan mata yang masih menyipit Kesal.
" Aku senang, kamu memang benar-benar ngeselin dan buruk dalam memilih kata."
Menghiraukan pernyataan Dokter, aku meminum boba yang diberikannya itu dengan perlahan.
" Hei, ingatkan untuk membelinya lagi saat pulang nanti."
Seperti obat penetralisir, mata yang sebelum itu menyipit kini perlahan mulai terbuka lebar dan terlihat penuh antusias. Dokter tersenyum lebar dan menyetujui usulanku itu.
" Karena kamu yang mengusulkan, kamu yang traktir."
Jadi itu maksud dibalik rasa antusiasme darinya. Lagian,itu tidak terlalu aku permasalahkan. Sejak awal, memang aku yang menyarankan untuk berburu jajanan. Dan aku benar-benar melakukan itu dengannya.
" Oh, aku penasaran dengan alat yang kamu gunakan tadi."
" Hmm? Hoverboard?"
Jadi itu namanya. Mungkin aku harus membelinya satu kalau masih diberi kesempatan.
" Bagaimana perasaanmu saat menaikinya tadi?"
Dokter hanya mengangguk kecil sambil menatap Churros yang dari tadi belum kami sentuh karena pembahasan tentang boba kami tadi. Aku menyodorkan Churros itu kepadanya, dan dia masih sanggup tersenyum untuk tertarik dengan jajanan lain setelah begitu banyak makanan yang kami makan sebelumnya.
" Itu menyenangkan, terutama saat alatnya menggunakan baterai dan gas dipijakan. Kamu hanya perlu menyeimbangkan badanmu saat menaikinya."
Dokter menyuapi Churros ke multku yang mau tidak mau harus kumakan walau sebenarnya kapasitas perutku sudah full sejak awal.
" Lalu, bagaimana kamu yang bisa menguasai banyak trik dengan begitu mudahnya tadi?"
"Hmm..."
Dokter memejamkan matanya dengan Churros yang sengaja ia biarkan tergigit.
" Itu sangat sulit dijelaskan. Sebaiknya kamu merasakan langsung agar mengerti bagaimana serunya saat menaiki alat itu. Kamu hanya bisa mengerti saat kamu merasakannya langsung."
" Melihatmu bermain sangat liar tadi, membuatku sedikit khawatir."
" Hanya terbawa suasana, hiraukan saja bagian itu."
Kedua mata kami saling betemu, dan sesuatu membuat kami berada di frekuensi yang sama. Tatapan kami jatuh semakin kuat dan begitu dalam. Mataku tiba-tiba tidak bisa berkedip karena ini, begitu juga mata Dokter.
Dia tiba-tiba menatap ke arah langit dan menggoyang-goyangkan kakinya dengan riang. Mungkin Dokter melakukan itu karena aku terlalu lama menatapnya. Jika aku diposisinya aku pasti melakukan hal yang sama.
Karena, tatapan kami berdua tadi sama seperti tatapan yang pernah aku lakukan dulu.
Aku tidak akan terjatuh ke lubang yang sama lagi. Tidak akan.
Dan, aku sangat beruntung dia langsung memalingkannya. Aku benar-benar bodoh. Dan itu fakta. Aku tidak akan mengelak jika tadi berakhir sama seperti kejadian 11 tahun yang lalu.
" Baiklah, kita akan mencobanya lain kali."
Hanya itu kalimat yang bisa kuucapkan saat ini.
Kejadian barusan entah menimbulkan perasaan canggung atau tidak diantara kami berdua terus menghantui kepalaku beberapa saat.
Ini merupakan sifat ceroboh yang selalu melekat dalam diriku. Sangat sulit menghilangkannya. Aku pernah mencobanya, namun aku langsung menyerah di percobaan pertama.
" Benarkah?" Dokter mengambil churros dari bungkus yang aku pegang di tangan kiriku.
" Ya, aku benar-benar memiliki banyak waktu luang saat ini."
Mataku tidak salah, kapasitas perut Dokter sudah benar-benar penuh saat ini. churros yang baru saja dia ambil berhenti dia gigit dan mulutnya mulai terlihat aneh. Jadi, dengan inisiatif langsung dari dalam diriku aku mengambil churros yang mulai loyo di tangannya itu dan segera mengosongkan bungkusnya. Aku memindahkan sisa churros di bungkus itu ke salah satu kotak makanan milik Dokter. Kemudian aku menyodorkan bungkus churros yang kosong itu di dekat mulutnya.
Tangan Dokter langsung menyergap bungkus makanan yang aku sodorkan dan langsung memegangnya.
" Huekk—"
Sudah kuduga dia akan seperti ini.
"—Uuhhh. Hueekk—"
Setelah semua makanan yang masuk ke dalam tubuhnya kurang dari 6 jam terakhir, tidak heran dia bisa menjadi mual seperti ini. bermain Hoverboard dengan ganas tadi pemicu utamanya.
Kenangan terburukku adalah dimuntahi Fadil dan Rani beberapa menit secara bersamaan saat Study Tour di sekolah dulu. Semenjak itu aku selalu peka dengan hal berbau orang yang ingin muntah.
Aku mengelus-elus bahunya dan Dokter masih memuntahkan semua kedalam bungkus makanan yang dia pegang.
" Uuuu. Minyak angin! Huek—" tangannya menunjuk-nujuk ke arah tasnya.
Dengan sergap aku menangkap kode dari Dokter dan langsung mencari Minyak angin dari tasnya. Aku menemukan beberapa Freshcare dari dalam tasnya.
" Mau yang rasa apa?" Aku sengaja memancingnya.
" Yang mana aja! Uuu."
Aku segera mengambil Freshcare original dari tas Dokter, dan langsung memberikan itu kepadanya. Dokter masih sibuk memegangi bungkus makanan dengan tangan yang bergetar. Dia hanya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas kepadaku. Namun aku tahu dia menyuruhku untuk mengolesi itu ke dahi dan sekitar lehernya.
Waduh, aku harus mengolesi ini ke lehernya?
Tangan kanan Dokter langsung mengangkat jilbabnya dan menunjuk ke area leher yang harus aku olesi. Ini benar-benar absurd. Tapi baiklah, akan aku lakukan ini.
Perlahan aku mengolesi Freshcare ke area lehernya. Sesekali aku memijat bahunya dan itu malah membuat dia memuntahkan apa yang baru saja kami minum barusan. " Hei, boba yang kamu minum tadi keluar!" Aku tertawa setelah tidak sengaja melihat itu keluar dari mulut Dokter.
" Uuuu, Diamlah. Hueek—"
Dokter ingin tertawa saat aku menyinggung masalah boba itu, namun dia harus takluk dari perasaan mual yang sedang dia perangi saat ini.
Setelah beberapa saat, dan beberapa orang yang melintas di depan kami ikut membantu Dokter agar perasaan mualnya reda akhirnya itu mulai membaik. Aku mengambil bungkus makanan bekas limbah bahaya dari tangan Dokter kemudian pergi membuangnya ke Tong Sampah terdekat.
Dokter masih mengolesi area leher dan bahunya dengan Freshcare, dan aku tertawa melihat pemandangan ini.
" Aku sudah bilang tadi, ada yang salah dengan lambungmu."
" Ughh, jangan diketawain dong. Uuuu."
Ya, walaupun aku ingin menjahilinya lagi mungkin sudah cukup untuk malam ini. Dia sepertinya terlalu menikmati hari ini sehingga lupa akan kapasitas aslinya sebagai manusia normal. Ini makin membuatku heran kenapa dia memilih profesi dibidang medis setelah semua ini.
" Apa perutmu masih kuat untuk besok?" Aku berdiri di depannya dan menyenggol sepatu flat bewaarna putih yang dia kenakan itu.
Dokter dengan sempoyongan berdiri dan menarik lenganku untuk memperkuat tompangannya. " Kamu kira aku ini apa? Ini masih tidak ada apa-apanya!"
Perkataan itu hanya membuatnya terlihat kuat, dan dia masih merasakan mual dilihat dari betapa pucat wajahnya saat ini. Aku mengambil bungkus makanan sisa churros dan tas Dokter, kemudian menyandangnya ke bahu kiriku. Sedangkan lengan kananku saat ini sedang dipeluk dan menjadi bantal darurat oleh Dokter.
" Pulang, yuk?"
" Ugh." Dokter hanya meringis kesakitan dan berjalan dengan memeluk lengan kananku agar bisa membuatnya berjalan seimbang.
" Boba..."
" Huh?" Aku mendengar Dokter mengatakan sesuatu.
" Bobanya! Jangan lupa bawa pulang!"
Astaga, dia tidak ada kapoknya.
" Buklannya sudah kamu muntahkan tadi?"
" Karena aku mutahkan aku ingin meminumnya lagi."
Aku rasa malam ini terus berlanjut. Dan sepertinya aku mulai terbiasa dengannya.
Aku masih menyimpan tanda tanya tentang asal-usul sifat doyan makan Dokter selama ini. Dia memesan 4 boba dengan varian berbeda untuk kami bawa pulang tadi. Dan kini, setelah beberapa menit yang lalu dia memuntahkan banyak hal karena perutnya kelebihan stok dia menyedot boba yang kami pesan tadi dengan santainya.
Karena aku tahu suasana hatinya sedang sangat buruk saat ini aku menyelimuti badannya dan Dokter seperti membuat tenda di sini. Seakan dia menyiapkan semuanya untuk membuat dirinya nyaman di dalam sini.
Wajahnya yang masih pucat karena habis mutah tadi terlihat cuek saat sedang menyedot boba dengan kesal. Sepertinya itu nyangkut di sedotannya. Tentu saja aku tidak beranai mengomentari ini, karena sangat sulit dan cukup lama mengembalikan moodnya.
" Oke... kemana tujuan kita lagi?" Aku meregangkan punggungku dan meringis kesakitan setelah sadar tangan kanan dokter mencubit lengan kiriku.
Serius, aku tidak tahu kemana tujuan kami lagi. Mencari makan malam aku rasa tindakan super bodoh yang terlintas di kepalaku. Walaupun mungkin Dokter tidak akan mempermasalahkan itu nantinya. Tapi bukannya perutnya baru saja kelebihan kapasitas dan memuntahkan hampir sebagian isinya tadi?
Dokter melipat selimut yang membuatnya sangat nyaman itu dan meletakkannya ke kursi tengah. Dia menyodorkan boba yang dia minum itu kemulutku. Serius, bagaimana cara menolak ini?
" Aku akan berakhir sama sepertimu jika tidak beristirahat menelan apapun selama beberapa jam kedepan." Dokter terus menusuk-nusuk pipiku dengan sedotan agar aku mau meminum boba yang dia sodorkan itu.
Menyerah adalah salah satu jalan terbaik. Semoga aku tidak berakhir seperti dia nanti.
" Hei, ayo mampir ke rumahmu. Aku ingin ke sana!" Ide gila itu tiba-tiba tercetus dari Dokter.
" Aku rasa itu ide yang cukup buruk."
Wajah penuh semangat Dokter tiba-tiba sirna, dan dia berhenti menusuk-nusuk pipiku dengan sedotan boba, kemudian menghabiskannya dalam sekali sedot. Nafsu makan dia gila, serius. Tapi kenapa badannya tidak gemuk-gemuk?
" Kenapa?"
" Hm, aku rasa hidungku berdenyut-denyut jika semakin dekat dengan rumahku."
" Pfft—"
Dokter menyemburkan beberapa boba ke dashboard. Dia tertawa terbahak-bahak dan langsung membersihkan bekas semburannya itu.
" Serius, apa hidung kamu memiliki sensor?" Tangan Dokter berusaha memegang hidungku namun aku berhasil menghindar.
" Gak, mana ada yang seperti itu."
Aku menatap wajah Dokter yang masih tidak percaya dengan penjelasanku itu. Senyuman yang sangat penasaran itu memberi kode 'katakan kepadaku' agar aku buka mulut tentang alasan tidak masuk akal tadi.
" Aku pencerita yang buruk."
Mungkin kedengarannya aku menolak keras untuk menceritakan apa yang terjadi. Namun itu sepenuhnya murni tentang maksud yang aku katakan. Aku tidak ingin Dokter salah paham atau sebagainya kepadaku.
" Tenang saja, aku pendengar yang sangat baik. Tak masalah!"
Pendengar yang baik.
Pencerita yang buruk.
Aku tak mengira dia akan mengucapkan jawaban seperti itu.
Seperti, dia berusaha menerima kekurangan yang dimiliki orang lain. Jawaban sederhana itu tidak pernah aku dengar dari orang lain selama ini. Itu pertama kalinya aku mendengar jawaban seperti itu.
Pencerita yang buruk dan Pendengar yang sangat baik. Bukannya ini kombinasi yang luar biasa? Aku seperti merasa kembali muda setelah memikirkan ini semua.
" Tentang hidungku, seseorang yang mematahkannya aku rasa sedang menunggu atau bahkan menginap di rumahku untuk menungguku. Jadi aku rasa, itu ide yang buruk untuk datang ke rumah."
" Kenapa tidak datang saja? Dia pasti ingin meminta maaf kepadamu! Hei, aku bisa menjadi juru bicara dadakan kamu kalau kamu tiba-tiba enggan berbicara dengannya! Aku bisa berbahasa inggris dengan lancar asal kamu tahu."
" Gak, dia cuman temanku. Tidak perlu menggunakan bahasa inggris segala."
Membicarakan topik ini entah kenapa membuatku cepat berkeringatan. Semoga Dokter tidak menyadari ini.
" Ya, aku rasa kamu memang butuh waktu untuk ini. Maaf, sudah membahasnya."
" Gak, kamu tidak perlu minta maaf segala. Aku bukannya tidak mau memaafkan dia yang mematahkan hidungku. Itu masalah sepele, serius."
Dokter berhasil menangkap hidungku dan memeganginya.
" Masalah sepele, aku rasa kamu terlalu cuek terhadap tubuhmu sendiri. 'Uuuu, aku kesakitan! Tulangku patah! Uuuu.' Bagaimana kalau hidungmu bisa berbicara dan mengatakan itu."
Cara Dokter menirukan bagaimana hidungku berbicara membuatku tersipu.
" Aku rasa aku akan mengajaknya berbicara setiap hari. Jarang-jarang ada hidung yang ngomong dengan suara seperti itu."
Tangan Dokter tiba-tiba meremas kuat hidungku dan memaksaku untuk menghentikan mobil yang sedang kami naiki ini.
" Aaaaaa!"
Dokter menebak dan meniru aku yang berteriak.
Aku tahu ini salahku karena mengejek cara dia mengubah suara menjadi hidungku tadi. Tapi hidungku yang baru saja terasa baikan seperti kembali patah setelah diremas seperti itu.
" Ngomong-ngomong, aku tidak ingin pulang ke rumah hari ini. Mungkin untuk beberapa hari seterusnya juga seperti itu."
Selagi aku meringis kesakitan, Dokter mengatakan kalimat yang membuatku merasa ada sesuatu yang salah sedang terjadi kepadanya.
" Jadi, di mana kamu menginap malam ini?" Lanjut Dokter sambil kembali membenarkan posisi hidungku yang sedikt mereng karena diremasnya tadi.
" Eh?"