Hari itu berjalan seperti biasa—atau setidaknya, aku mengira begitu. Matahari pagi belum terlalu tinggi ketika aku duduk sebentar di bangku kecil di depan warung Mbak Lis. Dari sudut jalan, seperti biasa, muncul sosok yang familiar: Mbah dengan sepeda tuanya, mengayuh pelan di antara deru kendaraan kota kecil ini. Ada sesuatu dalam cara beliau mengayuh yang membuat waktu seolah melambat.
Biasanya, Mbah selalu melempar senyum. Tapi hari ini, senyumnya tak muncul secepat biasanya. Dan saat aku bertanya kabar, beliau hanya menjawab singkat, “TV-nya rusak.”
Entah kenapa, kata-kata itu terasa berat—lebih berat dari sekadar kerusakan alat elektronik. Aku membayangkan malam-malam panjang di rumah kecilnya, yang kini tak lagi diisi suara dari kotak mungil yang dulu setia menemaninya. Mungkin bagiku, TV tak lebih dari pelengkap. Tapi bagi Mbah, ia adalah sahabat sunyi. Pengisi ruang hening. Penanda bahwa dunia masih bersuara untuknya.
Sebelum Mbah melanjutkan perjalanan, aku menunduk dan salim. Tangannya dingin, kulitnya kasar. Tapi saat itu, seperti ada arus hangat yang mengalir ke dalam dada. Mbah mengangguk, lalu pergi. Namun bayangannya tinggal lama di pikiranku.
Malamnya, dunia berubah wajah.
Aku berbicara cukup lama dengan Andre, teman sekelasku saat SMP. Sudah bertahun-tahun kami tak saling bertukar cerita seperti ini. Ia kini jauh berbeda. Matanya pernah melihat Tokyo—negeri yang selama ini hanya hidup di layar dan imajinasi. Ia bercerita tentang kereta cepat, keteraturan, dan keindahan teknologi yang nyaris membuatku lupa bahwa pagi tadi aku duduk di sebelah Mbah, yang hanya ingin TV-nya kembali hidup.
Aku mendengarkan Andre, namun dalam benakku, dua dunia itu seperti berseberangan. Satu begitu maju, satunya begitu sunyi. Tapi keduanya nyata. Dan keduanya menyentuhku dalam cara yang berbeda.
Hari ini, aku belajar bahwa hidup bukan tentang memilih dunia mana yang lebih indah, melainkan tentang bagaimana kita mampu merasakan keduanya dengan utuh.
Dan ketika aku berbaring malam itu, aku tak merasa lelah. Aku merasa penuh. Ada rasa syukur yang tak bisa dijelaskan—bahwa hari ini, aku diizinkan menyentuh dua sisi kehidupan: yang satu penuh kisah masa lalu, dan yang satu membawa angin masa depan.