Warisan dari Umpan yang Tidak Dikenang

Aku melihatnya duduk di ruangan sepi. Lampu redup memantulkan bayangan tubuhnya yang diam. Di sekelilingnya berdiri rak-rak kayu yang bersih, rapi, dan penuh makna: sepatu-sepatu lama, dipajang seperti piala hidup. Tak ada yang bersuara, bahkan angin pun seolah tahu ini momen untuk diam.

Ia menatap sepatu-sepatu itu — dan aku ikut tenggelam dalam pandangannya. Aku tahu, dia sedang bicara pada masa lalu tanpa membuka mulut.

Aku paham itu karena aku juga pernah menatap jejak yang tak akan terulang. Seperti saat aku menonton kembali tayangan ulang gol Cristiano Ronaldo. Tapi mataku tidak fokus ke golnya. Mataku justru fokus ke satu momen sebelum itu:

Sebuah umpan. Umpan dari kaki kiri Diego Jota.

Itu bukan sekadar bola yang diarahkan. Itu sebuah tanda pengorbanan. Sebuah keputusan untuk tidak mengambil sorotan, demi melihat orang lain bersinar. Sejak itu, aku tahu: sepak bola adalah tentang mereka yang memberi, bukan hanya yang mencetak.

Mereka bilang Ronaldo yang mengubah sejarah Portugal. Tapi aku tahu, sejarah tak pernah diciptakan sendirian. Jota diam. Tapi kakinya bicara.

Lalu Jota pergi. Pergi terlalu cepat. Dan ketika dunia masih sibuk memuja para pencetak gol, aku hanya bertanya dalam hati:

"Ke mana dia sekarang? Naik mobil, katanya. Tapi tujuannya ke mana? Hanya Tuhan yang tahu."

Aku menangis. Bukan karena aku kenal Jota secara pribadi. Tapi karena aku tahu, satu pemain yang hidup dalam keheningan telah selesai menuliskan babak terakhirnya. Dan seperti umpan itu — dia pergi tanpa pamrih.

Beberapa orang kini berkata bahwa anak dari Putry Sari akan menjadi pewaris lapangan. Tapi aku hanya tersenyum kecil. Karena warisan bukan tentang darah selebritas. Warisan adalah tentang siapa yang pernah berdarah di lapangan, siapa yang pernah dihina lalu membungkam dengan ketenangan.

Aku tidak yakin anak Putry Sari akan memahami artinya memberi umpan seperti Jota. Karena dia tidak tahu rasanya jadi bayangan bagi kejayaan orang lain. Tapi aku percaya — anak laki-laki Jota, yang tumbuh tanpa ayah, akan memahami itu semua.

Dan suatu hari, saat dunia menatap stadion yang penuh, akan muncul nama yang menggigilkan pundakku:

"Anak dari Diogo Jota masuk menggantikan nomor 21 — nomor yang dulu dipensiunkan."

Di sisi lapangan, seorang Cristiano Ronaldo tua berdiri dan menaruh tangan di dada. Tak berkata apa-apa, hanya menatap dan memberi hormat.

Itulah tawa terakhir. Yang terakhir tertawa... memang nyata. Dan tawa itu, aku yakin, akan datang dari kaki seorang anak yang mewarisi bukan nama besar — tapi niat suci dari sebuah umpan yang pernah ditulis oleh kaki seorang legenda yang memilih diam: Diego Jota.