1. Kembali

Mataku mulai mengerjap, aroma kuat tercium sangat khas. Bau etanol sangat mendominasi. Bising nya roda yang melindas lantai membuatku sadar kalau aku tidak sedang berada di kamar.

Rumah sakit?

Aku memekik saat melihat seseorang yang aku kenal baik sedang tertidur di kursi tak jauh dari ranjang. Dia melipat kedua tangan dengan kedua mata tertutup layaknya orang tertidur, tapi aku yakin itu bukan posisi yang nyaman untuk disebut tidur. Aku lantas menampar wajahku sendiri, dan berusaha meyakinkan diri atas apa yang kulihat.

Lelaki yang tengah tidur di seberang tempat tidurku, Dia ... Dia ... Adalah ayahku. Tapi anehnya, ayahku sudah meninggal tiga tahun lalu.

"Ini nyata! Tapi ... Bagaimana bisa? Ayah... Ayah di sini?" gumamku dengan pertanyaan yang memang aku lontar kan untuk diri sendiri.

Lelaki itu bangun dan beranjak ke arahku memasang wajah khawatir.

"Nduk... Kamu sudah sadar? Alhamdulillah," katanya dengan wajah lega.

Aku masih tidak menanggapinya, dan hanya terus mengamati laki-laki berumur 45 tahun itu. Dia lantas keluar kamar dan memanggil suster.

Seorang wanita dengan pakaian serba putih, khas rumah sakit masuk dengan membawa kotak aluminium. Dia lantas memeriksa kondisiku. Mulai dari detak jantung, suhu tubuh, kelopak mata, dan rongga mulut. "Syukurlah, Pak. Putri bapak sudah sadar dan stabil kondisinya," jelasnya pada Ayah.

"Aku kenapa? Aku di mana?" tanyaku bingung.

"Kamu di rumah sakit, Nduk. Kemarin tiba-tiba kamu pingsan di sekolah," terang ayah.

Sekolah? Pingsan? Ini makin tidak masuk akal. Terakhir kali ingatan yang kupunya, adalah suami dan kedua anak-anakku. Aku sudah lulus sekolah dan menikah. Apa yang sebenarnya terjadi sekarang? Mana yang nyata dan mana yang mimpi?!

Aku diam, masih berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Di sudut ruangan, ada kalender. Yang paling mengejutkan adalah tahun yang tertera di sana. 2003.

Aku melotot tidak percaya, terakhir kali aku sudah berada di tahun 2017. Aku kembali menatap ayah. Dia diam sejak tadi, hanya mengukir senyum.

"Ayah... di sini? Kok bisa? Padahal kan ayah...." aku tidak menyelesaikan kalimatku, karena kenangan itu terasa masih menyakitkan. Bahkan saat ini aku berharap kalau inilah kenyataan yang sebenarnya.

"Ayah ijin nggak masuk kerja. Kamu sudah satu minggu koma setelah ikut MOS hari pertama di sekolah? Kamu baik-baik saja, kan?"

"Ayah ... Ini nyata? Aku masih ada di tahun 2003? Aku nggak mimpi, kan?"

Ayah diam, melihatku dengan ekspresi kebingungan. Mungkin juga ayah tidak tau apa yang kumaksud. Tak lama ibuku datang bersama mbah uti.

Semua terlihat normal. Namun hanya aku saja yang merasa ini aneh. Jika sebelumnya aku berada di tahun 2017, mengapa kini aku justru kembali ke tahun 2003? Tempat di mana semua bermula. Bukan, kah, pintu ke mana saja doraemon itu hanya imajinasi saja? Semua tidak nyata. Tapi ini benar-benar nyata!

Jika ini memang nyata, maka aku benar-benar merasa beruntung. Aku dapat melihat ayah lagi sekarang. Ayah meninggal di tahun 2011 di saat aku masih sangat membutuhkannya, di saat aku merasa belum bisa membanggakannya. Kini dia ada di hadapanku. Aku segera berhamburan memeluknya.

"Aku seneng bisa balik ke sini. Ketemu ayah, Ibu, ketemu semuanya," kataku sambil menangis. Ayah mengelus punggungku pelan. Sementara Ibu mendekat dan membelai kepalaku. Ibuku juga sudah meninggal lima tahun setelah ayah pergi. Aku bahagia, kembali berkumpul bersama mereka. Mereka nyata, bukan hantu atau bahkan mimpi.

"Kamu gimana? Apa ada yang masih sakit?" tanya ibu.

Aku hanya tersenyum lalu mengangguk. "Aku baik-baik saja, Bu. Alhamdulillah."

Tunggu! Kedua orang tuaku memang ada di sini sekarang, berarti apa yang terjadi di masa depan belum terjadi? Anak-anak ... Mereka ... Arya dan Arsya. Mereka tentu belum ada di dunia ini sekarang. Ada rasa sesak di dada, dan rindu pada mereka. Walau kedua orang tuaku sudah ada di sini, tapi tanpa anak-anak, semua tidak lah sama. Mungkin, kah, ini saatnya aku menebus semua kesalahanku. Mungkin ini saat yang tepat aku memperbaiki keadaan? Benar, kah, engkau memberikan ku kesempatan kedua, Tuhan?

Setelah dokter memeriksa kondisiku, kini aku sudah dibolehkan pulang bersama keluarga.

Sampai di rumah, aku tidak menyangka akan kembali ke rumah ini. Rumah pertamaku, kompleks perumahan asrama khusus polisi, tentara dan pegawai negri sipil. Aku tinggal bersama nenek, karena kakekku dulu seorang PNS. Lingkungan rumah ini sangat dekat jaraknya. Bahkan setiap rumah menempel dengan rumah lainnya dengan bentuk rumah yang sama. Yang membedakan hanyalah cat rumah serta perabotan di teras.

Aku pulang disambut hangat para tetangga dan keluargaku. Sementara aku masih banyak diam. Ada sedikit ketakutan dalam diriku. Jika semua ini tidak nyata dan bisa sewaktu-waktu hilang. Entah saat aku memejamkan mata atau membuka mata kelak.

Ruang tengah, memang menjadi spot keluarga kami mengobrol sambil menonton tv. Mereka membahas tentang semua yang terjadi, awal kabar aku pingsan di sekolah, sampai bagaimana mereka panik karena aku tak kunjung bangun. Aku banyak diam, sejak kecil aku memang terkenal pendiam, tapi bukan itu alasannya aku diam saat ini. Melainkan sosok yang duduk di samping ayah sekarang. Mbah kakung. Sosok ketiga yang sudah meninggal dalam ingatan serta memori ku. Hanya saja, Mbah kakung meninggal jauh lebih lama dari orang tuaku. Wajahnya tidak berbeda, masih sama seperti saat terakhir kali aku melihatnya. Pakaiannya juga sama seperti saat beliau masih hidup. Kemeja cokelat dengan celana hitam. Hanya saja yang membedakan, wajah Mbah kakung lebih pucat dari yang lain. Ayah melambaikan tangan kepadaku. "Kenapa, Si?" tanya ayah.

"Mbah kakung, Yah," ucapku pelan sambil menatap mereka bergantian.

"Mbah kakung?" tanya Mbah uti yang tidak paham maksud perkataanku.

"Iya, tadi ada mbah kakung di sini. Tapi udah hilang."

Mereka diam dan saling pandang. Memang aneh rasanya, tapi aku memang melihatnya.

Teras menjadi incaranku, rasanya aku rindu suasana rumah. Sudah hampir 14 tahun aku tidak berada di sini. Aku tengak tengok, lingkungan kompleks masih sepi, tapi rupanya di rumah nomor 12, seorang gadis sedang menyapu teras tanpa menyadari kalau aku sedang melihatnya.

"Kingkong!" jeritku memanggilnya. Dia sontak menoleh lalu tersenyum. "Eh, Oneng! Udah pulang?" tanyanya sedikit mengeraskan nada bicara.

Dia adalah Kiki, teman ku sejak kecil. Aku biasa memanggilnya kingkong sesuai dengan postur tubuhnya yang sedikit besar. Julukan itu diberikan justru oleh tantenya sendiri, yang umurnya lima tahun di atasku. Sementara panggilan Oneng buatku, karena aku sering lambat memahami obrolan mereka.

"Pulang kapan?"

"Barusan."

"Lu kenapa sih? Bisa koma lama gitu. Gue pikir elu mau mati tau nggak?" terangnya dengan ocehan seperti biasa.

"Hehehe. Iya, mirip bangun dari kematian, Ong. Aku nggak sangka bisa balik lagi ke sini."

Mungkin aku harus merahasiakan semua yang pernah aku alami di masa depan. Aku tidak tau konsekuensi yang akan aku dapat jika membicarakan hal ini dengan orang lain. Bahkan aku tidak tau apa yang akan Tuhan ambil untuk kesempatan kedua ini.