"Mbah, cerita nya gimana sih, kok aku bisa pingsan?" tanyaku penasaran. Mbah yang sedang duduk sendirian di depan tv, menjadi sasaran pertanyaan- pertanyaanku.
"Pas hari pertama MOS, azan dhuhur itu, kamu diantar pulang sama mas Adit, katanya kamu jatuh dari tangga dan pingsan, ya langsung dibawa rumah sakit. Mbah kabarin ayah ibumu, sorenya mereka pulang ke sini," jelas mbah.
Mas Adit adalah kakak kelas, sekaligus tetanggaku, walau rumah kami tidak terlalu dekat tapi dia sering main ke komplek rumahku. Orang tuaku memang tidak tinggal bersamaku, mereka tinggal di kota sebelah karena ayah bekerja di sana. Aku sebenarnya juga disuruh pindah ke sana, tapi aku selalu menolak karena aku lebih betah di sini bersama Mbah uti.
Wah, kalau hari pertama MOS aja pingsan, ini berarti aku udah satu minggu nggak masuk sekolah.
Suara adzan berkumandang, aku segera menunaikan salat maghrib.
Dalam sujud, aku bersimpuh mohon ampun, dan bersyukur kepada Allah. Syukur disertai air mata karena kerinduan pada kedua buah hatiku. Suamiku? Ah, jangan tanya kenapa aku tidak merindukan dia. Karena kami sudah berpisah satu tahun. Pernikahan yang tidak di dasari akal sehat, hanya nafsu belaka, membuat hubungan kami tidak bertahan lama. Ini lah yang ingin aku ubah dalam kesempatan kedua ini. Walau selalu aku merindukan Arya dan Arsya.
Kalau kita berjodoh lagi, Nak, Bunda ingin kelak kita berkumpul lagi, ya.
***
Biip biip biip!
Aku mencari suara aneh yang terus berdering nyaring. Saat menemukan, ternyata ini adalah ponsel lamaku. Ponsel keluaran lama tahun 2003. Hanya ada sms dan telepon saja. Berbeda sekali dengan gadget di masa depan. Beberapa deret SMS masuk dan belum terbaca.
[Si, katanya kamu udah pulang? Aku tadi ke RS nengok kamu, tapi malah nggak ada.] pesan dari Wardani, salah satu sahabatku di SMU. Kami mengenal justru sejak SMP karena satu sekolah, dan kini kembali dipertemukan di SMU yang sama.
[Iya. Aku udah pulang. Besok aku berangkat sekolah kok.]
[Asik! Akhirnya kamu sekolah lagi, aku kangen.]
[Aku juga, Dan. Kangen.]
Pintu kamarku diketuk, ibu masuk dan duduk di pinggir kasur.
"Si, besok ibu ayah harus balik. Soalnya ayah sudah lama nggak masuk kerja. Nggak enak sama Bos. Kamu nggak apa-apa, kami tinggal?"
"Iya, Bu. Nggak apa-apa. Aku udah sehat kok," kataku lalu memeluk pinggang ibu. Tubuh ibu menegang, aku yakin kalau ibu terkejut dengan sikapku yang tiba-tiba ini. Dulu aku sangat cuek dan terlihat apatis, bahkan sama sekali tidak dekat dengan mereka. Bagiku, keluarga itu seperti orang asing yang masuk ke kehidupanku. Sampai akhirnya perlahan aku paham dan mengerti, kalau kesempatan bersama mereka tidak akan kudapat lama.
"Ya udah, makan dulu."kata ibu.
Setelah makan, aku salat isya kemudian tidur. Tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bangun pagi dan pergi ke sekolah.
Dalam mimpi, yah, aku yakin kalau ini mimpi, aku mendengar seseorang berucap. "Manfaatkan sebaik mungkin. Jangan sia-sia kan lagi."
"Sisi! Bangun! Sekolah nggak?!" jerit Mbah yang lalu lalang di depan kamarku. Begitulah caranya membangunkan ku setiap pagi. Namun jika aku tak kunjung membuka, maka tangan dingin Mbah, akan menyentuh kakiku dan itu pasti berhasil membuat rasa kantuk menghilang.
Aku mengerjap, suasana kamar yang gelap membuatku terdiam sejenak.
Apa itu mimpi? Siapa dia, ya?
Tak banyak waktu untuk memikirkan mimpi semalam, karena aku harus bergegas mandi dan berangkat sekolah.
Saat sarapan ayah pamitan seperti ibu kemarin. Mereka memang harus kembali hari ini juga. Sudah lama ayah tidak masuk kerja. Aku pun maklum dan sudah terbiasa dengan kepergian mereka. Biasanya akhir pekan, mereka akan pulang menengok keadaanku, lalu saat pagi buta di hari senin, mereka akan kembali ke kota itu.
Aku berangkat sekolah berjalan kaki, karena jaraknya sangat dekat. Hanya butuh lima menit saja sudah sampai. Letak sekolahku ada di belakang rumah, itulah alasanku memilih sekolah ini di antara sekolah negeri lain.
Sekolah ini, aku kembali lagi ke tempat ini. Berjalan santai menuju kelas yang ada di belakang lantai dua. Jadi aku harus melewati kelas dua dan kelas tiga. Akses kelas yang berada di belakang sekolah dan berada dilantai dua, memiliki alasan lain, agar saat kegiatan ekstrakulikuler pramuka nanti, kami tidak bisa kabur dan mengikuti kegiatan dengan baik. Ada tiga lantai di bangunan kelasku. Lantai bawah adalah kelas tiga jurusan IPS, di tengah kelas satu dan bagian atas adalah ruang kelas kosong yang dipakai untuk menyimpan meja dan kursi yang tidak terpakai.
Aku berdiri sejenak, menatap sekitar. Udara pagi segar ini, ditambah rasa bahagia ini, menjadi satu. Namun, samar aku melihat seorang wanita duduk di tembok pembatas di lantai tiga. Tembok ini memang hanya sebatas perut orang dewasa. Dia hanya duduk sambil menggerak gerak kan kakinya. Entah kenapa pikiranku langsung bisa menebak kalau itu bukanlah manusia. Sejak kejadian aku dapat melihat Mbah Kakung, aku rasa wajar jika kini sosok lain dapat kulihat dengan mudah, dan lagi, akses ke lantai tiga tidak mudah dilalui, karena di tangga yang menuju ke atas sudah dipenuhi meja dan kursi sebagai penghalang kami untuk dapat bebas ke atas. Entah kenapa sekolah menutup jalan tersebut. Jadi rasanya aneh jika aku melihat seorang siswi duduk di sana. Mungkin ini adalah dampak dari kembalinya aku ke masa lalu? Bisa saja, kan?
Aku lantas menunduk, rasanya kepalaku sedikit berat saat melihat siswi di atas. Namun, tiba-tiba ada seseorang yang kini berdiri di hadapan. Aku terhenyak, namun otakku mulai berpikir realistis. Aku yakin dia manusia. Kakinya menginjak tanah, dan tubuhnya segar tercium aroma mint yang sudah pasti berasal darinya. "Eh, Mas Adit?!"
"Kamu udah sehat? Kapan pulang?" tanyanya dengan raut wajah senang. Dia tersenyum dengan sorot mata berbinar.
"Alhamdulillah udah, Mas. Pulang kemarin. Oh iya, makasih ya, soal kemarin."
"Iya, udah ah, nggak apa-apa, pakai makasih segala. Kayak sama siapa aja kamu nih. Yang penting kamu udah sehat. Anak-anak OSIS panik kemarin, kamu pingsan nggak bangun-bangun. Takut kenapa-kenapa."
"Hehehe. Iya, aku juga nggak sangka bakal di sini lagi."
Postur tubuh Mas Adit yang tinggi membuatku sedikit mendongak, obrolan kami cukup hangat di pagi hari yang sedikit dingin. Tiba-tiba seseorang menghampiri kami. Salah satu seniorku, anak OSIS serta Pramuka.
"Kamu udah masuk?" tanyanya sedikit terkejut.
"Udah, kak."
Namanya Dwi, kelas 3 jurusan IPA, dan nantinya akan terjadi perselisihan antara aku dengan kakak kelas karena dia.
"Pulang kapan?"
Belum sempat aku menjawab, siswi yang aku lihat duduk di tembok pembatas, melompat dan jatuh ke bawah. Suaranya berdebum keras. Darah muncrat ke sekitarnya, dan tubuhnya hancur. "Astaga!" aku memekik sambil menutup wajah. Pemandangan itu sangat mengerikan.
"Kenapa?" tanya mereka bersamaan. Mas Adit dan Kak Dwi menoleh ke belakang dan tidak menemukan hal yang kulihat. Mereka menatapku bingung.
"Eum, lupa! Ada PR! Aku duluan ya," pamitku segera berlari kecil ke arah tangga tanpa menatap tubuh hancur tersebut.
Gila! Gila! Gila! Kenapa sih, aku harus melihat hal mengerikan itu?! Astaga! Kenapa aku jadi sering melihat hantu?!
Aku terus berjalan sambil menunduk, beberapa teman sudah ramai berada di depan kelas masing-masing. Ada yang menyapa, dan bertanya kabar, namun aku hanya menanggapi sekadarnya. Aku sudah hapal semua nama mereka, bahkan watak serta kepribadian semua teman satu angkatan ku. Tapi rasanya akan aneh jika aku tiba-tiba akrab dengan mereka, karena ini kali pertama aku masuk sekolah lagi setelah satu pekan bolos. Aku yakin, mereka semua tidak begitu mengenalku.
"Sisi! Kamu beneran udah masuk ternyata! Yakin? Udah baik-baik aja?" tanya Wardani yang berdiri di depan kelas.
"Udah sehat, Dan. Lagian ngapain kelamaan di RS. Bosan."
"Syukur deh. Eh ayok masuk," katanya sambil menggandengku ke dalam. "Ini tempat dudukmu, masih ingat, kan? Jangan-jangan kamu hilang ingatan lagi. hehehe," ledeknya.
"Justru aku ingat semua, Dan," kataku lirih.
Aku diperkenalkan dengan teman-teman satu kelas yang lain. Respon mereka baik, mereka hanya menanyakan pertanyaan basa basi pada umumnya saja. Karena ini kedua kalinya aku bertatap muka dengan mereka, di lintas waktu ini.
Hari ini jam pertama dan kedua pelajaran Bahasa Indonesia dan PPKN. Di masa sekolahku, pelajaran seperti ini masih berlaku, berbeda dengan tahun 2017, kurikulumnya berbeda dan pelajaran makin rumit. Saat guruku sedang menerangkan, ada seseorang yang masuk kelas, pintu memang terbuka sejak tadi. Namun rasanya aku tidak ingin melihat hal itu lagi di pagi hari ini. Pakaiannya kotor dan ada banyak darah menetes di sana. Aku menunduk dan menggumamkan doa dalam hati. Tapi rasa takut ku lebih mendominasi, dan di ujung ekor mata, sosok itu justru malah makin mendekati ku.
Aku menoleh dan dia berdiri tepat di samping mejaku. Tidak ada ekspresi, hanya ada sorot mata kosong dan mengerikan di sana.
"Allahu Akbarrr!!" Spontan memeluk teman sebangku ku, Epi.
"Kenapa sii?" tanyanya bingung karena kini aku juga menangis. Tangan sosok wanita itu menjulur hendak meraih ku. Aku makin panik dan membuat heboh kelas.
"Kenapa itu? Kok nangis?" tanya guruku.
"Nggak tau, Bu," sahut Epi bingung.
Aku memejamkan mata dan terus melafalkan doa-doa. Kali ini tepukan pada bahu, membuatku terlonjak kaget. Rupanya dia Bu Sri, guru pengajar yang terlihat cemas melihatku.
"Kamu kenapa, Si?"
"Eh, eng-enggak apa-apa, Bu," jawabku gugup sambil menoleh sekitar.
"Mau ke UKS? Istirahat aja dulu di sana?"
Saat kulihat di pintu kelas, sosok itu masih di sana.
"Ng-Nggaaak usah, Bu. Di sini aja," kataku berusaha menutupi ketakutan.
Walau aku ketakutan, tapi aku tetap menatap sosok itu. Tapi anehnya dia justru melihat ke arah belakangku.
Aku pun menoleh ke belakang karena penasaran. Ada beberapa teman ku yg laki-laku duduk di barisan itu, tapi ada satu orang yang melihatku penuh arti. Sambil tersenyum lalu mengacungkan ibu jarinya dan berkata "aman" Terlihat dari gerak bibirnya, walau tanpa suara.
Aku masih heran. Apa mungkin sosok tadi pergi karena Angga?
Jam istirahat tiba, Angga berjalan keluar kelas dan aku berusaha menyusulnya. Tangan kirinya kuraih, dan berhasil membuat dia berhenti berjalan dan menoleh padaku. "Angga! Tadi yang gini maksudnya apa?" tanyaku sambil menirukan gayanya tadi.
Dia tertawa kecil.
"Ya udah aman. Tenang aja. Dia nggak bakal berani dekati kamu lagi kalau ada aku," terangnya.
"Heh! Dia siapa?"
"Yaelah. Apa perlu aku perjelas tadi kenapa kamu teriak-teriak?"
"Oh, jadi kamu bisa lihat juga?"
"Iya, aku udah biasa lihat hal begitu, dari kecil. Kalau kamu mulai kapan? Dilihat dari reaksi kamu tadi, pasti belum lama, ya?"
"Bangun dari koma kemarin."
"Oh gitu. Kamu kayaknya mengalami mati suri deh, Si. Biasanya gitu kalau tiba-tiba bisa lihat 'mereka'."
"Masa sih?"
"Mungkin. Entahlah."
Wardani mendekat, dan obrolan ini pun terpaksa kami hentikan. "Ayo, ke kantin! Malah pacaran di sini," guraunya padaku sambil melirik Angga.
"Siapa juga yang pacaran! Dasar!" cetus Angga lalu bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Aku menggandeng Wardani lalu berjalan turun ke tangga. Saat melewati kelas 1-1, aku melihatnya. Yah, dia! Ari. Orang yang menghancurkan hidupku dan membuang ku begitu saja setelah mendapatkan apa yang dia mau. Aku tidak akan pernah mau dekat dengannya lagi, apa pun alasannya. Dia adalah alasanku ingin merubah masa depan.
Sampai lantai bawah, aku kembali melihat ke tempat di mana sosok siswi yang melompat tadi pagi. Sudah tidak ada siapa pun. Namun, saat aku berjalan menjauhi gedung dan menoleh, dia berada di sana lagi. Duduk di tembok pembatas dengan kaki terayun. Sepertinya itu memang kegiatannya setelah meninggal. Kembali mengulang kematian. Sungguh miris.
Wardani terus menceritakan banyak hal saat aku tidak masuk sekolah kemarin. Lalu dari arah belakang, ada dua orang yang bergabung dengan kami. Mia dan Asti. Mereka juga teman satu kelas kami. Mia duduk sebangku dengan Wardani, sementara Asti duduk di meja sebelahku bersama Arif. Kami menuju kantin yang berada di dekat pintu darurat sekolah. Di sana juga dekat dengan lahan parkir kecil dengan dua pohon besar di dekatnya. Kantin itu milik salah satu teman Ibuku.
Kami berempat mengobrol santai sambil menanggapi beberapa siswa di sekolah. Sampai pada akhirnya melewati kelas tiga, dan lagi-lagi bertemu dengan Kak Dwi. Dia terus menatapku dalam. Aku tau, kalau dia menyukaiku, tapi aku berusaha tidak menanggapinya, karena dia sudah memiliki kekasih yang juga satu kelas dengannya.
"Si ... Dwi suka sama kamu, ya?" tanya Wardani yang menyadari kalau dia terus menatapku sejak tadi. "Soalnya pas kemarin kamu nggak masuk, dia tanya-tanya tentang kamu ke aku. Penasaran banget ke kamu."
"Biar aja lah," sahutku malas menanggapi.
"Bukannya dia udah punya pacar, ya?" tanya Mia ikut hanyut dalam pembicaraan ini.
"Dasar, cowok, ya! Buaya darat!" cetus Asti, sinis.
Setelah kelas tiga, kami melewati kelas dua. Di lantai dua, ada seseorang yang dengan sangat jelas terus memandang ku sambil memasang wajah sok manis. Aku tau siapa dia, karena dalam ingatanku, dia salah satu laki-laki yang gigih mengejar ku. Tapi sayangnya, aku tidak menanggapinya dulu. Karena bagiku dia sedikit aneh. Gaya bicaranya yang lembut dengan tatapan sendu memang terlihat manis. Tapi di balik itu, dia ada lah ketua gangster sekolah bernama Schatzi. Menurut rumor, dia mantan pencandu, dengan latar belakang keluarga yang cukup terpandang. Aku balik menatapnya, dia tersenyum, dan otomatis aku pun melakukan hal yang sama. Namanya Beni. Walau dia punya predikat buruk, tapi dia juga salah satu murid pintar di sekolah. Tiba-tiba dia menghilang, dan tak lama muncul lagi di belakangku. Asti yang awalnya berjalan berdampingan denganku, lantas mempercepat langkahnya menyusul Wardani dan Mia. Seolah-olah mereka sengaja memberikan ruang bagi kami berdua.
Dia terus berjalan mensejajariku, kedua tangan di letakkan di belakang tubuh dengan senyum yang terus melebar. "Hai ...," sapa nya ramah.
"Hai, kak."
"Boleh kenalan?"
"Boleh kok."
Kami terus berjalan mengikuti ketiga temanku yang sudah lebih dulu ke kantin.
"Aku Beni, kamu siapa?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.
"Aku Sisi."
"Rumah kamu di mana, Si?"
"Dekat kok. Di belakang sekolah. Asrama itu."
"Oh ya? Bapak kamu tentara, ya?" tanyanya. Dulu belum ada gombalan bapak kamu tentara, ya, bla... Bla... Bla... Pertanyaan ini memang bermaksud sebenarnya.
"Oh bukan. Aku tinggal sama Mbahku, itu rumah dinas Mbah kakung."
"Oh begitu. Eum, aku boleh main kapan-kapan?"
"Boleh kok."
Kami sampai kantin, aku segera masuk dan memesan makanan bersama ketiga temanku. Kak Beni ikut membeli minuman segar dan terus mengekor padaku. Dia terus saja tersenyum saat aku melihat ke arahnya. Lucu memang. Tapi dia sangat sopan sejauh ini. Tidak terlihat predikat buruk yang selama ini melekat padanya. Kami banyak mengobrol bersama. Kali ini teman-teman juga akrab dengan Kak Beni. Bahkan saat kami hendak kembali ke kelas, dia terus mengikuti, padahal ruang kelasnya sudah terlewati sejak tadi.
"Kak Beni nggak masuk kelas?" tanyaku sambil menatap kelasnya yang berada di lantai dua.
"Nanti aja. Aku mau antar kamu ke kelas dulu. Nggak baik anak gadis jalan sendirian. Lihat tuh, banyak mata buaya di sini," tunjuk nya sambil tersenyum. Aku hanya tertawa dan tidak berniat mengusirnya, karena tepat di depan kelas IPA, Kak Dwi terlihat. Dia masih menatapku yang berjalan dengan Kak Beni.
"Eh Sisi jangan panggil aku Kak dong."
"Ya jangan dong. Nggak sopan namanya."
"Jadi kaku tau," katanya lembut.
"Terus aku panggil apa dong. Mas aja, ya?"
"Eum, ya udah nggak apa-apa, asal kamu seneng aja." Dia menggaruk kepala yang pastinya tidak gatal.
Kami sampai di ujung tangga. Tiga temanku sudah berjalan lebih dulu. Kak Beni lantas pamit, tapi aku menahan tangannya saat melihat sosok wanita di kelas tadi muncul di tengah anak tangga.
"Eum, Mas, anterin aku sampai atas, ya?"
"Oh, baiklah. Siap."
Dia berjalan sedikit mendahului ku, tapi terus saja memperhatikan langkahku. Tidak banyak obrolan lagi, karena aku pun merasa tidak bisa fokus kali ini. Semakin mendekat, semakin aku panas dingin oleh sosok siswi itu. Aku heran, ternyata banyak sekali sosok makhluk astral di sekolahku. Apakah dulu banyak siswi yang meninggal di sekolah ini?
Saat sudah dekat sosok siswi itu, aku menggandeng tangan Kak Beni dan berjalan di belakangnya. Sosok itu berdiri di tengah jalan, dan membuatku tidak bisa bebas berjalan.
"Kamu kenapa?" tanyanya dan malah berhenti tepat di depan sosok tadi. "Sakit?" aku yakin pertanyaan itu terucap karena peganganku yang erat.
"Eng-enggak kok, Mas."
"Beneran?"
"I-iya!" Di saat kesempatan ini. Aku berlari ke atas, meninggalkan dia. "Makasih, ya, Mas Ben. Aku duluan!" jeritku.
Kelasku yang berada di ujung koridor membuatku harus melewati kelas lain dulu. Aku terus berjalan cepat dan melihat Angga berdiri di depan kelas. "Kenapa lu?" tanyanya.
"Tuh, di tangga!" kataku segera masuk kelas. Angga terlihat melongok tangga dari tempatnya berdiri. Padahal jelas-jelas dia tidak akan bisa melihat apa yang kusebutkan tadi.
Aku menuju kursi di mana tiga wanita tadi terkekeh melihatku datang. "Dasar! Aku ditinggalin!" omelku.
"Kan kita nggak pengen ganggu, Si," sahut Wardani meledek.
"Fans mu banyak juga, ya," cetus Asti sambil senyum-senyum.
"Tuh, tuh. Dia lagi nyari kamu, Si!" tunjuk Mia ke ruang kelas dua yang memang terlihat dari kelasku, karena kami berada di lantai yang sama, walau berbeda gedung. Beni berdiri di depan kelas, tepat di tembok pembatas sambil menopang dagu terus melihat kelasku ini. Dia lantas melambaikan tangan, lalu meneriakkan namaku. Sampai-sampai teman-teman laki-laki di depan kelas, memanggilku. "Si! Di cari tuh!" Namun aku tidak menghiraukannya.
Kelas masih ramai, karena saat ini pelajaran sedang kosong. Guru pelajaran kali ini sedang ada kepentingan, dan kami hanya disuruh mengerjakan tugas.