3. Pertikaian Beni dan Ari

"Sisi ...," panggil Mas Beni sambil mensejajari langkahku. Aku dan Dani yang memang akan pulang ke rumahku, berjalan sedikit melambat. Seperti biasa, Dani sengaja mampir, karena menghindari privat yang di sediakan orang tuanya. Maka dari itu, dia sering berada di rumahku.

"Eh, mau ke mana, Mas?" tanyaku pura-pura tidak paham.

"Aku boleh main ke rumah?"

"Kapan?" Pertanyaan ini kulontarkan dengan ekspresi sedikit terkejut. Baru saja kami berkenalan, pergerakan Beni cukup signifikan rupanya.

"Nanti malam."

Aku dan Dani saling pandang, dan akhirnya kami menghentikan langkah karena motor Beni yang dia parkir di trotoar, makin jauh.

"Nanti malam?" tanyaku mengulangi kalimatnya. Sementara itu, Dani menyikutku sambil melotot. Entah apa bahasa isyarat yang hendak dia katakan. Aku menanggapi dengan menaikkan alis. Alhasil, Dani segera mencubit pinggangku sambil mengangguk samar. "Eum, boleh deh."

"Beneran?" Beni nampak berbinar.

"Ya iya. Jam berapa?"

"Habis magrib, ya," katanya sumringah.

"Oh, oke. Ya udah aku pulang dulu."

"Hati-hati!" jeritnya saat aku berjalan menjauh sambil menggandeng Dani.

_____

Selepas azan magrib berkumandang. Jantungku sedikit berpacu cepat, lantaran Beni akan datang. Aku berharap dia berhalangan, karena aku sedikit gugup dengan sikapnya yang terlalu agresif seperti ini. Tapi rupanya, keinginan itu berbanding terbalik dengan kenyataan. Saat mbah masuk ke kamarku dan mengatakan kalau ada teman yang datang, dan sedang menunggu di ruang tamu.

"Eh, udah datang rupanya," sapa ku basa basi lalu duduk di kursi agak jauh dari nya. Dia terlihat lebih dewasa dengan kemeja kotak-kotak hitam putih, dan celana jeans biru. Aroma tubuhnya pun tercium begitu aku duduk. Yah, parfum yang ia pakai sebenarnya.

Dia terlihat gugup, dengan kedua tangan yang dikepal di pangkuan, dan hanya tersenyum lalu mengangguk.

"Rumah kamu di mana sih, Mas?" tanyaku membuka obrolan.

"Aku di Mersi. Dekat sama toko getuk goreng pertama. Yang pertama loh, ya. Bukan yang kedua," sahutnya sambil menunjuk arah rumahnya.

"Oh di sana." Aku mengangguk pura-pura paham, padahal aku tidak tau letak persis rumah yang ia beritahukan. Hanya tau, daerahnya saja.

"Kamu lagi ngapain?" tanyanya yang melihatku memeluk buku LKS.

"Oh, tadi lagi buka-buka buku aja. Banyak ketinggalan pelajaran aku."

"Oh iya, ya. Lama juga sih kamu nggak masuk kemarin. Memang nya pelajaran apa?" Dia berusaha melihat sampul buku yang ku pegang.

"Ini, kimia. Aku nggak ngerti sama sekali." Aku menunjukkan buku tersebut dan dia justru menerimanya, lalu membuka halaman demi halaman.

"Mau aku ajarin?" tanyanya masih fokus pada buku di tangannya.

"Memangnya bisa?"

"Eum, bisa nggak, ya? Kita coba deh," ucapnya seolah sedang meledekku.

Aku benar-benar tidak menyangka kalau Beni itu pandai pelajaran kimia. Dia menjelaskan sedikit teori-teori dan rahasia agar aku lebih memahami pelajaran tersebut.

"Jadi gimana? Udah paham belum?"

"Wah, aku ngerti sekarang. Makasih, ya, udah diajarin."

"Ah, kamu bisa aja. Kalau butuh bantuan lagi, bilang aja, ya." Beni tersenyum ramah. Aku tau, kalau dia menyukaiku, sama seperti dulu. Bedanya, dulu aku justru menjauhinya terang-terangan. Aku benar-benar menunjukkan kalau aku tidak tertarik padanya, sampai akhirnya aku baru sadar saat dia sudah berpacaran dengan siswi lain, kalau dia laki-laki yang sangat baik dan manis. Mungkin ini saatnya aku memperbaiki keadaan barangkali.

Tapi tak berapa lama, seseorang berdiri di halaman rumahku. Beni yang duduk di dekat jendela menoleh. "Itu ada tamu," katanya.

"Siapa?" tanyaku lalu berdiri dan memeriksanya. "Ari?!" pekikku sambil melotot.

Aku lantas keluar dari rumah. Ari berdiri di halaman rumah dengan wajah kesal. "Siapa dia?" tanyanya ketus.

"Temen. Kenapa?"

"Berani-beraninya datengin kamu. Dia nggak tau apa, kalau kamu udah pacaran sama aku?" tanyanya kesal. Aku lantas paham ke arah mana pembicaraan ini. "Eh, Mas! Sini!" panggil Ari ke Beni.

Oh, shit! Ternyata kejadian ini kembali terulang.

Beni beranjak lalu berjalan keluar. "Iya? Ada apa, ya?" tanyanya berusaha masih sopan.

"Jangan macam-macam, ya! Sisi itu pacarku," kata Ari sambil menunjuk-nunjuk wajah Beni. Aku segera mendorongnya, agar menjauh. Khawatir terjadi baku hantam di depan rumah.

"Apa-apaan sih!" pekikku lalu menarik tangan Ari menjauh. Kami akhirnya terlibat perdebatan dengan berusaha menekankan nada bicara.

"Suruh dia pergi atau aku bikin ramai sekalian!" ancam Ari.

Beni yang sejak tadi hanya berdiri lantas, masuk kembali dan memakai jaketnya. "Sisi ... Aku pulang aja, ya." Dia terlihat tidak nyaman, tapi masih berusaha mengukir senyum saat berbicara denganku.

"Oh iya iya. Maaf, ya, Mas."

"Nggak apa-apa. Permisi, Mas, saya pamit. Maaf kalau saya mengganggu," kata Beni pada Ari.

Rumahku dan Ari memang tidak begitu jauh. Kami memang bertetangga dan juga berkomitmen. Hanya saja saat itu aku iseng menanggapi Ari saat dia mengungkapkan perasaan. Namanya juga ABG, masih labil, dan kini jiwa yang ada di tubuh ini, sudah berbeda dari Sisi pada garis waktu sebelumnya.

"Kamu apa-apaan sih?!" tanyaku kesal.

"Kamu yang apa-apaan! Kita tuh masih pacaran, kan? Kamu masuk rumah sakit, lama, tiba-tiba udah bawa cowok ke rumah. Kamu amnesia?"

Aku menekan kepala. Tiba-tiba rasa sakit menyerang. "Justru sebaliknya. Aku ingat semua, Ri. Harusnya sebelum kamu ngomong gitu, kamu ngaca dulu! Gimana sikap kamu selama ini! Apa kamu ada buat aku? Apa selama kita resmi pacaran, kamu pernah main ke rumahku, kayak Beni tadi? Enggak, kan? Kamu nggak berani. Kamu selalu ajak temen-temen kamu dan kalian ke rumahku ramai-ramai. Malah lebih sering mereka yang main ke sini, ngobrol sama aku, tanpa ada kamu!"

"...." Ari terdiam. Menunduk dengan nafas memburu.

"Terus. Kamu anggap aku apa? Selama ini, kita ketemu di jalan, boro-boro kamu nyapa aku, nyamperin. Eh, malah buang muka! Udah deh, mendingan kamu sadar diri. Kalau kita pacaran itu nggak pakai perasaan. Cuma iseng dan mengikuti trend. Aku pun tau, kalau kamu, di sekolahmu sana, juga udah punya cewek lagi. Icha! Iya, kan?" tanyaku menantangnya. Ari melotot dan sedikit terkejut dengan perkataanku.

"Kok kamu tau?"

"Aku tau semuanya. Jadi, nggak usah beranggapan kalau kita berdua punya hubungan spesial. Kita ... Putus!" Aku lantas meninggalkannya dan masuk ke dalam rumah.

_____

Alarm hapeku berbunyi lebih dulu dari mbah. Aku lantas duduk sebentar sambil mengumpulkan nyawa yang belum kembali sepenuhnya, lalu berjalan gontai ke kamar mandi, untuk melakukan rutinitas pagi seperti biasanya. Mandi dan salat subuh.

Saat sarapan, aku heran dengan menu di meja makan. Hanya ada nasi goreng, sementara seingatku, sebelum bangun tidur tadi, suasana dapur terdengar ramai. Aku pikir, mbah sedang memasak banyak menu hingga riuh di dapur terdengar sampai kamarku.

"Mbah, tadi pagi masak apa saja? Kok pagi banget, tumben. Biasanya masaknya nanti, nunggu tukang sayur datang," cetusku sambil menyuap nasi goreng ke dalam mulut.

"Kapan? Mbah bangun jam setengah lima tadi kok. Seperti biasa. Lagian kalau udah masak, masa kamu cuma sarapan nasi goreng?"

"Terus yang masak jam dua malam tadi, siapa?"

"Kamu itu mimpi! Makanya kalau tidur baca doa dulu."

Walau aku yakin itu bukan mimpi, tapi aku malas berdebat pagi-pagi begini dengan mbah.jadi kuanggap saja kalau kejadian itu memang mimpi.

Selesai sarapan aku berangkat sekolah. Sengaja aku mampir ke kelas Mas Beni. Sedikit menjauh, tapi setidaknya jika orang yang ingin kutemui muncul, aku akan dapat melihatnya dengan mudah. Rasanya aku sangat bersalah dengan kejadian semalam. Aku harus menemuinya. Harus.