5. UKS

Bau aroma betadine tercium di pangkal hidung. Suara-suara pelan terdengar sampai telingaku dengan jelas. Aku dapat mengenali siapa yang sedang berbicara tersebut. Resti. Dia memanggil Angga dan Imam saat sadar kalau aku mulai mengerang dan terbangun sekarang. Rasanya aku dapat mengingat semua. Alasan kenapa aku berada di tempat ini. UKS.  Sepertinya pingsan akan menjadi kebiasaan baruku sekarang.

"Si? Lu baik-baik aja, kan?" tanya Angga begitu sampai di dalam.

"Ih, Angga! Jangan ditanya-tanya dulu. Biarin dulu Sisi sadar sepenuhnya," timpal Resti.

"Gimana, Si? Udah enakan belum?" Rupanya ada salah satu guru seni di UKS ini. Pak Ranto. Beliau juga dikenal sebagai guru yang sering paham tentang dunia lain. Bagaimana aku tau? Karena aku sudah mengenalnya hampir tiga tahun lamanya. Beliau juga yang akan menjadi guru latihan menari kami nanti. Kenangan yang pernah aku alami langsung muncul. Saat aku dan teman-teman yang memilih ekstrakulikuler seni tari, kerap latihan di sekolah hingga sore hari. Mengikuti kontes di berbagai acara di kota, bahkan sampai ke luar kota. Bergabung dengan sanggar tari sekolah, adalah salah satu hal yang akan tetap kulakukan nanti.

Pak Ranto dan aku saling tatap untuk beberapa menit.

"Lihat apa tadi?" tanyanya datar.

"Serem, Pak. Nggak tau kenapa badanku lemes. Padahal biasanya nggak gitu," jelasku.

Pak Ranto hanya menyilangkan kedua tangan di depan dada, terus menatapku, seolah mencari sesuatu di dalam mata dan pikiranku.

"Nggak apa-apa kok. Cuma kaget aja."

"Pak, bisa tolong ditutup aja nggak?Aku nggak kuat kalau terus-terusan gini," pintaku setengah memohon.

Pak Ranto diam sejenak lalu menarik nafas panjang. "Nggak bisa."

"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Sesuatu yang sudah terbuka, apalagi seperti kamu ini, akan susah untuk ditutup lagi. Nggak usah terlalu banyak dipikirkan. Nanti juga terbiasa. Banyakin salat, zikir, ibadahnya dikuatin. Paling penting, jangan takut. Karena ketakutan kamu itu justru membuat 'mereka' lebih kuat. Nih, hasilnya. Pingsan. Memangnya kamu mau, jadi pasien tetap di sini nanti?" tanya Pak Ranto dan aku segera menggeleng cepat.

"Iya tuh, Pak. Udah dibilangin suruh santai aja, dia malah heboh," tambah Angga, mulai mengadu

"Emangnya kamu dulu nggak kayak gitu? sama aja gitu kok," cetus pak Ranto, pada Angga.

"Ya ampun, malah buka kartu!" desis Angga dan berhasil membuat kami tertawa puas. Senjata makan tuan.

"Ya udah istirahat dulu," kata pak Ranto dan pamit kembali ke ruangan guru.

"Udah gue ajarin doanya, gue juga di samping elu, lah ngapa lu malah tetep tepar sih?" tanya Angga, kesal

"Angga! Udah ah. Kasihan Sisi!" omel Resti.

"Iya Angga mah gitu. Lembut dikit kenapa sih, sama cewek. Pantesan jomblo," tambah Imam.

"Elu pikir, Lu kagak jomblo?" sindir Angga.

"Eh iya ya. Aku juga jomblo." Kami pun tertawa bersama.

"Kalian udah dari tadi nungguin aku, ya? Maaf, ya. Ngerepotin. Balik kelas aja sekarang nggak apa-apa kok. Aku udah baik-baik aja."

"Eh, santai aja, Si. Kita malah seneng. Daripada di kelas, huft. Suntuk. Lagian pelajaran kosong kok. Tuh, temen-temen paling lagi ribut di kelas," sahut Imam.

"Oh gitu. Ya udah, kalian balik kelas aja. Apa ke kantin? Laper, kan?"

"Bener juga. Aku haus banget nih, dari tadi nggak sempat minum," tukas Resti.

"Iya, sana ke kantin sama Imam. Biar aku di sini sama Hangga," ujarku sambil melirik penuh harap pada laki-laki yang berdiri di dekat pintu UKS. Dia justru memalingkan wajah dariku.

Alhasil Resti dan Imam pergi ke kantin, dan akan kembali ke kelas setelah ini. Bagaimana pun juga, mereka pasti lelah karena menemaniku di UKS.

Sementara iyu, Angga tetap ada di sini, tapi dia lebih memilih berada di luar ruangan. Namun aku masih dapat melihatnya dari tempatku duduk.

                             

"Pangeranmu dateng tuh," cetus Angga sambil melihat ke bangunan kelas dua yang memang berada di dekat UKS.

Tak lama Beni muncul dengan wajah cemas. Dia segera masuk tanpa basa basi lagi dengan Angga.

"Kamu kenapa?" tanya Beni, memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia terus memeriksa wajah serta menatapku dalam, lalu menoleh ke Angga untuk meminta penjelasan.

"Biasa. Kalau ketemu setan, ya begitu tuh," ungkap Angga datar.

"Ketemu di mana? Bukannya tadi kalian langsung balik kelas, kan? Nggak mampir ke mana-mana lagi?"

"Langsung balik kok, Mas Ben. Cuma pas di tangga ada yang muncul. Aku kaget."

"Ya ampun. Tapi kamu nggak jatuh dari tangga, kan?"

"Enggak kok. Angga langsung pegang aku, jadi aman. "

Beni menoleh ke Angga yang sama sekali tidak melihat ke arah kami. "Terima kasih, ya, Angga. Kamu sering bantu Sisi selama ini."

"Biasa aja, Bang. Dia udah gue anggap adik sendiri. Jadi bukan masalah apa-apa kok. Gue nggak keberatan sama sekali."

Aku tahu dia mengatakan hal itu agar Beni tidak berfikir kalau kami ada hubungan khusus, karena Angga adalah anak tunggal. Jadi dia bohong tentang adik yang disebutkan tadi

"Ya udah, gue ke kantin dulu, ya. Udah ada Aa di sini. Aman, kan?" tanyanya dengan senyum jail.

"Iye. Sana ke kantin!" sahutku sinis.

"Jutek amat," kata Angga sambil pergi dari UKS.

Aku dan Beni terkekeh melihat tingkah uniknya. Dia terkesan cuek, tapi perhatian.

"Oh iya, kamu lapar? Atau mau aku belikan sesuatu?" tanya Beni yang duduk di dekatku. Entah kenapa setiap dia menatapku, aku salah tingkah. Apalagi dengan jarak sedekat ini. Tapi tiba-tiba aku melihat sekumpulan siswi kelas dua yang lewat di depan kantin, agak lama berhenti dan menatapku sinis. Dia adalah siswi yang tadi kulihat duduk bersama Beni saat rapat OSIS.

"Enggak usah, Mas Ben. Aku nggak lapar kok. Lagi pula tadi udah makan roti dari Pak Ranto, sama teh manis hangat."

"Yakin? Nggak mau makan apa-apa lagi?"

"Yakin."

"Ya sudah."

Beni diam beberapa saat, menatap tiap sudut ruangan berukuran 3x4 meter ini. Ada beberapa foto kegiatan PMR sekolah di berbagai acara sosial.

"Mas Ben?"

"Ya? Kenapa?"

"Eum, perempuan yang tadi duduk sama Mas Ben pas rapat OSIS, siapa?"

"Kenapa?" tanyanya bingung.

"Eum, nggak apa-apa. Cuma pengen tau aja namanya."

"Namanya Upi. Temen sekelas ku. Dari kelas satu bareng."

Orang yang kami bicarakan kembali lewat di depan UKS, dan terus menatapku dan Beni intens. Sepertinya dia sengaja melakukan hal itu.

"Eh, aku balik kelas sekarang aja, ya. Sebentar lagi pergantian pelajaran. Nanti aku telat."

"Lho kamu nggak mau istirahat aja? Pasti guru maklum kok. Kalau perlu aku mintain izin ke guru Mapelnya."

"Nggak usah. Aku nggak apa-apa," kataku lalu berusaha bangkit dibantu Beni.

Akhirnya dia pun memaksa mengantar ku sampai kelas, walau sudah kularang, namun dia tetap bersikeras.

Kali ini dia mengantar ku sampai ke depan kelas, berusaha memastikan agar aku baik-baik saja. Beni pun langsung kembali ke kelasnya, begitu bunyi bel berdering.

Kelas terlihat riuh. Wajar saja ini adalah jam kosong. Situasi di mana kami, para siswa bebas melakukan apa pun, karena tidak ada guru yang mengawasi. Banyak teman-teman yang tidak ada di kursinya. Aku yakin, mereka ada di kantin sekarang.

Tak lama Dani dan Asti muncul sambil membawa kresek hitam. "Nih. Ada titipan dari seseorang," kata Dani dan meletakkan kantung kresek itu

"Dari siapa?" tanyaku heran, lalu membuka isi bungkusan tersebut.

"Ya siapa lagi sih, tentu Aa Ben Ben dong," canda Dani. Duduk di samping ku.

"Itu juga ada tambahannya loh, Si," tukas Asti.

"Tambahan apa?"

"Plus cinta dari Beni, katanya. Ciee."

"Idih!"

Aku senyum-senyum sendiri, menutupi kegugupan sambil menikmati jus alpukat serta roti sobek dari Beni. Dasar, dia itu memang pandai mengambil hati orang.