Mengulang masa lalu, membuatku merasa bagai di drama Korea. Hal yang tidak masuk logika, bahkan saat aku pikir bagaimana awalnya. Aku tidak ingat sama sekali apa yang terjadi. Hal yang membuatku bisa terlempar kembali ke masa lalu, setelah melewati banyak peristiwa di masa depan. Tiba-tiba saja semua terjadi begitu cepat. Bahkan aku pikir, kalau sekarang aku sedang bermimpi. Tapi, jika ini mimpi, mengapa semua terasa sangat nyata, dan aku tidak kunjung terjaga.
Aku kembali teringat kenangan saat berada di garis waktu sebelumnya. Dulu, aku sangat tidak memperdulikan Beni yang setiap wakt berada di sisiku. Perhatiannya, sikap lucunya, dan semua hal yang dia berikan tidak pernah sedikit pun mendapat tempat di hatiku. Aku sama sekali tidak tertarik padanya, sampai akhirnya dia menemukan kekasih baru, yang lebih bisa menerimanya. Saat itu juga, aku baru sadar, kalau dia salah satu yang terbaik, dari sekian banyak laki-laki yang berusaha mendekati ku. Masa lalu Beni yang seorang pecandu, membuatku berpikir ratusan kali untuk menerimanya. Bukan sebagai pacar seutuhnya, tapi menerima semua perlakuannya. Perhatiannya. Karena dulu aku benar-benar menolak dia mentah-mentah.
Apakah sekarang Tuhan sedang berbaik hati untuk membuatku merubah apa yang ingin kuubah di masa lalu. Karena hanya penyesalan yang membuatku terus merutuki diri dengan kondisiku di masa depan saat itu. Hubungan ku dengan keluarga, terutama kedua orang tuaku, sangat tidak baik. Kami tidak dekat sama sekali. Tapi saat detik-detik terakhir, aku baru sadar, kalau mereka sangat menyayangiku. Di saat aku ingin mulai dekat dengan mereka, Tuhan justru mengambil mereka dari sisiku.
Aku pun terjebak pada sebuah pernikahan dini. Menikah dengan laki-laki yang sebenarnya tidak aku cintai. Semua karena rasa sakit hati, bentuk protes karena semua sikap orang-orang di sekitar ku. Tapi lambat laun, aku baru sadar, kalau mereka sangat baik dan tulus menyayangiku. Aku hanya sangat tertutup saat itu, hingga jarang sekali mau bergaul dengan orang-orang maupun mengakrabkan diri dengan keluarga.
Jika memang Tuhan, ingin aku merubah semua itu. Kesempatan kedua ini, tidak akan aku sia-siakan. Aku akan merubah takdir ku.
Aku menyantap makanan dari Beni sambil berdiri di depan kelas, menjadikan pagar pembatas di lantai dua ini sebagai penyangga tangan serta meletakkan makanan tersebut di sana. Pagar pembatas ini hanya setinggi setengah meter, dan di tempat ini merupakan sudut yang paling menjadi incaran kami jika sudah penat berada di dalam kelas selama seharian. Menikmati pemandangan di luar serta angin yang berembus cukup kencang merupakan hal sepele yang menyenangkan.
Kelas Beni yang memang dapat terlihat dari kelasku, membuat kami dapat saling memperhatikan dari kejauhan. Bahkan sekarang dia sedang berdiri di dekat pagar pembatas yang sama sepertiku. Dia tersenyum, memangku tangan, lalu melambaikan tangan padaku. Dari jauh pun, aku dapat melihat dia terus memperhatikanku. Setiap dia keluar dari kelasnya, dia selalu mencari ku dari pandangan nya di sana. Jika melihat keberadaanku, maka pasti dia akan berteriak memanggil namaku. Bahkan aku pun pernah mendengar dia mengucapkan 'I Love You' di sana. Aku hanya tersipu malu, karena teman-teman berhasil menjadikan ini sebagai bahan candaan. Konyol, tapi lucu.
"Makan yang banyak, ya!" jerit nya dengan tangan masih melambai.
Aku pun mengucapkan terima kasih hanya dengan gerak bibir saja. Aku tidak seberani dia untuk menunjukkan perasaan di depan umum seperti ini. Apalagi di koridor lantai dua kelas satu, ada beberapa anak kelas lain yang juga berada di depan kelas sepertiku. Bahkan teman-teman sekelas ku pun duduk-duduk di tangga yang menghubungkan lantai dua ke lantai tiga. Tangga tersebut memang berada di dekat kelasku, karena kelas ku berada paling ujung. Hanya saja, tangga tersebut terhalang kursi dan meja. Agar anak-anak yang berada di lantai dua ini, tidak menjelajahi lantai tiga, yang tidak terpakai. Terlalu berbahaya, dan juga di sana sudah pasti ada penampakan hantu sekolah. Siswi SMU yang kulihat pertama kali saat masuk sekolah adalah salah satunya. Dia masih sering muncul, melakukan hal yang sama terus menerus, tapi untungnya aku sudah terbiasa.
Beni segera masuk kelas, setelah berpamitan tadi. Karena guru kelasnya sudah datang. Kini Angga berdiri di sampingku setelah kembali dari kantin.
"Si, Lu hati-hati, ya, sama cewek yang di sebelah Beni pas rapat OSIS tadi," ungkap Angga tiba-tiba, begitu melihat pria yang kami bicarakan masuk ke kelasnya.
"Gue tau, dia naksir Beni, kan? Bahkan sejak kelas satu mereka sebenarnya dekat."
"Eh, tau dari mana Lu?"
"Hm, nggak tau bagaimana harus cerita ke elu, Ngga, yang jelas gue tau bagaimana ending-nya mereka nanti, Beni sama dia, dan Beni sama gue," jelasku menggantung sambil meneguk es di tangan.
"Jadi maksud elu tentang Lu nggak yakin sama Beni, ini?"
"Iya." Aku masih menatap datar ke ujung pandangan. Di mana kendaraan hilir mudik di jalan raya, di balik gerbang sekolah.
"Kenapa memangnya? Nggak yakin karena ada tuh cewek? Yah, Sisi, belum juga perang, masa elu udah nyerah duluan?"
"Kalau misal perang ini tidak disetujui Tuhan, bagaimana coba?"
"Maksudnya? Kok Lu bisa yakin kalau Tuhan nggak setuju tentang elu sama Beni? Jangan bilang setelah koma kemarin, Lu jadi cenayang, bisa memprediksikan masa depan.
"Ngaco ih. Cenayang apanya. Bisa lihat setan doang itu hasil koma kemarin," tukasku kesal.
"Jadi kenapa lu bisa ngomong begitu?"
"Kamu sendiri kenapa nyuruh aku hati-hati sama tu cewek? Perasaan dia orangnya kalem, nggak bar-bar, layaknya kakak kelas yang suka merisak adik kelasnya cuma karena gebetannya naksir adik kelas?"
"Iya kelihatannya emang dia begitu. Tapi takutnya dia lebih nekat daripada nge-labrak Elu."
"Maksudnya?" tanyaku yang memang tidak paham arah pembicaraan Angga.
"Auranya gelap, dan berubah makin pekat saat lihat elu."
"Wow. Aura? Kamu bisa melihat aura juga? Kok aku nggak bisa?!"protesku yang mendapat jitakan dari Angga.
"Lu pikir gampang dapatin kemampuan gini? Duh, walau ada cara untuk mengasahnya, gue saranin nggak usah deh."
"Kenapa?"
"Bawel Lu. Kenapa sih harus matahin kalimat gue dengan pertanyaan lagi?"
"Habisnya penasaran. Hehe. Terus, aura tubuhku apa nih sekarang?"
"Merah muda. Artinya elu lagi jatuh cinta. Cie, Lu naksir Beni juga, kan? Hayo!"
Aku dan Angga terlihat debat yang tak kunjung usai. Beruntungnya kelas kami tidak ada guru pengajar, karena berhalangan hadir. Beni terlihat sesekali menatap kami di dalam kelasnya. Tawa Angga pasti menarik perhatiannya, karena di depan kelas kami, hanya ada kami berdua saja.
"Nah, sekarang cowok lu lagi cemburu nih sama kita. Elu sih, nempel mulu ke gue!" tukas Angga sambil menunjuk Beni yang kebetulan sekali sedang menatap kami terus.
"Bego! Apa nunjuk-nunjuk!" protesku sambil ku pukul lengannya. Angga makin kencang tertawa dan berhasil kubekap mulutnya hingga ia menghentikan aksinya.
"Eh, tapi gue masih penasaran, sama keyakinan elu tentang masa depan elu sama Beni. Serius, cerita kenapa sih. Inget, ya, Lu nggak bisa bohong dari gue, kelihatan aura lu nanti. Elu beneran bisa meramal masa depan?"
"Bukan begitu. Tapi ... gue udah pernah mengalaminya," ungkapku pelan.
"Hah? Mengalaminya? Maksud Lu bagaimana?"
"Gue yakin, kalau gue cerita, elu nggak bakal percaya."
"Coba dulu cerita sih. Belum juga cerita udah bilang begitu. Kan elu bilang bukan cenayang, yang bisa meramal masa depan, tapi gue lebih kaget pas lu bilang pernah mengalaminya. Bagaimana? ceritain!"
"Oke, gue ceritain, ya. Jadi kemarin pas gue pingsan itu, gue sempat kaget dan bingung. Karena gue seolah balik lagi ke masa lalu, Ngga. Kenangan terakhir yang gue punya, adalah gue udah melewati masa SMA kita, dan menikah sama salah satu temen sekolah ini. Tapi berakhir tidak baik. Gue cerai dan punya dua anak. Tapi kemarin, gue tiba-tiba bangun di masa ini lagi. Saat SMA."
Angga diam sejenak, terlihat berpikir, lalu malah tertawa. Alhasil aku kembali menutup mulutnya sambil memasang wajah kesal.
"Oke, maaf, maaf. Tapi Lu yakin, kalau elu itu dari masa depan dan balik ke masa lalu? Ah, habis nonton film kali, Lu!"
"Yakin, Angga. Bahkan gue tau tentang kalian semua. Duh, gimana buktiinnnya, ya? Nah, gini saja, nanti bakal ada kejadian. Dalam waktu dekat, gue bakal ribut sama kelas tiga, tuh, anak IPA."
"Apa lu ribut sama anak kelas tiga? Perasaan elu anaknya diem, kalem."
"Lu tau? Tuh cewek," tunjukku pada gerombolan siswi kelas IPA yang baru saja keluar dari kelas, "Dia benci sama gue, karena Dwi naksir gue."
"Dwi? Anak OSIS itu? Yang rada sipit mirip Cina, tapi item?"
"Astaga, body shamming banget."
"Kenyataan."
"Iya sih. Nah, pokoknya gitu deh. Lihat saja nanti kalau salah, elu boleh deh ketawain gue sampai lu puas. "
"Oke, terus apa lagi?"
"Oh, ketua OSIS, periode berikutnya, Si Endah, dari kelas 1-1."
"Yang ditaksir kelas tiga itu?"
"Iya, nanti dia sama Mas Adit bakal makin lengket, tapi dia malah pacaran sama Pamungkas."
"Pamungkas? Yang sekelas sama dia?"
Aku hanya mengangguk yakin. Angga terlihat berpikir keras dan berakhir dengan anggukan juga.
"Tapi kalau ini bener, gila sih, keren banget, Si. Lebih dahsyat ketimbang gue yang dari orok lihat demit."
Sontak aku terkekeh mendengar kalimatnya.
"Kalau begitu, Si Agus kalau nanya togel harusnya ke elu saja, ya. Mana si Agus? Gus! Agus!" Aku langsung menginjak kakinya karena menjerit mencari Agus.
"Gila lu! Lagian aku mana pernah sih, ngikutin tren togel. Haram!"
"Yah, nggak bisa ditanya tentang togel dong. Padahal gue mau ikut pasang angkanya. Lumayan empat angka, Si, bisa kaya seminggu gue. Makan bakso tiap hari di kantin."
"Kalau aku gue tau, gue udah beli duluan dari kemarin, bego!"
"Iya ya. Haha. Eh, elu ngomongnya kebawa-bawa gue. Biasanya gue diomelin kalau ngomongnya 'elu gue' mulu."
"Iya, elu sih, jadinya gue ikutan ngomongnya sok Jakartaan."
Kami kembali terdiam, menikmati suasana siang hari di depan kelas dengan keriuhan teman-teman yang bertingkah macam-macam di dalam kelas, belakang kami.
"Terus, apa yang ingin elu rubah sekarang. Pasti banyak hal buruk yang terjadi, kan? Apalagi kita masih muda, dan pasti mudah terjerumus ke pergaulan yang bebas. Eh, gue bagaimana? Di masa lalu?"
"Elu? Elu nggak naik kelas, karena minggat mulu. Terus terakhir gue lihat, pas udah lulus, elu kerja di tea bar di Mall."
"Hah? Masa? Wah, padahal gue ingin jadi dokter."
"Makanya yang rajin sekolah. Perasaan, elu pinter otaknya."
"Begitu, ya?"
"Gue juga begitu, banyak hal yang ingin gue ubah. Salah satunya Beni, tapi nggak tau kenapa, gue merasa sampai kapan pun dia sama gue nggak bisa sama-sama."
"Hm, iya, mungkin yang perlu elu rubah masa depan, fokus ke keluarga, karir lu nanti, misal."
"Iya, Ngga, bener banget. Percintaan itu ibarat bonusnya. Yang jelas, gue harus menghindari si dia, yang nantinya bakal hancurin masa depan gue," kataku sambil melirik kelas 1-1 di ujung tangga.
"Iya, gue setuju. Jauhi orang-orang yang cuma bakal merugikan elu, Si. Elu beruntung, bisa dapat kesempatan gini. Tapi asli, gue masih nggak sangka, dan keren banget sih!"
"Kalau seandainnya kematian itu nggak bisa diubah, paling nggak, gue punya waktu lebih banyak untuk bisa sama-sama orang tua gue. Memperbaiki hubungan kami, begitu kan? Tapi, kenapa sekarang gue bisa lihat setan, ya?"
"Yah, itu juga bonus kali. Kalau dari yang gue dengar, orang yang bisa melihat dedemit, selain bawaan dari lahir, juga karena faktor lain. Salah satunya ya kayak elu, koma. Mungkin elu tadinya jalan-jalan di alam barzah kali. Terus ditendang lagi sama malaikat, karena belum saatnya mati." Tawa Angga kembali menarik perhatian beberapa orang. Memang gila ini anak.
***