Jam pelajaran kosong. Entah mengapa saat mendekati acara LDK OSIS akhir minggu nanti, guru-guru banyak yang berhalangan hadir. Hanya datang di awal pelajaran, memberikan soal dan tugas, lalu kembali ke ruangan. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi ini cukup menguntungkan bagi kami, karena jam kosong adalah surganya siswa.
Kali ini, aku mulai mengerjakan tugas bersama teman-teman. Karena tugas kali ini memang cukup sulit, kami tentu bekerja sama alias menyontek. Lina, salah satu murid yang otaknya cemerlang, duduk di bangku depanku. Ini keberuntungan, karena untuk pelajaran ini, Matematika, aku memang sangat bodoh. Ah, sebenarnya bukan bodoh, tapi malas. Buktinya saat nanti kami naik kelas dua, Pak Dion, memuji otakku, dan menjajarkan ku dalam barisan anak-anak yang cocok masuk ke kelas IPA nanti. Tapi, aku tentu saja memilih IPS saja. Momok menakutkan di kelas IPA, bukan hanya pelajaran matematika saja, tapi banyak pelajaran dengan tema berhitung yang sulit kupahami. Apalagi ditambah gurunya yang terkenal killer. Membuat keinginan masuk ke kelas unggulan tersebut, pupus. Kelas IPA adalah kelas unggulan? Tentu saja, karena saat pendaftaran ke universitas, kita bisa masuk lewat jalur SNMPTN, dan biasanya anak kelas IPA akan otomatis lulus jalur ini. Begitulah yang terjadi di tahun 2005 mendatang.
Tugasku hanya menghitung hal sepele, selanjutnya Lina yang meneruskan. Sampai pada akhirnya, aku merasakan hawa dingin di sekitar. Hidungku mulai terasa gatal. Biasanya jika hidungku bereaksi terhadap udara dingin akan mudah gatal dan berakhir dengan bersih. Rasanya aneh, di siang bolong begini, udara menjadi dingin. Apalagi jendela di kanan kiri ku, terlihat memancarkan matahari yang cukup terang. Tentu artinya, cuaca sedang panas sekarang.
Perlahan telingaku berdengung. Aku merasa seperti sedang tenggelam dalam air. Dengungan telinga ini seperti saat aku berenang tempo hari. Suara teman-teman terasa tidak jelas seperti bergumam. Berkali-kali aku mengorek telinga, tapi tidak kunjung reda. Kepalaku mendadak sakit. Di saat yang bersamaan, aku menatap ke koridor lantai dua, di sana ada seseorang yang lewat kemudian berdiri di depan pintu kelas kami. Aku menelan ludah mengetahui kalau siswi yang bunuh diri di lantai tiga kini berdiri di sana. Tubuhnya yang basah karena darah, membuatku mual. Tapi anehnya, suasana sekitar makin terasa pengap, hampa dan membuatku sulit bernafas. Aku makin tercekat saat dia mendekat. Kini siswi tersebut sudah berdiri di depanku, tubuhku membeku, bahkan untuk memejamkan mata saja, rasanya sulit sekali. Dalam sepersekian detik, wajah mengerikan itu mendekat dengan cepat. Aku tersentak lalu semua menjadi gelap.
Tetesan air terdengar samar, tapi gema nya terasa riuh di telingaku. Aku merasakan sensasi dingin di bawah tubuh. Keras dan kotor. Debunya masuk ke hidung dan membuat gatal hingga aku bersih seketika. Di saat itu juga, aku membuka mata, terkejut, saat mendapati diriku sudah ada di ruangan kelas kosong yang cukup luas. Aku tau ada di mana aku sekarang. Lantai tiga!
Ruangan kelas di koridor ini ada tiga buah. Tangga penghubung ke lantai bawah ada di sisi kanan dan kiri gedung. Padahal setahuku, tangga tertutup oleh meja dan kursi agar kami tidak bisa naik ke lantai ini dengan mudah. Kecuali memang nekat. Sementara aku justru sama sekali tidak punya keinginan naik ke tempat ini, dan tidak memiliki tekad bulat untuk menyingkirkan meja dan kursi penghalang jalan di tangga.
Sunyi. Tidak ada seorang pun di sini, hanya ada meja dan kursi yang di tata di sudut tiap ruangan. Aku berada di dekat pagar pembatas, bagian tengah koridor lantai tiga. Di depanku, ada sebuah ruangan luas tanpa pembatas jendela atau daun pintu. Ini adalah ruang kelas yang berada di tengah, karena ruang kelas yang di kanan dan kirinya masih memiliki pintu dan jendela, dan kini sedang tertutup rapat seperti semula.
Tidak ada satupun makhluk di tempat ini. Aku lantas berdiri, menepuk rok dan baju karena kotor oleh debu di lantai. Samar-samar suara benda jatuh terdengar nyaring. Otomatis aku mencari sumber suara tersebut. Bunyi yang cukup kencang dan jauh. Entah mengapa aku teringat pada sosok siswi tadi. Siswi yang selalu melakukan adegan bunuh diri tiap pagi, selama aku berada di sekolah ini. Siswi tersebut juga yang muncul di ruang kelasku di lantai dua.
Aku segera melongok ke pagar pembatas, melihat ke bawah dan mendapati sosok siswi itu tengah tergeletak dengan bersimbah darah. Posisi serta tempatnya sama setiap kali terjatuh. Aku terus memperhatikannya, kini tubuh yang tergeletak di bawah sana mulai bergerak. Bahkan aku seolah bisa mendengar suara tulang tubuhnya yang remuk. Dia lantas menoleh ke atas dan menyeringai.
Aku terkejut. Mundur dari tembok pembatas dan mulai ketakutan. Saat ini yang ada di pikiran ku adalah aku harus turun ke bawah. Segera saja otakku menyuruh kaki untuk segera berlari menuju tangga. Tapi saat sampai di tangga, meja dan kursi memenuhi lorong tersebut. Tidak ada celah sedikitpun bagiku untuk bisa melewatinya. Aku berusaha menarik salah satu kursi, agar mendapatkan celah untuk menyingkirkan benda-benda ini, tapi semua terasa sulit digerakkan. Akhirnya aku putuskan untuk lewat di tangga satunya. Begitu aku membalikkan tubuh, siswi tadi sudah berdiri di tengah koridor. Menatapku dengan tatapan dingin tanpa ekspresi. Kakiku mendadak lemas. Kini mulai mundur dan terjebak di antara tumpukan meja dan kursi.
Aku ingin sekali menangis saat ini, tapi anehnya semua ekspresi yang seharusnya tumpah, tidak bisa ku bentuk karena sesuatu yang menahannya. Aku hanya bisa diam, melihat sosok itu mulai mendekat. Semakin dekat, tubuhku semakin melemah. Jika ini hanya sebuah mimpi, maka bangunkan aku sekarang juga, Tuhan.
Tiba-tiba ada sebuah suara yang cukup ku kenal berada di belakang. Beni dan Angga. Aku menoleh, lalu melihat wajah keduanya berada di celah meja. Kini suasana yang sunyi tadi, berubah ramai. Di lantai dua, aku mulai mendengar teriakan teman-teman memanggilku.
"Tolong! Angga! Mas Ben!" pintaku dan kini mulai bisa menangis. Aku lantas menoleh ke belakang, berharap siswi tadi menghilang, namun nyatanya dia masih ada di sana. Berdiri memperhatikan tanpa bergerak sedikitpun lagi. Hanya saja, tangannya mulai menjulur ke depan, memanjang hingga perlahan makin dekat denganku. Aku makin histeris menutup wajah dan berusaha menempelkan tubuh ke tumpukan kayu di dekatku. Berharap bisa menembusnya dan berakhir di lantai dua bersama teman-teman.
"Sabar, Si. Sebentar lagi!" kata Beni.
Angga mengerang sambil menekan luka di tangan kanannya. Beni terus memindahkan kursi dari lorong tangga dan memberikannya ke teman di belakang. Celah yang tadinya kecil, kini mulai besar.
"Duh, ini nggak bisa diambil lagi. Mentok!" jerit Angga pada kursi yang ada di hadapannya. Kulihat ada sebuah paku yang menghalangi kursi tersebut untuk dapat ditarik keluar.
"Ayo, sini keluar," kata Beni lalu mengulurkan tangannya pada celah yang sepertinya sudah muat untukku.
Aku lantas mulai merangkak melewati celah sempit itu. Berusaha secepat yang ku bisa sebelum tangan mengerikan itu meraih ku.
Beni memegangi lalu menggendongku keluar dari tangga. Aku pun mendekapnya erat dan bersembunyi di leher jenjangnya.
Sorak teman-teman terdengar mengharukan, saat usaha penyelamatanmu berhasil. Beni segera membawaku masuk ke kelas, duduk di kursi yang seharusnya sejak tadi kududuki.
"Minum! Minum!" pintanya panik sambil menatap teman-teman di sekitar ku. Dani memberikan botol air mineral dan Beni membuka tutupnya lalu memberikannya padaku.
Beberapa teman mengerubungi dan berbisik-bisik. Aku tidak memperdulikannya. Karena lepas dari setan tadi saja sudah merupakan nikmat yang besar bagiku.
Beni berada di depanku dengan posisi setengah jongkok. Beberapa teman laki-laki di luar penasaran pada lantai tiga, di mana aku berada di sana. Mereka berdiskusi sambil merapikan kursi-kursi tadi bersama Angga.
"Kok aku bisa ada di atas?" tanyaku pada Beni dan teman-teman yang ada di sekeliling.
"Kamu nggak ingat?" tanya Beni. Aku pun menggeleng karena memang bingung bagaimana caranya aku bisa naik ke sana, sementara teman - teman di luar saja kesulitan melewati tumpukan kursi dan meja di tangga itu.
"Kamu tiba-tiba jalan keluar kelas tadi. Kita panggilin, eh kamu nggak noleh sama sekali. Terus pas Angga nyusulin keluar, kamu udah nggak ada. Kami semua nyariin kamu loh, Si. Eh, tiba-tiba Mas Ben datang, terus bilang kalau kamu di lantai tiga. Harusnya kami yang tanya, kok kamu bisa ke atas secepat itu. Padahal Angga langsung nyusulin kamu, nggak ada jarak satu menit sekalipun.
"Kok kamu tau aku di atas, Mas?" tanyaku beralih ke Beni.
"Aku lihat kamu berdiri di atas, dekat pagar pembatas itu. Buatku aneh banget. Karena tempat itu, kan, ditutup lama. Aku mikir, ada yang nggak beres. Makanya aku langsung ke sini. Untung kamu nggak apa-apa," jelasnya sambil mengusap wajahku.
"Mana Sisi?" tanya sebuah suara yang baru saja masuk kelas. Beni dan yang lain menjauh saat Pak Ranto mendekati ku.
"Kamu nggak apa-apa?"
Aku hanya menggeleng, lalu berhambur memeluk pria berkumis tebal tersebut. Tangisku pecah, dan Pak Ranto hanya mengusap punggungku sambil menggumamkan doa.