Sampai di halaman rumah, ada sebuah mobil jeep parkir. Tentu aku bertanya-tanya siapa tamu di rumahku sekarang. Saat aku mengucap salam dan masuk ke rumah, di ruang tamu sudah ada dua orang pria dan ayahku yang baru saja keluar dari dalam rumah membawa sebuah nampan berisi camilan.
"Loh, Ayah? Datang kapan?" tanyaku lalu menyalaminya, mencium punggung tangan ayah dan memeluk pria tersebut.
"Baru saja. Ayah mampir, soalnya hari ini nemenin Om Bagus dan Om Heri nyari oleh-oleh."
"Yah, nggak nginep dong," kataku merajuk.
"Ya enggak, nduk. Lagi pula Ibu mu kan di rumah sendirian, sama Agung. Kasihan nanti."
"Oh iya ya."
"Salim dulu sama Om Bagus dan Om Heri dong."
"Oh iya." Saat tanganku bersentuhan dengan keduanya ada semacam sengatan listrik kecil yang membuatku keheranan. Mereka justru tersenyum sambil terus menatapku. "Aku ganti baju dulu, ya."
Setelah ganti baju, lantas makan, aku pun dipanggil kembali oleh ayah. "Sini, nduk, duduk dulu." Ayah menepuk kursi di sampingnya. Entah mengapa perasaanku mengatakan ada sesuatu yang hendak dibahas oleh mereka denganku.
Ketiganya diam sejenak. Seolah sedang mengumpulkan kata-kata untuk memulai sebuah pembicaraan serius.
"Kamu dari mana?" tanya Om Heri menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Rasanya kok aneh. Kamu bukan dari sini, ya?"
"Aneh gimana, Om? Aku baru dari sekolah."
"Bukan itu yang Om tanyakan. Tapi asal kamu."
Seketika jantungku seperti berhenti berdetak. Pertanyaan itu seolah melucuti semua jati diri serta kegundahanku sejak kembali ke sini.
"Eum, Om percaya? Kalau aku bilang datang dari masa depan?"
"Wah, kamu habis nonton film apa, nduk?" tanya ayah sedikit bercanda.
Tapi Om Heri tampak serius menanggapi perkataanku. Sementara Om Bagus ikut tersenyum seperti ayah.
"Aku serius."
Senyum ayah berhenti. Berganti ekspresi tanda tanya besar di wajahnya. "Mungkin aneh, aku juga nggak tau, apakah kenangan di tahun ini sampai tahun 2017 itu cuma mimpi atau khayalanku aja. Tapi aku sudah mengalaminya sendiri."
Mereka lantas diam dan saling pandang. Seperti sebuah diskusi dengan batin yang hanya mereka bertiga yang tau.
"Bedanya, aku sekarang bisa melihat hantu, setan, atau jin usil yang biasanya ada di tv. Mungkin ini efeknya. Atau mungkin sebenarnya aku seharusnya sudah mati, dan hidup lagi. Lalu kenangan di masa depan itu cuma gambaran ilusi aja?" aku kembali melontarkan anggapan dan pernyataan yang membuat mereka makin diam.
"Tapi, kamu memang aneh sejak bangun dari koma kemarin. Sisi yang Ayah kenal, nggak seperti ini. Jarang ngobrol sama ayah, dan bahkan nggak mungkin kamu bisa mengatakan kalimat tadi," ungkap ayah yang mulai sependapat denganku. "Mungkin yang kamu lihat memang gambaran masa depan saat kamu koma kemarin, nduk."
"Aku harap seperti itu, Ayah. Atau mungkin ini kesempatan kedua yang Tuhan kasih buat aku, untuk memperbaiki keadaan, dan masa depan ku nanti."
"Memangnya apa yang kamu lihat di sana? Atau apa yang terjadi di masa depan, seperti yang kamu bilang barusan?"
"Banyak. Semua hanya penyesalan. Aku takut itu terjadi, kalau aku nggak merubah sikap sekarang."
Entah mengapa aku tidak berani mengungkapkan semua pada mereka. Terutama ayah. Bagiku, tidak penting lagi apa yang terjadi di nanti, kenangan masa depan yang kualami tersebut, yang penting sikapku sekarang. Bagaimana menyikapi hal tersebut, agar aku tidak kembali terjebak pada hal buruk seperti itu.
"Hidup, mati, semua takdir Allah, Sisi. Kalau pun kamu mungkin, merasa pernah ada di masa depan, dan kembali ke masa lalu, kita petik saja hikmahnya. Seperti yang kamu bilang, memperbaiki keadaan. Om yakin kamu cukup dewasa untuk tau itu. Apa yang terbaik dan patut untuk kamu raih dan pertahankan." Om Heri terlihat bijak, dia pun tidak lagi memasang wajah serius seperti awal melihatku tadi.
"Terus tentang makhluk yang kamu jumpai, gimana?" Kali ini pertanyaan muncul dari Om Bagus, yang sejak tadi diam.
"Kamu betul bisa melihat hantu, nduk?" tanya ayah serius.
"Bisa, Mas, mata batinnya memang terbuka kok," tukas Om Bagus. "Benar, kan, Si?"
"Iya, Om. Baru san aja ada kejadian mengerikan. Aku sering diganggu sama setan ini nih. Dia yang pertama kali aku lihat di sekolah. Siswi bunuh diri. Lokasi bunuh dirinya kebetulan di lantai atas kelasku." Aku menjelaskan peristiwa yang baru aku alami tadi. Semua detil dan tiap kemungkinan.
"Hm. Memang hal gaib kadang nggak bisa kita telaah dengan akal sehat. Alasan kamu kenapa bisa sampai ada di lantai tiga saja, cuma gaib yang bisa melakukannya. Dipikir bagaimana pun juga, logika kita nggak bisa sampai ke sana, Si," jelas Om Bagus.
"Terus aku harus gimana, Om? Apalagi besok ada kegiatan di sekolah, nginep lagi. Pasti bakal lebih serem nih."
"Om ada titipan dari Eyang kakungmu. Tadi dibawa bapakmu, tapi bapakmu nggak tau," sahut Om Bagus.
"Eh titipan apa sih, Gus?" tanya ayah bingung.
"Ini di belakangku, Mas," kata om Bagus lalu muncul seekor harimau putih dari belakang tubuhnya. Aku merapatkan diri pada ayah. Sementara ayah justru terkekeh pelan.
"Kirain apa." Ayah terkesan sudah tau siapa dan apa tujuan makhluk tak kasat mata lain, di belakang Om Bagus.
"Yah, kok ada macan?" tanyaku berbisik.
"Iya. Memang itu dari Eyang kakung kamu."
"Eyang kakung yang mana?" tanyaku bingung.
"Yang dari Sukabumi. Eyang Sastro. Ingat? Ayah pernah cerita belum, ya?"
"Oh iya. Aku tau. Tapi itu bukan Eyang, kan?"
"Bukan. Ini berbeda. Dia ini yang akan menemani kamu mulai sekarang," sahut Om Bagus.
"Om, apa nggak apa-apa? Ini bukan syirik atau sejenisnya?" Pertanyaan yang riskan untuk dibahas, apalagi di depan makhluk tersebut. Dia hanya menatapku tajam, lalu duduk di samping Om Bagus.
"In'sya Allah nggak apa-apa, Si. Asal niatnya yang baik. Bukan untuk menyembah. Lagi pula kehadiran dia justru untuk melindungi kamu dari makhluk lain seperti yang ada di sekolah kamu."
"Bener, Yah?" tanyaku ke ayah.
"Iya. Nggak apa-apa, nduk. Terus rajin ibadahnya. Jangan putus. Justru dia akan mengingatkan kalau kamu lupa ibadah, atau kamu melakukan hal tidak baik nanti." Kalimat ayah membuatku yakin, dan berusaha menerima apa yang sudah ada di depan mata. Jin pendamping. Sangat mirip dengan berbagai cerita yang pernah kubaca. Kini, aku justru memilikinya.
"ngomong-ngomong siapa namanya?"
"Namanya Javas."