13. Kesurupan

Pukul 20.00

Kami berkumpul di aula sekolah. Duduk di lantai begitu saja, tentu dengan posisi berbaris rapi sesuai arahan senior. Tubuh rasanya lengket, padahal aku sudah menyempatkan mandi sebelum berangkat ke sekolah. Tapi kegiatan yang cukup menguras tenaga di sini, membuatku mudah berkeringat. Sebenarnya sejak tadi kami tidak banyak melakukan kegiatan yang menyita tenaga, tapi karena intensitas berjalan ke sana ke mari yang cukup sering, maka tetap saja produksi keringat berlebih menjadi bagian dari ketidaknyaman-an tubuhku malam ini. Ditambah lagi, biasanya di jam seperti sekarang, aku sedang berada di kamar membaca buku.

Acara hanya diisi tentang pembentukan pribadi yang berkarakter. Kami semua yang mengikuti kegiatan ini sudah pasti akan masuk menjadi anggota organisasi OSIS di sekolah. Apalagi kelas tiga sebentar lagi akan fokus untuk mempersiapkan ujian, jadi semua kegiatan organisasi sekolah, baik OSIS, PMR, dan PRAMUKA, akan diserahkan pada adik kelas.

Nasi bungkus pun sudah disiapkan, kemudian dibagikan pada kami secara berurutan. Makan malam yang ala kadarnya, bukan masalah menu yang disantap, tapi kondisi tempat yang hanya duduk di lantai yang dingin. Bahkan aku merasa mirip gembel yang biasa ada di depan toko.

Masuk Kak Dimas dan berbisik pada temannya. "Panggilan kepada Sisi dan Angga, harap ikut saya, setelah makan."

Aku sontak mencari keberadaan Angga yang ternyata duduk di barisan belakang. Alis yang bertautan dan bergerak naik turun, merupakan pertanda kalau kami berdua sama-sama tidak tau apa yang terjadi. Mengapa hanya kami berdua yang dipanggil. Alhasil selera makanku mendadak hilang. Aku segera menutup nasi bungkus yang belum habis sepenuhnya, dan beranjak menuju pintu keluar, Angga pun demikian.

Kami lantas diantar menuju ruang OSIS yang berada di lantai dua, atas ruang guru. Dari luar saja, sudah terbaca apa yang sedang terjadi. Suara jeritan seseorang terdengar ramai dari koridor. Aku dan Angga saling tatap. Paham akan kondisi yang sedang terjadi di dalam. Begitu masuk ke ruang OSIS, semua orang yang berada di dalam, mengerumuni seseorang. Lalu tak lama, Beni ikut menyusul kami dengan lari tergopoh-gopoh. Rupanya Upi kesurupan. Dia sedang dipegangi oleh beberapa senior dan sepertinya mereka kewalahan. Beni mendekat dan hanya panik melihat kondisi kekasihnya. Dia ikut memegangi Upi dengan tatapan iba.

Angga menyenggolku, lalu menunjuk wanita itu hanya dengan dagu. Aku menarik nafas kasar. "Bantuin sana!" bisikku agak menekankan kalimat.

"Sisi? Angga? Tolong bantu, ya. Pak Ranto nggak ada, tadi aku telepon, katanya suruh kalian saja yang tangani," ucap Kak Budi.

"Oh, oke, Kak." Angga mendekat, melihat aku hanya diam saja, dia lantas menarik tanganku dan membuatku terpaksa mengikuti langkahnya.

Beni menatapku, getir. "Si, tolongin Upi, ya, please."

Aku kembali menarik nafas dalam. Rasanya udara di sekitarku menipis perlahan. Tapi demi kemanusiaan aku harus menolong Upi. Sedikit banyak, aku paham apa yang harus kulakukan di saat kondisi seperti ini. Aku banyak diajari oleh Angga, dan juga Om Bagus tempo hari.

"Si! Ayok, buruan!" ajak Angga.

Aku lantas mendekat, mulai memegangi telapak tangan kanannya. Angga memegangi kepala Upi dan mulai melafalkan azan di telinga. Aku terus menggumam doa-doa, sambil memijat jemarinya. Wanita itu menggeram, berusaha melepaskan diri. Beberapa senior juga ikut memegangi kaki serta tangan kirinya.

"Semua bantu doa juga, ya," pintaku.

Upi lantas menjerit saat Angga menarik sesuatu dari kepalanya, keluar. Aku beralih ke bagian perut, menekan dari luar sesuatu dan menariknya ke atas. Di saat itu, Upi menjerit kesakitan, melotot dan meracau dengan kalimat kasar. Aku tidak menanggapi serius, hanya menatapnya dan terus berdoa, agar makhluk di dalam tubuhnya keluar.

Perlahan tubuhnya melemah, jeritan terakhir yang keluar dari mulutnya, membuat Upi tak sadarkan diri.

Dia lantas dibawa ke UKS, ditemani Beni. Aku dan Angga lantas kembali ke aula, karena kegiatan belum selesai.