Tibalah saat yang paling menyebalkan. Jurit malam. Bagi sebagian orang yang tidak tau istilah ini, biar aku jelaskan sedikit. Jurit malam itu kegiatan yang biasa dilakukan di sekolah, saat ada acara persami atau LDK seperti ini. Biasanya agenda jurit malam, hanya berjalan mengelilingi sekolah, sendirian, atau berdua dengan teman. Bahkan ada juga yang justru menjalaninya di area perkuburan. Biasanya akan ada penampakan, entah itu benar dari makhluk gaib, atau hanya buatan senior saja.
Mungkin dulu, aku tidak mempermasalahkan hal ini, karena aku tidak sensitif. Tapi sekarang, berbeda.
Pukul 22.00 di saat kami yang awalnya disuruh istirahat di ruangan masing-masing, malah kini dibangunkan, dan disuruh kembali ke lapangan depan sekolah. Senior mengejutkan kamu dengan panggilan lantang, dan membuat beberapa teman-teman kocar kacir karena harus berganti pakaian. Untungnya aku masih memakai seragam dan sudah siap untuk kegiatan rutin ini.
Kami berkumpul dan berbaris. Senior memberikan pengarahan pada kegiatan yang akan kamu jalankan. Satu kelompok diisi dua orang. Aku bersama Imam. Sambil menunggu giliran, kami hanya diam dan mengamati sekitar. Dari satu kelompok ke kelompok lain akan diberi waktu sekitar 10 menit. Kini tiba giliranku. Aku dan Imam harus mengambil dasi OSIS di tiap pos yang sudah di letakkan di beberapa sudut sekolah. Kami harus mencari pos tersebut, tanpa ada informasi letaknya. Ada sekitar 10 dasi yang harus diambil, otomatis 10 tempat juga yang harus kami cari dan datangi.
Lima pos pertama berjalan lancar dan mudah ditemukan. Giliran pos keenam, Imam pun langsung dapat melihat keberadaan meja yang di letakkan di sudut belakang sekolah, tepatnya dekat kantin.
"Gila, kenapa naruh nya di tempat sepi gitu. Paling belakang lagi. Kan serem!" umpatnya kesal.
"Ya mau ditaruh mana? Pinggir jalan? Bukan jurit malam namanya."
"Eh, ada yang jaga. Untung aja." Imam segera berjalan lebih cepat dariku. sementara aku justru memperlambat langkah, karena merasakan keanehan tersebut.
"Makasih, Kak. Pos selanjutnya di mana, ya?" tanya Imam tanpa curiga. Aku hanya memperhatikan dari kejauhan.
Wanita berpakaian OSIS lengkap tersebut hanya menunjuk ke arah utara.
"Oke. Makasih sekali lagi, Kak."
Aku lantas menarik tangan Imam agar segera pergi. Baru beberapa langkah kami menjauh, terdengar suara kikikan pelan. Kami lantas berhenti, lalu menoleh. Siswi yang tadi berdiri di dekat meja pos, kini lenyap. Diikuti suara tawa melengking yang samar.
"Astaga, Si! Itu apa!"
"Bego! Ngapain pakai nanya. Masa nggak tau itu apa!"
"Jadi ... Tadi setan?"
"Ya iyalah! Masa kamu nggak sadar. Di pos sebelumnya aja nggak ada petugas yang jaga. Masa di situ ada orang? Mana di pojok sekolah lagi!"
"Ya ampun!" Kami berdua lari dan berusaha mencari pos selanjutnya. Benar saja. Hanya beberapa meter dari pos sebelumnya, kami segera menemukan pos selanjutnya. Letaknya pun agak tersembunyi. seolah sengaja diletakkan ditempat tersebut agar tidak mudah ditemukan. Aku segera meraih dasi selanjutnya, lalu kembali berlari.
Tapi rupanya suara tawa dari wanita tadi masih terdengar. Samar. Yang artinya dia sangat dekat dengan kami.
"Si. Kok masih ngikutin kita sih!" Imam terus mengedarkan pandangan ke sekitar. Mencari sosok wanita tadi.
"Naksir kamu kali. Hahaha."
"Ngawur!"
Tiba-tiba dari sudut ekor mataku, ada sekelebat bayangan melintas. Aku mendongak dan melihat sesuatu terbang di atas kami. Imam pun melakukan hal yang sama. Rupanya dia juga melihat nya dan kini berdiri kaku, tidak bisa bergerak. Aku menarik tangannya, tapi dia tetap diam di tempat.
"Mam! Imam! Jangan gini ah! Ayok, pergi. Awas ya, aku tinggal. Mau?"
Dia melirik padaku dengan wajah kaku. Berusaha memberikan tanggapan tapi seolah sangat sulit untuk menggerakkan tubuhnya.
Aku menghembuskan nafas dalam-dalam. Berusaha berpikir jernih untuk waktu yang sangat tidak tepat ini. Telapak tangan kanan aku letakkan di kening serta mata Imam. Merapalkan doa sebisanya berharap dia dapat kembali normal lagi. Sampai akhirnya kelompok selanjutnya mulai terdengar. Mereka heran melihat kami yang hanya berdiri tanpa bergerak.
"Ngapain?" tanya Angga. Untungnya mereka adalah Angga dan Resti.
"Si Imam, kesambet!" sahutku.
"Ya ampun." Angga membantu dan akhirnya Imam dapat kembali normal seperti sedia kala.
Kami melanjutkan perjalanan berempat. Sampai finish, beberapa senior bertanya tentang keterlambatan kami. Aku pun menjelaskan yang terjadi. Beberapa anggota juga mengungkapkan hal serupa. Tapi mereka tidak sampai terhipnotis seperti Imam. Hanya mendengar suara tawa wanita, dan melihat sekelebat bayangan melintas. Akhirnya acara jurit malam berakhir. Karena takut akan mengalami korban lain. Panitia menghentikannya.