Sepulang dari kegiatan LDK, aku hanya menghabiskan hari minggu dengan tiduran saja di kamar berukuran 3x3 meter ini. Mendengarkan musik era 2000an yang diputar di sebuah walkman yang memang sudah aku miliki sebelumnya. Aku termasuk penyuka musik dan sering membeli kaset original di swalayan. Biasanya aku pergi sendirian, saat akhir minggu, hanya untuk membeli kaset band kesukaan atau sekedar mencari novel romansa SMA yang ringan. Khas anak SMA pada umumnya.
Malam harinya, mbah masuk ke kamar, memberitahukan kalau ada teman yang bertamu ke rumah. Aku penasaran tentunya, siapa yang ke rumahku di malam begini? Mungkin, kah, Beni? Ah, sepertinya bukan. Lagipula aku tidak memiliki teman yang gemar berkunjung ke rumah, karena esok pun kami bisa bertemu di sekolah.
Rupanya dia adalah Dwi. Dwi sudah duduk di kursi, sama seperti tempat Beni tempo hari. Begitu aku keluar, dia menyambut ku dengan senyuman. Terjadi juga rupanya. Dia benar-benar serius dengan ucapannya.
"Lagi ngapain?" tanya Dwi basa basi.
"Tiduran aja di kamar. Capek."
"Kamu baik-baik aja, kan? Setelah kejadian kemarin malam itu? Udah nggak ada gangguan yang ikut ke rumah?"
"Aman kok, Kak. Lagian setannya kan emang di sekolah, nggak bakal ikut ke rumah. Mana berani," sahutku sambil menatap ke halaman rumah, di mana ada seekor macan duduk di sana. Mengamati dan hanya menatap kami berdua dari luar.
"Maaf ya, kalau aku ganggu kamu. Aku cuma bingung harus ke mana. Sekarang aku lagi butuh temen ngobrol," cetus Dwi dengan wajah sendu.
Aku tau, apa yang ingin dia utarakan. Tapi aku memilih bungkam.
"Oh nggak apa-apa."
"Aku ... Kabur dari rumah, Si."
"Oh ya? Kok bisa?" tanyaku pura-pura terkejut.
"Iya. Aku berantem sama Ayahku. Sebenarnya aku udah sering berantem, dan pernah juga kabur dari rumah. Kebetulan aja rumah kamu dekat sama hotel tempatku nginap. Aku cuma butuh temen ngobrol aja."
"Oh gitu. Kenapa nggak ke rumah pacarmu aja, Kak?"
"Jauh."
"Memangnya ada masalah apa sama Ayahnya?"
"Ayahku itu orangnya ...." Dwi langsung mengungkapkan segala keluh kesahnya. Aku paham jika apa yang dia alami memang terjadi dan dia tidak mengada - ada. Aku juga mengerti kalau dia saat ini memang butuh teman untuk berbagi cerita. Aku berusaha dengan hati-hati menanggapinya, tanpa menyudutkan atau menanggapi terlalu berlebihan. Karena jika sampai itu terjadi, maka dia akan beranggapan lebih tentangku. Sementara aku sama sekali tidak tertarik padanya. Aku hanya heran saja, dan penasaran, kenapa dia bisa memiliki kepribadian seperti itu. Sudah memiliki kekasih, tapi masih saja mendekati adik kelas. Tapi sebenarnya di masa depan nanti, pria yang memiliki karakter sepertinya tidak sedikit.
Dwi pun pulang setelah jam menunjukkan pukul 9 malam. Dia pamit karena merasa tidak enak berada di rumahku terlalu lama. Tubuhku yang masih lelah, membuatku segera naik ke ranjang dan segera masuk ke alam mimpi.
____
Rasa letih yang masih terasa, membuatku berjalan gontai ke kelas. Entah mengapa perasaanku tidak enak sejak bangun tidur tadi.
Apa yang akan terjadi, ya? Rasanya ada sesuatu yang tidak enak.
Sampai kelas, ternyata sudah ramai. Banyak teman yang sudah masuk ke kelas dan kini sedang mengobrol ria bersama kelompok masing-masing. Aku segera menghempaskan tubuh ke kursi. Merebahkan sebagian tubuhku di atas meja, dan segera mendapat sentuhan lembut dari Epi yang sedang duduk di samping ku.
"Lesu amat, Neng? Capek, ya? Habis LDK? Gimana kemarin acaranya? Lancar? Katanya ada yang kesurupan?" tanyanya beruntun. Aku hanya menoleh sedikit tanpa merubah posisi nyamanku ini.
"Iya. Biasa. Acara sekolah gitu kalau nggak ada yang horor-horor, nggak akan seru," sahutku santai.
"Tapi katanya yang kesurupan si Upi, Si?" sambar Tyas yang duduk di depan Epi. Pertanyaannya cukup mengejutkan. Karena berita ini rupanya lebih cepat bocor di luar dugaan ku.
"Iya."
"Terus kamu juga yang nolong?" tanya Epi lagi.
"Enggak juga. Banyak kok yang bantu. Angga juga. Eh, kalian tau dari mana sih?" tanyaku yang kini duduk dan menatap mereka satu persatu.
"Tuh, Tyas sumber informan," cetus Epi.
"Yah, berita gitu mah cepat nyebar. Gampang nyari info mah," kata Tyas bangga.
"Hm, kamu mirip lambe turah."
"Hah? Siapa?"
"Enggak. Enggak!" Aku kembali merebahkan setengah tubuhku ke meja.
Pelajaran pertama berlangsung lancar. Beruntung hari pertama diawali dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Pak Kusworo sangat santai membawakan materi. Bahkan barisan belakang kelas yang sudah ramai para pria mengobrol saja, tidak terlalu diambil pusing oleh guru kami yang satu ini.
Tiba-tiba mejaku bergetar. Aku memang selalu meletakkan ponsel nokia 3315 ku di kolong meja, dan hanya menyetel mode getar di sana. Di tahun ini, hape tersebut tidaklah akan di cap sebagai hape murah dan memalukan jika dibawa-bawa. Tapi di tahun ini justru siapa yang memiliki hape, justru di cap orang yang berkecukupan. Sekalipun hape tersebut hape lama. Karena tidak semua teman di kelas memiliki hape. Hanya bisa dihitung jari saja.
Sebuah pesan masuk. Tiba-tiba sekelebat bayangan yang mirip dengan apa yang sedang ku alami terulang di ingatan. Ini memang bagai de javu rasanya. Yah, kejadian ini pernah ku alami di lintas waktu sebelumnya, dan kini kembali terulang.
[Heh! Perek! Nggak usah kecakepan deh lo! Gue jijik sama lo!]
Singkat, jelas, dan padat. Isinya pun sama seperti sebelumnya. Aku pun tau siapa pengirimnya. Tapi aku tetap berusaha sedikit panik dan sedih. Walau sebenarnya aku pun merasa terganggu dengan kalimat tersebut.
Menatap layar ponsel membuat Epi, yang duduk di samping ku penasaran. "Siapa?"
"Nih."
"Ya ampun! Ih siapa sih yang kirim ini? Jahat banget sih mulutnya!" pekiknya yang sepertinya sengaja agar teman-teman lain tertarik.
"Apaan sih, Ep?" tanya Dani yang duduk di belakang Epi.
"Tuh, ada yang kirim SMS ke Sisi gini!" ponselku direbut Epi, menunjukkan ke Dani dan yang lain. Sementara aku hanya diam sambil memijat pelipis, berpikir sejenak langkah apa yang harus aku lakukan untuk masalah ini. Karena di ingatanku yang kumiliki, nantinya pelaku akan menemui ku karena paksaan Dwi sendiri. Dan di saat itu aku merasa tersudut. Aku merasa seperti seseorang yang tidak berdaya yang bisa dengan mudah ditindas oleh senior. Aku tidak ingin mengulang momen seperti itu lagi. Sepertinya aku akan mendatangi mereka lebih dulu.
"Wah, ini sih aku kenal nomornya," cetus Ozan. Kebetulan Pak Kusworo sedang ke toilet, jadi mereka semua bergerombol melihat pesan yang telah kuterima barusan.
"Siapa, Zan?"
"Ini nomornya Lili. Anak IPA-2."
"Loh, perasaan Sisi nggak kenal dia. Kok bisa dia kirim SMS jahat gitu?"
"Kayaknya bukan dia deh. Nanti aku tanya, ya."
"Zan, nanti temenin ke kelas IPA-2 ya, nemuin Kak Lili."
"Si ... Kamu jangan salah paham, ya. Lili nggak mungkin kirim pesan ginian. Aku yakin. Aku kenal dia banget!"
"Iya aku tau. Makanya kamu temenin aku nanti. Pas jam istirahat."
"Oke deh."
Angga merebut ponselku dan menatap layar tersebut dengan wajah serius. "Sini, gue mau ngobrol bentar." Dia menarik tanganku keluar kelas.
"Kenapa?"
"Siapa yang kirim? Lo udah tau, kan? Bakal ada kejadian ini?"
"Iya tau. Tenang aja, Angga. Biar aku atasi sendiri nanti."
"Lo yakin? Gue temenin juga nggak nih?"
"Nggak usah. Mereka nggak akan berani pakai kekerasan fisik kok. Aku yakin. Mereka itu pengecut. Makanya kalau aku takut atau bawa pasukan, justru malah mereka bisa nekat."
"Terus lo mau ngapain nanti?"
"Cuma mau tanya, maksudnya apa. Dan sekalian mau jelasin keadaan yang sebenarnya gimana. Gitu aja kok."
"Emangnya siapa sih?"
"Nanti aku ceritain, ya."
______
Bel istirahat berdering. Jantungku berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Tanganku dingin dan merasakan gemetaran kala mempersiapkan diri menuju kelas Dwi tersebut. Bagaimana pun juga, aku tetap Sisi yang tidak bisa mengendalikan emosi saat marah. Jika aku marah, seluruh tubuhku akan bergetar, dan pasti akan melakukan hal brutal yang tidak akan orang sangka sebelumnya. Dan aku harus berusaha mengendalikan diriku sendiri sekarang.
Aku dan Ozan berjalan ke kelas 3 IPA 2. Dia berjalan lebih dulu sementara aku mengekor di belakangnya. Ponsel tetap ku genggam. Saat akan masuk kelas tersebut, gerombolan si berat, keluar, mungkin hendak ke kantin. Mereka melirikku sinis. Mungkin paham kalau aku datang ke kelas ini untuk pesan yang kuterima tadi pagi. Aku tidak tau nama-nama mereka. Aku hanya tau satu nama, Nuri. Yah, dia adalah alasan kenapa lawan-lawannya melakukan itu padaku. Mereka pasti beranggapan kalau aku berniat merusak hubungan Dwi dengan Nuri.
Ozan masuk kelas itu tanpa ragu. Mendekat ke Lili dan terlibat obrolan yang tidak aku ketahui. Sementara aku hanya menunggu di depan kelas. Dwi muncul, dan heran melihatku di depan kelasnya. "Kamu cari siapa?" tanyanya.
"Oh kebetulan. Aku lagi cari orang yang kirim SMS ini. Kata Ozan nomornya Kak Lili. Makanya dia lagi tanya tuh," tunjukku ke dalam. "Tapi aku yakin bukan dia yang SMS. Makanya aku mau cari tau siapa lewat dia."
Dwi meraih ponselku, dia mengerutkan kening dan terlihat kesal. Ia kemudian menarik nafas dalam dan mengedarkan pandangan ke segala arah. "Sebentar." Dwi pergi. Entah ke mana.
"Si!" Ozan keluar kelas bersama Lili.
"Oh kamu Sisi, ya?" tanya Lili padaku.
"Iya, Kak. Eum, ini nomor Kakak, ya?"
"Iya. Tadi Ozan udah cerita. Itu emang nomorku, tapi tadi hapeku dipinjem sama temen. Jadi maaf banget, kalau itu bukan aku yang kirim pesannya. Mungkin dia ... Desi."
Desi? Oh, jadi namanya Desi. Wanita bertubuh gempal dengan sorot mata mengerikan melebihi sosok kuntilanak di pohon pisang belakang rumah.
"Desi itu, yang mana?" tanyaku pura-pura tidak tau.
"Tadi baru aja keluar kelas. Kamu papasan kok sama dia."
"Oh, yang bareng Kak Nuri?"
"Nah iya!"
"Oke, makasih ya kak."
"Eh, Sisi!" Tanganku dia pegang saat aku hendak pergi. "Maaf ya, kalau tau gini, aku nggak akan pinjemin hapeku ke dia."
"Nggak apa-apa kok, Kak Lili. Makasih ya, informasinya. Zan, aku balik duluan."
"Oke, Si. Aku di sini dulu."
Aku lantas pergi mencari Desi. Rasanya aku tau ke kantin mana yang biasanya mereka pilih saat jam istirahat. Benar dugaan ku. Ada Dwi juga di sana tengah berdebat dengan Nuri, berdua. Mereka yang melihatku datang, lantas terlihat salah tingkah.
Aku segera mendekati Desi dengan perasaan tidak karuan.
"Kak Desi?" tanyaku sambil menatap matanya yang terus sinis saat melihatku.
"Ya? Apa?"
"Kamu yang pinjem hape Kak Lili dan kirim SMS ke aku gini?" tanyaku sambil menunjukkan layar di benda persegi panjang milikku. Seluruh kantin menatap kami dengan hati-hati. Penasaran dengan apa yang terjadi.
"Iya. Sorry, aku salah kirim," katanya tanpa terlihat menyesal sama sekali. Sikapnya masih terlihat kesal dan tetap sinis melihatku.
"Kak Desi ada masalah apa sama aku memangnya?" tanyaku lantang. Aku terus mengepalkan tangan, berharap tremor yang kualami tidak bisa ketara oleh mereka.
"Nggak ada. Kan aku bilang, aku salah kirim."
"Maaf, ya. Aku bukan anak kemarin sore yang bisa dibohongin. Aku tau, Kak Desi nggak suka sama aku. Sampai-sampai kirim pesan menjijikan seperti ini. Makanya aku tanya alasannya apa. Kalau alasannya karena Kak Dwi, sekarang juga aku jelasin."
Aku menatap sekitar, sambil menarik nafas dalam-dalam. Tidak sengaja melihat Beni duduk di salah satu kursi dekat kantin, bersama teman-teman geng nya. Tentu mereka memperhatikan ku sejak tadi.
"Aku sama Kak Dwi nggak ada hubungan apa-apa. Kalau misal kalian berpikir kami dekat, maka itu salah. Aku sama dia dekat cuma sebatas senior dan junior di OSIS dan PASKIBRA, tidak lebih. Entah gosip apa yang beredar di luar, tapi aku bantah sat ini juga. Aku nggak tertarik sama Kak Dwi bahkan seujung kuku sekali pun. Dan aku nggak berniat sediikitpun merebut dia dari Kak Nuri. Mungkin apa yang Kak Desi lakukan semata-mata sebagai bentuk solidaritas teman, tapi kalian jangan khawatir, karena aku nggak akan mau sama dia. Lagian cowok playboy gitu banyak kok. Aku bisa dapetin yang jauh lebih ganteng dari dia. Jadi aku mohon dengan sangat untuk tidak lagi ganggu aku dalam bentuk ancaman seperti ini. Makasih!" aku pun membalikkan badan, hendak pergi tapi beberapa detik kemudian, aku kembali menoleh ke wanita yang masih diam di tempatnya. "Satu lagi. Aku bukan perek, lonte atau semacamnya. Aku masih virgin! Dan aku nggak semiskin itu untuk menjual diri. Sampai ada kalimat itu lagi, aku laporin kamu ke polisi!" kataku lantang dengan menunjuk wajahnya yang kini terlihat pucat pasi.
Seisi kantin berbisik dan terus menatapku yang meninggalkan mereka dengan percaya diri.
Ah, ini pertama kalinya aku merasa hebat dan bangga pada diriku sendiri.
Hari ini kejadian di kantin tadi menjadi topik hangat se-antero sekolah. Bahkan beberapa teman di kelas memberikan rasa kagum padaku. Tak hanya teman kelasku saja, teman kelas lain mulai mengenalku.