Resti memilih kantin penjual bakso, karena rencana awalnya bersama sang kekasih, adalah mentraktir kami semua siang ini. Kebetulan ini jam istirahat terakhir dan kami tentu sudah mulai lapar-laparnya. Rupanya kantin ini agak ramai, padahal kemarin kantin terasa sepi pengunjung.
"Duh, balik aja deh," ajak Resti yang berjalan paling depan, lalu mendorong kami semua mundur.
"Lah kenapa? Itu masih ada meja kosong satu, Res?" tanya Dani menunjuk sebuah meja yang memang masih kosong.
Resti justru melotot, "Lihat tuh, paling ujung ada siapa!" omelnya dengan suara sekecil mungkin.
Ternyata di sana ada Beni sedang bersama Upi makan bakso berdua. Senyum mereka mengembang bak roti sobek mahal yang biasa kusantap minggu pagi. Bahagia dan menentramkan. Menunjukkan bagaimana harmonisnya hubungan mereka.
"Eh, udah ah, masuk aja yuk, aku nggak apa-apa kok," cetusku lalu menarik Resti masuk ke dalam.
"Tapi, Si ... Yakin lo? Eh- Heh!" Resti pasrah ditarik begitu saja olehku, tapi dia tetap menurut dan kami semua kini menempati meja kosong satu-satunya di kantin.
Permasalahan bukan hanya keberadaan Beni saja di sini, karena beberapa pasang mata menatapku sambil bisik-bisik. Aku tidak terlalu terganggu dengan hal itu. Lagi pula dengan kejadian kemarin yang dengan sadar kulakukan pada Desi, pasti akan berdampak di kemudian hari. Mungkin di mulai hari ini.
"Ya udah, biar gue yang pesan. Kalian bakso semua, kan? Minumnya apa?" tanya Hangga, kekasih Resti. (Mulai sekarang Angga akan saya sebut Hangga sesuai nama aslinya, ya.)
"Es jeruk."
"Aku juga."
"Samain aja deh kalau gitu."
"Oke, semua es jeruk. Bentar." Hangga lantas memesan makanan dan minuman, sementara kami menunggu di meja.
"Ih, dasar playboy cap kapak! Heran aku tuh, sama orang itu. Kok bisa ya, dia gitu? Jahat banget! Awalnya mah perhatian banget, menganggap seolah-olah Sisi satu-satunya, eh ternyata cuma dianggap salah satunya!"
"Pengen gue bejek-bejek itu jantan! Ngeselin banget! Nggak ada otak!"
"Rupanya itu muka yang sok baik, cuma kedok! Ternyata dia busuk!"
"Heh- heh- heh! Kalian apa-apaan sih?! Kok judes gitu. Udah biar aja. Anggap aja nggak ada. Dibahas terus malah bikin kalian kesel. Nambahin dosa tau," tukasku agar mereka berhenti menghina Beni. Bukan karena aku ingin membelanya, tapi aku hanya ingin berhenti memikirkan serta merasakan sakit hati terus menerus saja. Jika nama Beni terus terngiang di pikiran maka rasa sakit itu pun akan terus ada. Jadi aku memilih untuk merelakan nya. Toh, memang kami tidak pernah berjodoh, bahkan di masa sekarang pun sama sekali tidak. Hanya saja, ada satu pelajaran berharga yang bisa kupetik. Aku pernah dekat dengannya, aku pernah melewati hari-hari dengan indah saat bersamanya. Dan aku akan berhenti saat ini. Biarlah jika pada akhirnya kami tidak bersama. Setidaknya dia orang yang baik, itu saja. Terlepas dari sikapnya yang kini dingin padaku, aku yakin dia memiliki alasan lain. Toh, aku pun bisa bersikap sama padanya, jika itu yang dia inginkan.
"Eh, Aga, kenapa kamu pindah ke sini? Aku pikir, Jogja itu kota yang menyenangkan." Pertanyaan Asti akhirnya mampu mengalihkan perhatian kami dari Beni.
"Oh, itu ... Karena orang tuaku dimutasi ke sini. Jadi mau nggak mau, kami sekeluarga juga harus pindah. Lagi pula kata Papaku, kami bakal lama ada di sini, ya sudah."
"Oh gitu."
"Memangnya pekerjaan Papamu apa?"
"Karyawan aja kok," kata Aga merendah.
Aku yakin orang tuanya memiliki pekerjaan lebih dari sekedar karyawan seperti yang dia bilang. Aga hanya tidak ingin meninggi. Karena dari sikapnya, Aga justru sangat misterius. Dan tentang dia bisa melihat 'mereka' juga, membuatku penasaran.
Hangga kembali. Membawa nampan berisi es jeruk untuk kami.
"Duh, antri banget!" rajuknya dengan nafas tersengal.
"Baksonya mana, Yang?" tanya Resti.
"Sebentar lagi. Antri banget. Perasaan ini tanggal tua, kenapa banyak yang beli bakso, ya?"
"Lo pikir cuma lo doang, yang punya duit di tanggal tua? Sombong sekali anda!" kataku menimpalinya, lalu meraih gelas es jeruk pilihanku.
Hangga cuma tertawa lalu ikut menyeruput es jeruk yang terlihat segar di atas meja.
"Eh, jadi kapan tepatnya peresmian ini, Ngga? Res?" tanya Imam penasaran.
"Iya. Bener! Nggak nyangka tiba-tiba udah jadian aja," cetus Tyas.
"Kemarin. Jadian nya. Tapi kalau deket mah udah lama. Kan kalian tau, kita ke mana-mana bareng. Mungkin dari situ," jelas Resti malu-malu.
Aku hanya menatap mereka berdua yang memang duduk di depanku.
"Ngapa lo, liatin nya gitu amat?" tanya Hangga padaku.
"Ngga, ini tuh nggak ada loh, disaat itu. Boro-boro kalian jadian, deket aja enggak!" kataku hanya dengan kalimat yang kami berdua saja yang paham.
"Nah, kan lo sendiri yang bilang takdir, itu bisa dirubah. Takdir lo aja bisa, masa gue enggak!"
"Eh kalian ngomongin apa sih?" tanya Asti. "Takdir apa? Takdir siapa?"
"As, kamu kayak nggak tau aja, mereka berdua itu kan, sukanya ngobrol sesuatu yang cuma mereka aja yang paham. Udah biar aja," tandas Resti.
"Ih, Resti pengertian. Uluh uluh... Nggak cemburu, kan, ke aku?"
"Dih, ngapain cemburu. Hangga mah emang baik orangnya, Si, nggak cuma ke kamu doang, tapi aku yakin kalau dia cintanya cuma ke aku doang. Nggak kayak yang onoh noh!" sindir nya melirik ke meja Beni.
"Dasar, gila!"
Bakso sudah tersaji. Kami mulai menyantap nya karena perut yang mulai keroncongan. Aroma kuah bakso sungguh menggugah selera.
"Si, tukeran!" kata Dani. Untungnya kami duduk bersebelahan, maka acara barter kali ini tidak lah sulit.
"Serius segitu aja baksonya?" tanyaku yang melihatnya menukar tetelan sapi mie milik kami berdua. Aku dan Dani memang memiliki ritual khusus saat menyantap bakso, dia akan memberikan beberapa lemak serta daging bakso padaku, sementara mie milikku akan menjadi miliknya. Romantis bukan? Semua dengan alasan diet. Dani mengurangi jumlah daging yang masuk ke tubuhnya untuk mengurangi berat badan. Karena aku tipikal wanita yang sulit gemuk, walau sudah makan banyak sekalipun, dan dia tipikal wanita yang mudah gemuk, bahkan hanya dengan menghirup aroma kuah bakso saja, beratnya bisa naik 1 kg, ujarnya.
Mereka pun hanya memperhatikan apa yang kami lakukan tanpa banyak berkomentar. Karena ini sudah menjadi kebiasaan kami berdua.
"Si ... Si Aga ini, peka juga loh. Jadi ... Kalau nanti gue nggak ada di deket lo, minta tolong aja ke dia," kata Hangga sambil mengunyah bakso di mulut.
"Udah tau."
"Oh, Aga juga bisa lihat setan?" wah, bagus dong!" tanya Asti.
"Bagus apanya?" Imam berkomentar dengan hal yang wajar.
"Jadinya kalau ada yang aneh-aneh di kelas, kan dia bisa bantu juga, Mam. Gimana sih!"
"Iya, sekalian nih, biar Sisi juga lebih tenang. Lo tau nggak, Sisi ini kan masih baru dalam hal perdemitan ini, makanya dia suka panik kalau lihat 'mereka', sementara dia ini justru yang paling sering diganggu."
"Oh ya? Sejak kapan kamu bisa lihat?"
"Sejak ... Sejak ...."
"Apa sih, Si! Sejak-sejak nggak habis-habis ngomongnya. Sejak dia koma, dia mulai bisa lihat. Dan mulai aneh. Dia ini seperti bisa meramal masa depan, Ga!" cetus Resti.
"Oh ya?" Aga menatapku dalam, seolah sedang mencari tau sesuatu di sana. Sementara aku hanya sibuk menyantap baksoku yang tinggal kuahnya saja.