Aku tinggal di kompleks asrama militer. Bukan sebuah bangunan asrama seperti layaknya orang-orang yang tinggal di asrama, melainkan kompleks perumahan yang memang diperuntukkan hanya bagi golongan tentara, polisi dan pegawai negeri sipil. Aku tinggal berjauhan dengan orang tuaku, dan di kota ini aku hanya tinggal dengan neneknya, yang mantan seorang pegawai negeri sipil. Rumah ini berbentuk sama. Yang membedakan hanya nomor rumah serta cat yang dipakai. Sejak kecil aku sudah hidup di lingkungan ini, dan solidaritas kekeluargaan antar tetangga sangat erat.
Di lingkungan ini kebanyakan temanku adalah anak laki-laki. Entah seumuran, ataupun yang umurnya jauh di atasku. Mereka suka nongkrong di teras rumahku sambil bermain gitar. Nenekku adalah tipe orang yang tidak banyak protes jika ada anak muda yang membanjiri terasnya. Apalagi kami semua sudah saling mengenal antar keluarga.
Seperti sekarang, aku sedang berada di tengah mereka. Duduk bersama sambil ikut menggumamkan lagu yang diiringi musik gitar dari Mas Edo. Malam ini Mas Adit, selaku seniorku di sekolah, juga ikut hadir. Dia memang tetanggaku, tapi termasuk jarang ikut kumpul-kumpul bersama. Mungkin karena rumahnya berada paling jauh dari kompleks kami. Akhirnya kejadian yang menimpaku selama di sekolah perlahan terbongkar karena Mas Adit terus mengajukan pertanyaan. Teman-teman lain penasaran, dan membuatku menceritakan semuanya.
"Wah, berarti cowok kemarin itu, biang keladinya, Si?" tanya Mas Edo mengingat kejadian beberapa malam lalu saat Dwi datang ke rumah. Rumahku dengan rumahnya memang bersebelahan persis, jadi kami saling tau kegiatan masing-masing dan siapa saja orang yang berkunjung setiap hari.
"Jadi si Dwi beneran ke sini? Wah, nekat, ya. Emang sih kemarin itu dia tanya ke aku, rumah kamu di mana. Aku sudah wanti-wanti padahal, buat nggak cari masalah. Eh, emang dasar itu anak, ya," tukas Mas Adit agak kesal.
"Nggak apa-apa kok, Mas. Yang penting kan masalahnya sudah selesai. Lagian si Dwi itu kayaknya nggak berani datang lagi ke sini deh."
"Besok kalau ketemu aku tanya dia. Berani-beraninya bikin masalah!" kata Mas Adit, kesal.
Aku pun tidak mampu menanggapi apa pun. Mungkin Dwi memang perlu diberi peringatan agar bisa menjaga sikapnya di kemudian hari. Toh, mereka pada akhirnya akan menikah juga. Tentu saja aku tau, karena aku sudah melihat masa depan mereka beberapa tahun kemudian.
Masih asyik menyanyikan lagu Dewa 19, berjudul kangen, tiba-tiba ada sebuah motor berhenti di halaman rumahku. Aku yang tidak mengetahui siapa tamu yang datang, lantas beranjak, dan mendekat. Ingin memastikan siapa yang bertamu malam-malam begini. Dari perawakannya, sudah jelas dia bukan Dwi atau pun Beni. Lagi pula kedua pria itu sepertinya tidak akan pernah muncul lagi di depan rumahku. Lantas siapa?
Begitu dia turun dari motor, ia pun membuka helm hitam bermerk NHK dan sontak aku langsung terkejut begitu melihat Aga yang datang.
"Aga? Kamu ngapain di sini?" tanyaku segera. Semua teman-temanku masih pada posisi semula, dan hanya memperhatikan kami berdua.
"Iya. Aku ada perlu, Si. Tadi denger dari temen-temen kalau rumah kamu di daerah ini. Eh, tadi pas lewat aku lihat kamu, jadi aku mampir. Boleh, kan?" tanyanya ragu, sambil melihat para pria yang duduk memenuhi teras rumahku.
"Oh, boleh kok. Masuk," ajakku lalu membuka pintu gerbang setinggi perut, agar dia bisa masuk.
"Malam, Mas," sapa Aga ramah.
"Malam. Masuk aja, Mas," kata Mas Edo.
"Permisi ...."
Aku masuk ke dalam rumah, dan duduk di ruang tamu. Aga pun mengekor padaku. Dia duduk sambil mengamati kondisi rumahku yang mungkin klasik baginya.
"Bapak kamu ... Tentara?" tanyanya serius, bukan sebagai bentuk gombalan seperti yang marak terjadi di masa depan.
"Bukan. Bapakku karyawan swasta. Aku tinggal di sini karena kakekku pensiunan PNS. Tapi udah meninggal sih."
"Oh gitu. Aku pikir keluarga yang tinggal di kompleks asrama gini, semuanya pasti tentara atau polisi. Hampir aja jantungku mau copot, bayangin garangnya bapakmu, Si," kata Aga sambil menekan dada.
"Apa sih! Memangnya kalau bapakku tentara, kamu nggak jadi main ke sini? Takut?"
"Takut sih dikit. Tapi tetep dong, aku bakal main. Cuma persiapannya harus matang. Yah, minimal beliin martabak atau roti bakar. Hehe." Senyum Aga terasa menggetarkan hati. Dia memang terlihat tidak nyaman saat ini, sesekali terus menoleh ke teras di mana para teman-temanku masih ada di sana.
"Mereka tetangga. Biasa kok, duduk di teras sama aku."
"Oh gitu ya. Temen kamu cowok semua."
"Mau minum apa?"
"Eh, nggak usah. Aku udah bawa minum kok tadi di motor. Nggak usah repot."
"Kamu dari mana sih?"
"Keliling kota. Biar kenal daerah sini."
"Keliling kota?"
"Iya, terus mampir deh ke sini."
"Sengaja?"
"Iya. Eh, enggak. Enggak sengaja tadi. Tapi pas lihat kamu duduk di teras, aku jadi ingin mampir. Sekalian mau pinjem buku. Kita ada tugas, kan? Buat lusa?"
"Oh iya. Bentar aku ambil buku ku dulu."
Tak lama aku keluar membawa tas serta dua gelas teh hangat. "Sambil nge-teh. Kamu kan habis naik motor malam-malam, dingin," kataku lalu meletakkan teh di meja.
"Makasih, Si. Ngerepotin."
"Enggak ah. Jadi halaman berapa, ya?" Kami mulai mengerjakan tugas. Kebetulan ada Aga, jadi sekalian saja kami mengerjakan bersama-sama. Ternyata Aga termasuk pandai dan cepat mengerti. Bahkan aku malah dibimbing olehnya saat mengerjakan soal yang tidak aku pahami. Dia mengingatkanku pada ... Beni. Oh, tidak! Lupakan dia! Lupakan.
"Nah, gimana? Udah ngerti, kan, sekarang?" tanyanya.
"Ngerti. Wah, kamu cocok banget jadi guru les. Lain kali ajarin aku lagi, ya, kalau ada pelajaran yang susah."
"Pasti. Dengan senang hati."
Tak lama, teman-temanku mulai pergi meninggalkan teras. Mereka pindah ke rumah Mas Edo, mungkin karena tidak ingin mengganggu kami belajar.
"Kamu udah lama tinggal di sini?"
"Lama banget. Dari kecil. Tapi orang tuaku di luar kota. Jadi aku di sini sama Mbah aja."
"Oh gitu. Aku kaget tadi. Aku pikir kamu lagi di apelin."
"Hahaha. Enggak. Mereka itu udah kuanggap seperti kakak sendiri. Lagian kebanyakan dari mereka udah lulus sekolah. Itu tadi juga ada kakak kelas kita, kan, Mas Adit."
"Iya. Pantesan kayak pernah lihat di mana gitu. Tapi Mas Adit, ganteng, Si. Kamu nggak naksir?"
"Ih, apa sih! Enggak lah. Dibilang dia udah kayak kakak sendiri buat aku. Mana bisa aku naksir kakakku sendiri."
"Hehe. Kirain."
"Lagian dia nanti bakal pacaran sama Sashi."
"Kok tau?"
"Eh, eum ... Iya, kelihatan. Kalau mereka ... Mereka saling suka."
"Bukannya Sashi itu lagi dekat sama Bagus?"
"Eum, iya. Eh kok kamu tau?"
"Denger gosip dari Hangga sama Imam tadi di sekolah. Pas kita di depan kelas. Lagian Sashi itu termasuk terkenal di sekolah, ya."
"Iya. Dia kan, cantik."
"Kamu juga cantik."
"Gombal!"
"Eh serius."