20. Pergi bersama

Ini adalah hari minggu. Rencanaku minggu ini adalah pulang ke rumah orang tuaku yang ada di luar kota. Terkadang mereka yang datang mengunjungiku, sambil membawa stok kebutuhan bulanan untukku. Selain uang saku untuk satu bulan tentunya. Ada susu, beras, sarden serta mie instan dan telur. Itulah kebutuhan tambahan untukku selama satu bulan yang biasanya mereka bawa. Aku masih suka minum susu bahkan saat sudah sebesar ini. Makanya aku memiliki postur tubuh yang cukup tinggi daripada teman-teman wanita di kelas. Bahkan aku ditunjuk sebagai anggota PASKIBRA untuk upacara kemerdekaan nanti. Di antara teman satu kelas, hanya aku dan Resti yang memiliki tinggi badan menonjol. Tapi kami juga tentu masih kalah dari tinggi badan Hangga atau Aga dan beberapa teman laki-laki di kelas lainnya.

Suara motor terdengar saat aku sedang menyiapkan sepatu. Mbah menyapa dengan wajah sumringah tamu di luar.

"Eh, sudah datang, Mas. Masuk dulu. Sudah sarapan belum?" tanya Mbah.

Aku pun penasaran pada tamu tersebut. Dari panggilan mbah padanya, sepertinya dia bukan teman seumuran nenekku ini. Apalagi tanpa sebutan nama.

Saat aku mengintip dari ruang tengah, aku mendadak seperti tersedak angin lewat. "Loh, Aga? Ngapain!" gumam ku karena mbah sudah duduk di teras bersama Aga.

Akhirnya, merasa mengenal pria di luar dan aku yakin dia datang karena ada keperluan denganku, aku pun keluar menemuinya.

"Loh, kamu ngapain?" tanyaku begitu sampai di teras dan mendapati dia sedang memegang sebuah hape bermerk Nokia N-gage. Salah satu handphone canggih dan mahal di era ini.

"Eh, lah ini Sisi udah siap," kata mbah dan membuatku makin tidak paham.

"Siap apa nih, Mbah?"

"Loh kan kamu mau pulang toh? Ya ini, bareng sama Mas Aga. Dia bilang mau ke Cilacap juga hari ini."

"Kapan dia bilang gitu?" tanyaku masih dengan raut wajah kebingungan. Sejak kapan Mbahku tau kalau Aga juga akan pergi ke kota yang sama denganku, di hari ini pula.

"Semalam. Dia cerita sama Mbah. Ya sudah, sekalian aja bareng ke sana. Jadi kamu nggak usah naik bus segala."

Semalam? Tunggu sebentar. Apakah ada waktu yang terlewatkan olehku semalam, ya.

Astaga! Aku baru ingat, saat kami belajar bersama, aku memang sempat pergi sebentar ke rumah Kiki. Karena disuruh mbah mengantar makanan. Pasti di waktu itu, mereka berdua mengobrol.

"Eum ...." Aku masih ragu. Antara menyetujui usulan ini atau menolak. Kalau aku tolak, namanya menolak rejeki, kan? Lumayan aku bisa irit ongkos perjalanan.

"Ya udah, berangkat sekarang aja, Si? Mumpung masih pagi, belum begitu panas nanti di jalan," ajaknya.

"Eum, ya udah. Aku ambil tas dulu." Aku akhirnya menyetujui usulan itu dan kami pun pergi bersama.

____

"Kamu bawa helm dua?" tanyaku begitu dia naik ke kuda besi nya. Sebuah motor matic berwarna merah menjadi kendaraan pribadi Aga. Dilihat dari semua barang yang ia punya, sepertinya Aga dari keluarga berada. Di era ini handphone milik Aga termasuk barang mewah yang banyak diimpikan anak muda. Sementara aku hanya memiliki handphone murah saja. Itu pun aku sudah bersyukur karena pada era ini, anak yang memiliki handphone masih jarang. Nokia 2300 dengan casing berwarna pink dominasi putih menjadi favoritku karena ada fitur radio di dalamnya.

Dahulu, kami, para anak muda sangat suka mendengarkan siaran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop Indonesia. Tidak lupa ada ajang berkirim pesan, dan aku termasuk sering melakukan itu. Namun pesan di radio biasanya aku tujukan untuk semua teman-teman kelasku saja. Tidak ada yang spesial. Bisa menelpon ke stasiun radio untuk request lagu saja itu merupakan kebanggaan tersendiri. Apalagi jika teman sekelas mendengar juga.

"Iya, kan udah di niat kan mau ke sini, pergi sama kamu. Semalam aku lihat, nggak ada helm satu pun di rumah kamu. Jadi aku bawa aja helm ku yang satunya."

"Helm satunya? Kamu punya dua? Atau ini punya ...," kataku tidak meneruskan praduga yang muncul di kepala.

"Apa? Pacar? Kan, aku nggak punya pacar. Kemarin pas perkenalan kelas bukannya udah bilang."

"Ah, bohong paling. Katanya kemarin kamu nggak punya hape. Lah itu tadi apa?"

"Hehe. Iya, kalau hape, sengaja. Soalnya nanti banyak yang minta nomorku. Kan aku jadi nggak enak hati."

"Dih, sok ganteng!"

"Ya udah, nih pakai helmnya."

Aku menerimanya tapi tidak lantas memakai benda ini ke kepalaku.

"Kenapa?" tanyanya yang sudah mulai menyalakan motor.

"Bisa pink gini warnanya. Cewek banget," sindirku lalu memakai helm merk NHK ini ke kepala.

"Lah, bukannya kamu suka warna pink ya, Si? Wah, salah beli aku dong kalau gitu," katanya sambil menggaruk tengkuknya.

"Hah? Loh maksudnya? Ini kamu baru beli?"

"Eh, eum ... Hehe. Iya. Tadi di perempatan jalan."

"Ish! Tukang bohong!" aku lantas naik ke jok motor nya dan menyuruhnya segera berangkat.

Pukul 09.00 kami keluar dari halaman rumahku. Biasanya akan ditempuh perjalanan satu sampai satu setengah jam untuk sampai ke tempat tujuan kami.

Sepanjang perjalanan Aga banyak menceritakan tentang dirinya. Mulai dari pekerjaan ayahnya, ibunya, kehidupan nya saat di Jogja, dan beberapa hobi serta pengalaman nya dengan hal gaib. Poin terakhir adalah hal yang paling menarik perhatianku.

Dan topik inilah yang membuat kami makin dekat. Karena merasa senasib, dan juga karena dia pernah menolongku kemarin saat di toilet sekolah.

Pukul 10.30, kami sampai di rumah orang tuaku. Ayah sedang memanjat pohon kelapa depan rumah, sementara Ibuku sedang duduk di.teras, menunggu buah kelapa itu jatuh. Adik laki-lakiku, sedang bermain sepeda dekat rumah. Kedua orang tuaku tentu terkejut saat melihatku datang bersama Aga.

"Assalamualaikum." Aku turun dari motor lalu menyalami ibu.

"Loh, sama siapa?"

"Temen sekolah, Bu. Kebetulan ada urusan juga di sini."

Aga merapikan rambutnya lalu segera turun dari motor dan mengikuti apa yang kulakukan sambil memperkenalkan diri.

"Ada yang muda nggak, Yah?" tanyaku setengah berteriak dan mendongak ke pohon tertinggi di halaman rumah.

"Ada. Nanti dipetik!" sahut ayah.

Ayahku memang lihai naik pohon kelapa, juga mengupas buah kelapa. Halaman rumah kami memang luas, selain ada pohon kelapa, ada juga pohon rambutan dan jambu.

Ibu membuatkan kami minuman, aku dan Aga duduk di teras karena udara terasa segar walau hari sudah siang. Untung masih banyak pohon di sekitar ku, dan juga rumah kami yang letaknya dekat area persawahan membuat angin sering berembus kencang.

"Wah, rumah kamu lumayan juga," kata Aga sambil tengak tengok.

"Lumayan apa?"

"Horor."

"Masa sih?"

"Iya, di depan, ada jalur khusus buat mereka. Tapi anehnya, mereka nggak berani masuk ke sini deh."

"Oh ya?"

Nggak berani masuk ke rumah? Pasti ayah sudah memagari rumah ini agar aman dari gangguan mereka.