21. Rumah

"Kamu kok datangnya sekarang, bukannya kemarin," hardik Ayah begitu turun dari pohon kelapa.

Sebuah golok berada di tangan kanannya, sambil memungut buah kelapa yang jatuh, aku melihat peluh di kening Ayah cukup banyak. Aga segera bergerak dan ikut mengumpulkan buah kelapa.

"Loh, nggak usah, Mas. Biar aja," cegah Ayah. "Ini temen sekolah?"

"Nggak apa-apa, Om. Iya, saya teman sekolah Sisi. Kebetulan ada urusan juga di sini, jadi kami sekalian aja," jelas Aga. Yang sudah berhasil mengumpulkan semua buah kelapa yang diletakkan di depan teras.

Butir-butir kelapa baik yang tua mau pun muda akan segera Ayah kupas. Aku pun sangat menunggu buah kelapa muda yang pasti menyegarkan.

"Oh begitu. Namanya siapa, Mas?"

"Oh iya, saya Aga, Om," katanya sambil mengelap tangan lalu mengulurkan pada ayah.

"Oh, Aga. Sudah. Sudah. Nanti saja jabat tangannya. Tangan saya kotor," elak Ayah diikuti senyum tipis. Nafasnya yang memburu menandakan Ayah cukup letih dengan kegiatan tadi. Maklum saja, usia yang tidak lagi muda, akan membuat stamina seseorang meredup.

"Ini mau dibikin apa, Om, kelapanya. Banyak sekali?" tanya Aga penasaran.

"Ini Ibu, mau bikin minyak kelapa. Sekalian saja di ambil semua kelapa yang tua. Biar nanti berbuah lagi. Mumpung saya lagi libur dan juga lagi mau." Ayah terkekeh.

"Biasanya tidur sih ya, Yah, kalau libur."

"Nah. Betul itu. Oh ya, Ayah kira kamu datang kemarin, nggak nginap jadinya?"

"Iya, lagi banyak kegiatan di sekolah, Yah. Nggak apa-apa, kan?"

"Iya nggak apa-apa. Yang penting jaga kesehatan, ya."

Tebasan pertama berhasil membuat sebuah kelapa terkelupas dan mengeluarkan sedikit air kelapa. Ayah merapikan sedemikian rupa, lalu memberikan padaku. "Nih. Pakai es batu nggak?"

"Nggak usah, Yah. Gini aja. Lebih sehat," kataku sambil menerima kelapa muda tersebut.

"Gimana kemarin setelah acara LDK? Aman, kan?" tanya Ayah. Mengupas kelapa kedua.

"Aman, Yah. Cuma ya itu, ada kejadian pas malamnya."

"Tapi nggak apa-apa, kan? Kamu pasti udah berani."

"Ih berani apaan. Aku masih takut, Ayah! Untung kemarin ada Hangga tuh. Eh tapi Aga juga bisa lihat loh, Yah!" kataku dengan berbinar.

"Oh ya? Ya bagus dong. Jadi kamu banyak temannya," kata Ayah tanpa menatapku hanya fokus pada buah kelapa di hadapannya. "Ini, Mas Aga." Ayah memberikan kelapa kedua padanya.

Obrolan pun terus mengalir dengan sendirinya. Aga pun termasuk orang yang supel, jadi sangat mudah baginya untuk berbaur dengan orang serta lingkungan baru. Beberapa kali mereka berdua pun tertawa hanya karena hal-hal remeh. Entah mengapa, aku merasa senang dengan situasi ini.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Azan baru selesai berkumandang. Ibu menyuruh kami makan siang terlebih dahulu. Masakan Ibu memang tiada duanya, makanan yang akan kurindukan suatu saat nanti ketika beliau tidak ada.

"Makan dulu, baru pergi lagi. Memangnya Mas Aga mau ke mana?" tanya Ayah sambil menyendokkan sayur ke piring.

"Ke Sidanegara, Om. Mau antar titipan Mama untuk saudara di sana," jelasnya.

"Oh ya dekat dari sini."

"Iya, Om."

"Berarti nanti pulang bareng lagi?"

"Iya, Om. Bareng saja. Kalau Sisi mau pulang agak malam juga nggak apa-apa. Siapa tau masih kangen Ayah Ibunya," kata Aga sambil melihatku yang hanya fokus pada makanan di hadapan kami.

"Tapi jangan terlalu malam, ya. Dingin. Takut hujan juga. Biasanya kalau malam di sini hujan besar," kata Ibu menambahkan.

"Oh iya, tante."

Setelah makan siang, Aga pamit ke rumah saudaranya demi menyelesaikan misi dari sang ibunda. Aku tidak melihat satu pun barang yang dia bawa, dan aku pun tidak menanyakan barang apa yang menjadi titipan ibunya untuk saudaranya itu. Aku mengantar Aga sampai teras. Menatapnya yang sedang memakai sepatu merk Nike tanpa sepatah katapun.

"Oh ya, aku pinjam hape kamu dong," pintanya sedikit memaksa. Bahkan tangan kanannya sudah menengadah meminta benda tersebut.

"Nih."

Anehnya aku mendengar dering lain yang berada di balik jaket denim miliknya. Dia pun mengambil hape miliknya juga. "Nah, kalau ada apa-apa, kamu sms aku aja, ya. Terus kalau udah mau dijemput, kabarin."

Rupanya dia justru menekan nomornya sendiri agar kami saling memiliki nomor hape masing-masing.

"Hm, oke. Kamu hati-hati."

"Pasti. Aku pergi dulu, ya. Assalamualaikum." Aga pergi dengan seulas senyum tipis di bibirnya. Wajahnya terlihat berseri-seri saat menuju kuda besi yang terparkir di bawah pohon jambu.

"Wa alaikum salam." Aku menatap layar hape di tangan, tersenyum saat melihat ada nomor Aga di sana. "Aku save pakai nama apa, ya," gumamku lirih. Iseng aku mulai mengetik namanya, namun ditambah dengan sebuah emoticon bunga di belakangnya.

Aga pergi meninggalkan halaman rumahku, dengan sebuah bunyi klakson pertanda pamitan. Bertepatan dengan itu, Agung, adikku pulang dengan sebuah sepeda miliknya.

"Cie, yang pulang-pulang bawa temen cowok," sindir Agung sambil masuk ke dalam rumah.

"Idih! Apa sih! Dari mana kamu!" tanyaku berusaha menghindari ejekkannya dengan pertanyaan lain.

"Main dong. Hari minggu gitu loh," sahutnya lalu duduk di meja makan, meneguk air putih yang sudah tersedia dan membuka tudung saji. Ayah dan Ibu sudah pindah ke depan tv dengan acara berita sebagai tontonan nya.

"Makan sekalian, Gung," kata Ibu.

"Udah makan di rumah Eza," sahutnya tapi mencomot sebuah perkedel jagung dari piring.

Kami pun ikut duduk di depan tv bersama orang tua kami.

"Tumben udah pulang kamu," cetus Ayah sambil mengusap kepala Agung yang berkeringat.

"Iya, Eza mau pergi. Kondangan. Heran, pakai ikut segala. Kayak anak kecil," gerutu Agung melahap perkedel dengan suapan terakhir.

"Daripada kamu, nggak ke mana-mana," ejekku tanpa mengalihkan pandangan dari layar tv.

"Iya deh iya. Yang bepergian sama pacar," kata Agung makin menjadi.

"Eh, sembarangan!" Aku segera melayangkan sebuah pukulan ke lengannya.

"Pacar juga nggak apa-apa ya, Gung," tukas Ayah menambahkan.

"Ih, Ayah! Enggak!"

"Bukan enggak. Belum mungkin." Ayah terus saja meledekku sama seperti adikku. Sementara ibu hanya tersenyum sambil memakan kacang goreng di toples samping sofa.

Obrolan ringan tercipta hingga hari beranjak sore. Ayah bahkan sampai tertidur sambil kucabuti ubannya. Aku dan Agung masih saja berdebat dan saling menceritakan kehidupan masing-masing. Sementara Ibu, kembali berkutat dengan kegiatan dapur. Membuat minyak kelapa yang sudah di niat kan sejak beberapa hari lalu. Sebuah momen yang sangat sederhana, tapi akan sangat kurindukan setelah semua tak lagi sama. Takdir mungkin bisa diubah, tapi kematian rasanya tidak mungkin bisa berubah. Aku akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin bersama mereka sebelum Tuhan mengambil mereka dari sisiku.

*Bagiku rumah itu bukan selalu tentang sebuah bangunan. Rumah itu bukan cuma tempat, tapi juga orang.*