Kami sudah selesai memberikan kesaksian. Sebenarnya bukan kami semua, hanya Kak Alzam saja sebagai wali kami. Karena dia yang paling dituakan di antara kami dan setuju untuk menjadi saksi kunci tragedi ini.
Abel terlihat kacau di balik jeruji besi. Dia hanya berdiri sambil menatap kami yang duduk di kursi tunggu dengan sorot mata tajam. Tapi sesekali dia mampu menunjukkan ekspresi ramah dengan senyum lebar yang justru membuat kami bergidik ngeri.
"Baik, hati hati di jalan, Mas Alzam."
Kak Alzam bersalaman dengan salah satu petugas polisi, dan baru saja keluar dari ruangan tertutup yang ada di belakang tempat kami duduk. Kami pun ikut beranjak karena melihat komando dari Kak Alzam.
Satu persatu bersalaman dengan Pak Polisi itu, dan disambut hangat oleh beliau.
"Yuk, kita balik. Oh iya, ke rumah sakit dulu tapi, ya," jelas Kak Alzam dan membuat kami semua bingung.
"Ngapain, Kak?"
"Tengok Pamannya Abel."