Sinar matahari menerobos masuk melewati celah celah korden. Aku merasakan wajahku pedih. Mataku bengkak. Kepalaku juga pusing sekali begitu aku bergerak. Namun, aku paksakan diri untuk beranjak. Rasanya aku masih berharap kalau apa yang aku alami sebelumnya hanya sebuah mimpi.
Dengan berpegangan pada tembok dan sekitar, aku bergegas keluar kamar menuju kamar Wira.
Aku pasti semalam mimpi, dan sekarang pasti Wira sedang tidur di kamarnya. Begitulah yang terus aku pikirkan sekarang.
Pintu kamar aku buka dengan mudah. Namun kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Kamar Wira masih rapi seperti biasanya. Selimut juga masih terlipat di ujung ranjang yang terlihat tidak tersentuh tangan atau cap bekas tidur kekasihku.
Aku lalu berlari turun menuju dapur. Biasanya Wira sedang memasak di dapur dan membuatkan ku sarapan.
Namun, hanya ada Hans, Jen dan Arya saja. Mereka melihatku iba. Jen memaksakan mengukir senyum padaku.